Oleh Dr. Widyastutik, Peneliti International Trade Analysis and Policy Studies (ITAPS) dan Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB
Sejak tahun 1972, inisiatif global dalam rangka menuju ekonomi hijau telah dimulai melalui Stockholm Conference dimana perlindungan dan perbaikan lingkungan menjadi isu utama yang memengaruhi kesejahteraan masyarakat dan ekonomi dunia (Lihat Gambar 1). Selang 15 tahun kemudian Brundtland Report mengenalkan konsep berkelanjutan dan pada Earth Summit and Agenda 21 tahun 1992, konsep pembangunan berkelanjutan menjadi tujuan yang dapat dicapai oleh semua orang di dunia, baik di tingkat lokal, nasional, regional atau internasional. Komitmen negara-negara pada Annex 1 untuk melakukan penurunan emisi sebelum tahun 1990 dan tidak mewajibkan negara non-Annex, termasuk Indonesia tertuang dalam Kyoto Protocol. Tahun 2010 United Nation Framework Convention on Climate Change membentuk pembiayaan iklim hijau bagi proyek, program, kebijakan dan kegiatan lainnya di negara berkembang melalui pembiayaan tematik. Isu perubahan iklim selanjutnya menjadi agenda dunia internasional yang dibahas dalam Rio+20 tahun 2012, Sustainable Development Goals tahun 2015, Paris Agreement tahun 2016 serta COP26 tahun 2021.
Indonesia juga menunjukkan perhatian yang besar terkait dampak perubahan iklim. Hal ini ditunjukkan melalui komitmen Indonesia dengan meratifikasi berbagai agenda perubahan iklim di internasional. Partisipasi Indonesia dimulai sejak tahun 1994, melalui ratifikasi UNFCC ke UU no 6/1994; tahun 2004 ratifikasi Kyoto Protokol ke UU no 17/2004; tahun 2011 dan 2014 RAN-GRK dan RAN-API; tahun 2016 ratifikasi Paris Agreement ke UU 16/2016; pada tahun yang sama penyampaian NDC ke UNFCC; tahun 2020 RPJMN 2020-2024 yang tertuang pada prioritas 6 dan pada tahun 2021 melalui penyampaian updated NDC dan LTS-LCCR 2050 (Gambar 2). Integrasi agenda prioritas nasional menuju ekonomi hijau, pembangunan rendah karbon dan pengembangan UMKM tertuang dalam RPJMN 2020-2024. Komitmen nasional tersebut dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020 – 2024 diterjemahkan pada prioritas 6 membangun lingkungan hidup yang diimplementasikan pada prioritas program (PP). Keenam KP tersebut diimplementasikan melalui pembinaan wirausaha berdampak sosial dan berdampak lingkungan.
Bagi UMKM, keberlanjutan lingkungan menjadi perhatian akhir-akhir ini untuk diimplementasikan dalam usahanya. Berdasarkan BI (2022), faktor penarik (pull factor) pelaku usaha mentransisikan bisnisnya ke praktik ramah lingkungan adalah business self-awareness, tuntutan fora internasional untuk penerapan pratek ramah lingkungan dan market/demand “eco-wakening” peningkatan demand terhadap eco-friendly. Sementara itu push factor yang dapat diidentifikasi adalah penguatan regulasi, standarisasi dan sertifikasi. Berdasarkan penelitian Nielsen (2018), sebanyak 81 persen konsumen menyatakan penting bagi suatu perusahaan untuk ikut serta memperhatikan kondisi lingkungan. Fakta lain menunjukkan UMKM yang memproduksi barang atau jasa yang menerapkan prinsip keberlanjutan akan memiliki nilai jual ekspor yang lebih baik. Produk UMKM yang dapat dihasilkan dengan menerapkan prinsip keberlanjutan berupa produk organik dan produk eco-green atau eco-friendly. Produk-produk organik merupakan produk yang proses produksinya tidak menggunakan berbagai komponen kimia dan produk sintetis/ buatan seperti pupuk kimia, pestisida kimia, pengawet buatan, dan bahan kimia lainnya. Sementara itu produk eco-green adalah produk yang dihasilkan dengan pengelolaan dan penggunaan material yang ramah lingkungan. Bahan baku yang digunakan memenuhi kriteria: (1) dapat diperbaharui (renewable), (2) bukan bahan sekali pakai (re-use), dan (3) tidak berpotensi merusak fungsi lingkungan hidup. Sementara itu, dari sisi supply, hasil kajian UNDP menunjukkan hampir seluruh pelaku usaha yang disurvei secara seragam menunjukkan dukungan terhadap praktik bisnis hijau. Hasil survei UGM (2020) kepada 1.073 pelaku UMKM juga menunjukkan sebagian besar UMKM berupaya menjalankan praktik bisnis ramah lingkungan.
