Siti Nur’aeni Mahasiswa Magister Sains Agribisnis, FEM IPB Prof. Dr. Amzul Rifin Guru Besar Departemen Agribisnis, FEM IPB Dr. Feryanto, S.P., M.Si. Sekretaris dan Pengajar Departemen Agribisnis, FEM IPB
Fenomena kenaikan harga minyak goreng belum lama ini terjadi di Indonesia. Harga minyak goreng di pasar domestik mengalami lonjakan tertinggi pada akhir tahun 2021 hingga 2022. Lonjakan harga tertinggi pada minyak goreng curah terdapat pada bulan November 2021, yaitu sebesar Rp16.876 dengan kenaikan harga sebesar 13,5% dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan, lonjakan harga tertinggi pada minyak kemasan terdapat bulan April 2022, yaitu sebesar Rp26.323 dengan kenaikan sebesar 23% dari bulan sebelumnya. Kementerian Perdagangan RI (2017) menyatakan bahwa harga minyak goreng curah di pasar domestik lebih fluktuatif dibandingkan harga minyak goreng kemasan. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 1 yang menunjukkan bahwa frekuensi naik turunnya harga minyak goreng curah yang lebih sering terjadi dibandingkan dengan harga minyak goreng kemasan.
Gambar 1 Harga minyak goreng curah dan kemasan di pasar domestik
Meningkatnya harga minyak goreng baik pada minyak goreng curah maupun kemasan tiap tahunnya sejalan dengan meningkatnya konsumsi minyak goreng di Indonesia. Berdasarkan Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) 2022 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), terjadi peningkatan konsumsi minyak goreng di kalangan rumah tangga selama tiga tahun terakhir (BPS 2022). Pengeluaran masyarakat dalam mengonsumsi komoditas minyak meningkat sebesar 22% pada tahun 2021. Adapun minyak goreng yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia adalah minyak goreng berbahan crude palm oil (CPO). Jumlah alokasi penggunaan CPO untuk industri minyak goreng mencapai 45% dari total persediaan CPO domestik (Nasution dan Faisal 2016). Hal ini terlihat dari jumlah perusahaan minyak goreng sawit yang meningkat sebesar 11% dan konsumsi CPO sebagai bahan baku utama tumbuh sebesar 41% tiap tahunnya (Irawan dan Soesilo 2021)
Meskipun demikian, tingginya kebutuhan minyak goreng dalam negeri tidak diimbangi dengan ketersediaan CPO di pasar domestik, sehingga menyebabkan terjadinya fluktuasi harga minyak goreng di Indonesia. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) (2022) menyebutkan bahwa produksi CPO domestik sebagian besar diekspor, yaitu mencapai 65% dan alokasi CPO untuk pasar domestik sebesar 35%. Hal ini dapat dilihat dari data BPS dan GAPKI yang tertera pada Gambar 2, supply CPO lebih banyak dialokasikan untuk ekspor. Pada Gambar 2 juga dapat dilihat bahwa pada tahun 2021 terjadi peningkatan konsumsi CPO saat produksi mengalami penurunan.
Gambar 2 Perbandingan jumlah produksi, ekspor, dan konsumsi CPO
Sumber: BPS dan GAPKI 2022
Ketidakstabilan harga minyak goreng di pasar domestik ini mendorong pemerintah untuk menerapkan berbagai kebijakan, di antaranya: kebijakan satu harga, kebijakan subsidi minyak goreng curah, kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic product obligation (DPO), kebijakan larangan ekspor CPO dan produk turunannya, kebijakan flush out, dan kebijakan bebas pungutan ekspor. Namun, ternyata kebijakan-kebijakan tersebut masih belum efektif dalam mengatasi fluktuasi harga minyak goreng. Selain itu, penerapan kebijakan stabilisasi harga minyak goreng berubah dalam kurun waktu yang singkat, syekh menyebabkan terjadinya penurunan pada devisa, pendapatan pemerintah, dan konsumsi domestik, serta peningkatan pada stok minyak domestik.
Dalam rangka mendorong hilirisasi minyak sawit domestik, pemerintah telah menerapkan kebijakan bea keluar CPO dan produk turunannya. Tujuan kebijakan ini untuk membatasi volume ekspor akibat harga komoditas yang lebih tinggi di pasar internasional dan untuk mencegah kekurangan pasokan bahan baku industri di pasar domestik. Sejak 2006, pemerintah mengubah istilah pajak ekspor menjadi bea keluar yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 223/PMK.011/2008 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.
