OLEH Irfan Syauqi Beik (Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University)
Dalam penyelenggaran seminar nasional pada saat Festival Ekonomi Syariah (Fesyar) Regional Jawa di Surabaya pada 14 September 2024 lalu, terungkap bagaimana peran salah satu pondok pesantren terkemuka di Indonesia, yaitu PP Sidogiri, dalam mengembangkan ekosistem bisnis syariah mereka. Selain memiliki BMT dengan aset lebih dari Rp 3 triliun, PP Sidogiri juga mengembangkan beragam usaha, mulai dari jaringan bisnis ritel, hingga merambah pada bisnis keuangan digital syariah, yang keseluruhannya terintegrasi dalam satu ekosistem pesantren yang solid dan kokoh. Tentu hal tersebut perlu mendapat apresiasi yang sangat luar biasa mengingat perjuangan pondok pesantren dalam memajukan bangsa sering dianggap remeh dan kurang mendapatkan apresiasi yang layak oleh sebagian masyarakat.
Saat ini, berdasarkan data Kemenag 2024, jumlah pesantren yang terdata secara resmi dan telah memiliki NSP (Nomor Statistik Pesantren) adalah sebanyak 41,2 ribu pesantren, dengan jumlah santri mencapai angka 8,8 juta santri. Adapun jumlah ustadz pengajar mencapai angka 1,1 juta orang. Sementara jumlah pesantren yang belum terdata secara resmi diyakini angkanya lebih besar. Ini karena tidak semua pesantren melakukan registrasi pada sistem yang ada.
Dengan jumlah ini, maka meskipun kapasitas setiap pesantren berbeda-beda, namun semuanya memiliki kontribusi dalam mengembangkan perekonomian. Hal ini dikarenakan oleh karakteristik pesantren yang rata-rata bersifat mandiri dan tidak memiliki ketergantungan pendanaan yang besar pada anggaran pemerintah. Rata-rata pesantren hidup dari optimalisasi sumberdaya yang mereka miliki, dimana optimalisasi tersebut mencakup upaya penguatan bisnis di sektor riil, sektor keuangan, dan sektor sosial (ZISWAF).
Khusus pada sektor ZISWAF, mayoritas aset pesantren yang ada rata-rata adalah aset wakaf, dengan sumber dana pengelolaannya berasal dari biaya pendidikan yang dibayarkan para santri, ditambah dengan dana ZISWAF yang ditunaikan oleh para orangtua santri, alumni dan masyarakatkepada pengelola pondok. Beberapa pesantren membangun lembaga zakat dan wakaf sendiri secara resmi, dan mendapatkan legalitas resmi sebagai LAZ maupun nazhir wakaf. Sebagian lagi bertumpu pada LAZ atau lembaga wakaf resmi berbasis ormas Islam yang menjadi afiliasi mereka.Sehingga secara umum, ponpes sudah sangat familiar dengan ZISWAF. Tinggal kualitas pengelolaannya saja yang perlu ditingkatkan lagi.
Adapun untuk pengembangan ekosistem bisnis di sektor riil amuapun sektor keuangan, perlahan tapi pasti, pesantren mulai tumbuh menjadi kekuatan baru yang dapat menopang perekonomian nasional. Beberapa pesantren besar, telah menunjukkan kinerja pengelolaan bisnis yang sangat baik di sektor riil syariah maupun sektor keuangan syariah.
Peran Sektor Riil
Yang pertama, peran pesantren dalam membangun sektor riil. D iantara aktivitas utama yang dilakukan pesantren adalah bagaimana mereka berupaya membangun bisnis di sektor riil yang mampu menopang kebutuhan hidup para kyai, ustadz-ustadzah, maupun para santri yang ada. Selain itu, ketika mereka telah memiliki kemampuan untuk menopang kebutuhan dasarnya, rata-rata pesantren tersebut melakukan penetrasi ke luar lingkungan pondok, minimal dalam lingkup kabupaten/kota yang sama. Beberapa pesantren bahkan bisa mengembangkan ekosistem bisnisnya lintas kabupaten/kota dan bahkan lintas provinsi, meski jumlahnya masih belum terlalu banyak.
Di antara contoh yang sangat terkenal adalah Pondok Modern Gontor dan PP Darunnajah Jakarta, dimana keduanyamemiliki kemampuan dan kapasitas dalam memenuhi kebutuhannya sendiri, sekaligus mengembangkan ekosistem bisnis yang nilainya sangat luar biasa besar, yang angkanya dapat mencapai triliunan rupiah. Demikian pula dengan Pesantren Nurul Iman Parung Bogor, yang jumlah santrinya mencapai angka 15 ribuan orang, yang seluruhnya tidak membayar biaya pendidikan alias gratis. Ponpes ini mampu mengembangkan berbagai lini bisnis yang ujungnya mampu menjaga keberlanjutan proses pendidikan pesantren yang ada, sekaligus menjaga keberlanjutan dari sisi finansial.