Secara umum, bisnis hijau adalah bisnis yang berkomitmen pada prinsip-prinsip kelestarian lingkungan dalam operasionalnya, berupaya untuk menggunakan sumber daya terbarukan, dan meminimalkan dampak negatif lingkungan dari kegiatannya (Marushevskyi and Hickman, 2017). UMKM hijau menurut Koirala (2019) adalah UMKM yang berupaya turut berkontribusi pada perlindungan iklim, lingkungan, dan keanekaragaman hayati melalui produk, layanan, dan praktik bisnisnya. Berdasarkan definisi tersebut maka sebuah proses bisnis pelaku usaha tidak hanya berfokus pada keuntungan semata namun juga memperhatikan dampak yang dihasilkan dari kegiatan usaha yaitu terhadap lingkungan maupun sosial.
Namun sebagai entitas usaha yang masih kecil bahkan mikro dalam proses penerapan konsep hijau ini masih pada sebagian aspek, sebagai contoh terdapat UMKM yang fokus hanya pada pengurangan jejak lingkungan dari proses produksi (efisiensi sumber daya), terdapat UMKM yang fokus pada produk hijau dengan menawarkan produk dan layanan hijau seperti energi terbarukan (GIZ, 2017). Terkait dengan inovasi, SEED (2017) dan GIZ (2017) menyatakanUMKM dapat menjadi inovator hijau. Salah satu bentuk inovasi adalah pemanfaatan limbah sisa produksi untuk pembuatan produk turunan lainnnya sehingga meminimalisir sampah/ limbah (zero waste). Selain itu penggunaan energi ramah lingkungan seperti energi baru terbarukan/ EBT (bio enegeri, surya, dan air) menjadi bagian dalam proses produksi UMKM hijau. Manfaat yang diperoleh dari penggunaan EBT mendorong penghematan energi fosil dan anggaran (sisi ekonomi), memperkuat efisiensi dan ketahanan energi untuk pengurangan emisi (sisi lingkungan), dan penggunaan EBT secara masal.
Pada tahun 2022, DUPK Bank Indonesia (BI) bekerjasama dengan ITAPS FEM IPB melakukan kajian Pengembangan Model Bisnis UMKM Hijau. Perhatian BI terkait pengembangan bisnis hijau didasarkan atas pertimbangan bahwa fenomena kerugian Indonesia akibat perubahan iklim telah mencapai lebih dari Rp100 triliun per tahun sehingga memerlukan penguatan kebijakan hijau. Biaya perubahan iklim Indonesia diperkirakan terus meningkat sampai dengan 40% PDB pada 2048 (Departemen Kebijakan Makroprudential BI, 2022). Studi BI dan ITAPS FEM IPB (2022) mendefinisikan kembali UMKM hijau adalah UMKM yang mengelaborasi konsep bisnis dengan mengembangkan green process dan green output dimana di dalamnya berkomitmen pada prinsip berkelanjutan dan rantai nilai ekonomi sirkular untuk mencapai tujuan ekonomi, sosial dan lingkungan. Pengembangan model bisnis UMKM hijau BI mengacu pada praktik hijau yang diimplementasikan dalam rantai nilai (value chain), dengan memodifikasi konsep UMKM Hijau Koirala (2019). Praktik hijau yang dilakukan UMKM BI diklasifikasikan menjadi tiga tahapan yaitu (i) Eco-adopter, (ii) Eco-entrepreneut, dan (iii) Evo-innovator. UMKM hijau dinilai berdasarkan berbagai indikator hijau yang meliputi aspek; (i) produksi, (ii) pemasaran, (iii) sumberdaya manusia, dan (iv) keuangan. Apa saja tantangan transisi UMKM ke bisnis hijau? Dalam memproduksi produk/layanan hijau, pelaku usaha