Berdasarkan teori Scholefield dan Gaisford (2007), bea keluar merupakan pajak atau tarif yang dikenakan oleh suatu negara terhadap produk domestik sebelum dikirim ke luar negeri. Tujuan pemberlakuan bea keluar tidak hanya untuk mengumpulkan penerimaan dari ekspor, tetapi juga untuk menurunkan harga domestik di bawah harga dunia. Adapun pengaruh bea keluar terhadap kesejahteraan nasional tergantung dengan posisi suatu negara sebagai negara besar atau kecil dalam memberikan pengaruh terhadap harga dunia. Kebijakan bea keluar pada penelitian ini adalah bea keluar komoditas CPO, sehingga teori yang digunakan adalah penerapan teori kebijakan bea keluar pada kasus negara besar. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara penghasil CPO terbesar pertama di dunia setelah Malaysia dan Thailand (Widyaningtyas dan Widodo 2017), sehingga berpengaruh pada pasar internasional. Oleh karena itu, penerapan bea keluar CPO akan menurunkan harga CPO di pasar domestik, sehingga berpengaruh terhadap turunnya harga produk turunan CPO seperti minyak goreng.
Penerapan bea keluar CPO saat ini merujuk pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2008 Tentang Pengenaan Bea Keluar Terhadap Barang Ekspor. Tarif bea keluar ditetapkan secara spesifik, yaitu ditetapkan dengan nilai nominal uang per satuan barang. Pada peraturan ini juga dijelaskan bahwa tarif bea keluar ditetapkan paling tinggi, yaitu nominal tertentu yang besarnya setara dengan 60% dari harga ekspor. Adapun rumus perhitungan bea keluar secara spesifik sebagai berikut.
Bea keluar = Tarif bea keluar per satuan barang (USD/MT) x Jumlah satuan barang x nilai
tukar mata uang
Perhitungan tarif bea keluar dilakukan dengan melihat harga referensi CPO yang dikeluarkan setiap bulannya dan tertuang pada Peraturan Menteri Perdagangan RI. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 39/PMK.010/2022 Tentang Penetapan Barang Ekspor yang dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar, harga referensi adalah harga rata-rata internasional atau harga rata-rata bursa komoditas di dalam negeri untuk menetapkan tarif bea keluar yang ditetapkan secara periodik oleh Kemendag RI. Adapun pergerakan tarif bea keluar CPO pada tahun 2016 hingga 2022 tertera pada Gambar 3.
Gambar 3 Pergerakan tarif bea keluar CPO
Sumber: Peraturan Menteri Keuangan RI 2022
Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan metode ARDL (Autoregressive Distributed Lag), kebijakan bea keluar CPO berpengaruh negatif terhadap harga minyak goreng secara signifikan pada jangka panjang. Hal ini sejalan dengan Scholefield dan Gaisford (2007) bahwa penerapan kebijakan bea keluar pada negara eksportir besar dapat berdampak pada turunnya harga CPO dan produk turunan CPO di pasar domestik. Penerapan bea keluar dan pungutan ekspor CPO menguntungkan konsumen, baik konsumen akhir maupun produsen di sektor hilir, seperti industri minyak goreng. Hal ini dikarenakan bea keluar CPO pada jangka panjang akan mampu meningkatkan pasokan CPO di pasar domestik.
Meskipun demikian, pemerintah juga perlu memerhatikan dampak kebijakan bea keluar CPO pada jangka pendek. Kebijakan bea keluar masih belum bisa memengaruhi harga minyak goreng pada jangka pendek. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan bahwa bea keluar dan pungutan ekspor CPO tidak berpengaruh signifikan. Merujuk pada teori Scholefield dan Gaisford (2007), kebijakan bea keluar CPO yang tidak berpengaruh terhadap harga minyak goreng pada jangka pendek ini dikarenakan posisi Indonesia sebagai negara besar pada komoditas CPO, sehingga meningkatnya bea keluar CPO Indonesia menyebabkan kenaikan harga CPO internasional. Hal ini dikarenakan supply CPO di pasar internasional menurun, sehingga harga CPO internasional mengalami kenaikan. Akibatnya, para produsen CPO lebih tertarik untuk menjual CPO di pasar internasional karena lebih menguntungkan dibandingkan menjual CPO di pasar domestik. Oleh karena itu, tingginya bea keluar CPO tidak berpengaruh terhadap harga minyak goreng curah di pasar domestik.
Melihat fenomena tersebut, maka pemerintah perlu merumuskan kebijakan bea keluar dan pungutan ekspor CPO yang dapat menstabilkan harga minyak goreng pada jangka pendek. Selain itu, pemerintah perlu mengoptimalkan kebijakan hilirisasi produk CPO agar dapat meningkatkan daya serap CPO di pasar domestik dan meningkatkan nilai tambah CPO di pasar internasional, sehingga dapat meminimalisir dampak negatif dari pemberlakuan bea keluar dan pungutan ekspor CPO pada sektor hulu CPO.
Artikel ini di muat pada https://www.republika.id/posts/45770/pengaruh-bea-keluar-cpo-terhadap-harga-minyak-goreng-curah