akan membutuhkan investasi yang sangat besar guna mengintroduksi inovasi dan teknologi baru yang lebih hijau, termasuk pula pergeseran penggunaan energi hijau di dalamnya. Sementara itu, UMKM memiliki kendala klasik terkait dengan keterbatasan modal dan akses terhadap pembiayaan. Level pada product life cycle yang belum matang menjadikan harga produk cenderung juga belum kompetitif UMKM membutuhkan fasilitasi untuk meningkatkan akses pembiayaan (BI 2022). Best practices penerapan praktek hijau UMKM di Filipina untuk industri makanan memerlukan investasi peralatan hijau sekitar Rp 62,5 juta. Dari praktek hijau yang dilakukan, pada jangka panjang terjadi penghematan biaya sebesar Rp 146,8 juta (BI, 2021). Lee (2009) menemukan kendala yang dihadapi UMKM diantaranya pembiayaan dan permodalan, kesadaran yang minim, keterbatasan keahlian dan keterampilan SDM untuk melakukan perubahan, skala (ukuran) dan karakteristik UMKM
Hambatan pembiayaan menyebabkan UMKM akan sulit melakukan inovasi hijau. Temuan Creech et al. (2014) menunjukkan UMKM mengalami kendala berkontribusi untuk pembangunan ekonomi hijau karena kurangnya akses ke penelitian dan dukungan dari mitra teknis. Sementara itu, BI (2022) juga mengidentifikasi tantangan UMKM hijau yaitu regulasi, SDM, pasar yang belum terinklusi untuk produk/jasa yang lebih sustainable, serta terbatasnya teknologi dan tenaga ahli yang expert.
Bagaimana peluang ekspor produk hijau/ramah lingkungan ini? Hasil studi BI dan ITAPS FEM IPB (2022) menunjukkan UMKM yang telah mentransisikan bisnisnya ke produk hijau sebagian besar berorientasi ekspor, bahkan UMKM di industri kriya rata-rata 95 persen berorientasi ekspor. Salah satu UMKM hijau di sektor pertanian yang menjadi responden adalah Perkumpulan Petani Organik Wonogiri (PPOW) yang mendirikan BUMP PT Pengayom Tani Sejagat. PPOW mengantongi berbagai sertifikat dari halal, SNI organik, fairtrade, organik Amerika, Eropa dan Jepang. Produk PPOW menembus pasar ekspor Amerika, Italia, Perancis, Singapura dan Malaysia. Pasar domestik yang dilayani adalah Transmart, Carrefour, Alfamart, KFC, Mitra Toserba Swalayan, Laris, Luwes, Baru Toserba, Eka Farm, Sami Laris, Jumbo Pusat Grosir dan Eceran, Prambanan Kencana dan Food Station.
UMKM hijau lainnya adalah CV Palemcraft yang menghasilkan produk kriya lampu dengan story telling nama produk mengangkat filsafat Jawa seperti Andamar yang memiliki arti Cahaya Kebahagiaan. Desain lampu mengangkat budaya stupa Candi Borobudur juga menjadi story telling yang menarik bagi konsumen mancanegara. Pasar ekspor diantaranya Prancis, Belgia, Spanyol, Dubai, Lebanon, Singapura, Australia, Afrika Selatan. Negara Asia lainnya yang mulai tertarik untuk impor diantaranya Korea Selatan, Malaysia dan Philipina. BI bersama ITAPS FEM IPB pada tahun 2023 ini melakukan piloting dengan ketua peneliti Dr. Widyastutik untuk sektor pertanian dan kriya. Dari kegiatan piloting akan dihasilkan Pedoman UMKM Hijau yang dapat direplikasi dan diadopsi oleh UMKM lainnya. Kolaborasi pentahelix perlu dilakukan untuk mendukung keberhasilan pilot project ini.