Inspirasi PP Modern Gontor dan PP Nurul Iman inilah yang membuat negara bagian Sokoto di Nigeria, mengeluarkan UU Negara Bagian (semacam Perda) yang terkait dengan pondok pesantren dan BMT. Hal ini dilakukan setelah kunjungan beberapa kali delegasi Pemerintah Sokoto melalui Komisi Zakat dan Wakaf Sokoto (SOZECOM) ke Indonesia, khususnya ke PP Gontor dan PP Nurul Iman.
Selanjutnya, diantara contoh ikhtiar terbaru yang ada adalah pada program pendampingan DEKS Bank Indonesia terhadap sekitar 17 pesantren di wilayah Jabodetabek untukmengembangkan program ketahanan pangan, dengan memanfaatkan lahan yang ada untuk mengembangkan tanaman hortikultura khususnya cabai.
Pada setiap luas lahan 500-600 meter persegi, maka keuntungan bersih dari budidaya cabai adalah sekitar Rp 70-80 juta per siklus panen. Jika luas lahannya bertambah, maka potensi pendapatan bersihnya juga akan meningkat. Yang menarik, pada program ini, orientasi pasar dari produk cabai ini tidak hanya domestik, namun juga ekspor. Kegiatan ekspor bahkan telah dilakukan dalam dua tahun terakhir.
Dengan pilot project ini, diharapkan pesantren bisa menjadi garda terdepan dalam membangun ketahanan pangan nasional, dan pada saat yang sama, bisa ikut terlibat dalam upaya memanfaatkan pertumbuhan industri pangan halal global yang nilainya sudah lebih dari USD 3 triliun dengan pertumbuhan rata-rata 10-15 persen setiap tahunnya. Ini tentu selaras dengan rencana program pemerintahan mendatang.
Ini adalah contoh betapa pesantren saat ini mulai menjelma menjadi sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru, karena upaya-upaya yang dilakukannya pasti berdampak pada peningkatan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), minimal di level kabupaten/kota. Memang studi terkait multiplier effect kegiatan pengelolaan usaha pesantren terhadap perekonomian lokal masih perlu ditingkatkan, sebagai bukti nyata kontribusi pesantren terhadap peningkatan perekonomian daerah dan nasional. Inilah PR kalangan perguruan tinggi untuk memperluas kaji dampak kegiatan usaha pesantren terhadap perekonomian. Namun demikian, di sisi lain, kita juga harus mengakui bahwa jumlah pesantren yang masih belum mandiri dan membutuhkan dukungan dan bantuan, juga masih sangat banyak.
Peran Keuangan Syariah
Peran pesantren selanjutnya adalah pada pengembangan sektor keuangan syariah. Meski jumlah pesantren yang memiliki dan mengembangkan entitas keuangan syariahseperti BMT dan BPRS masih sedikit, namun perhatian terhadap pengembangan sektor ini terus meningkat. Rata-rata pesantren memulainya melalui pendirian BMT atau koperasi syariah. Berawal dari hal tersebut, beberapa pesantren sudah juga merambah pada industri keuangan syariah lainnya, seperti BPRS dan perusahaan fintech syariah sebagaimana yang dilakukan oleh Ponpes Sidogiri di atas.
Contoh lainnya adalah Ponpes Madrasatul Quran Tebuireng (PP MQ TBI) dan Ponpes Tebuireng yang memiliki BPRS Lantabur Tebuireng, yang diawali dengan modal Rp 610 juta pada tahun 2006 saat didirikan oleh PP MQ TBI dan lalu didukung oleh PP Tebuireng pada 11 Agustus 2014.Hingga Juni 2024, total aset BPRS ini telah mencapai angka Rp 329,86 miliar. Suatu pencapaian yang sangat luar biasa. Artinya, pesantren memiliki kapasitas yang mumpuni untuk terlibat dalam pengembangan industri keuangan syariah.
Karena itu, penulis mengusulkan agar makna “sistemik” dalam industri keuangan, yang ujungnya hanya melekat pada perusahaan keuangan yang sangat besar, harus diubah dan diperluas. Makna sistemik juga harus disematkan pada institusi yang mampu menggerakkan roda perekonomian ribuan bahkan jutaan anggota masyarakat, terutama pada level menengah ke bawah.
Bisa dibayangkan, ada berapa ratus ribu atau bahkan jutaan orang yang terlibat pada ekosistem ekonomi dan keuangan syariah yang dikembangkan oleh seluruh pesantrendi Indonesia. Ketika terjadi kegagalan pada ekosistem bisnis pesantren, maka akan ada ratusan ribu bahkan jutaan orang yang terdampak secara ekonomi. Karena itu, sejumlah pesantren sudah layak untuk disematkan label sebagai “pesantren berdampak sistemik”, sehingga pemerintah dan otoritas keuangan yang ada, akan berusaha menjaga semaksimal mungkin agar ekosistem bisnis pesantren ini tidak gagal dan bisa terus berkembang.
Peran Badan Ekonomi Syariah Nasional
Pertanyaan selanjutnya adalah, institusi apa yang diberi kewenangan untuk mensupervisi dan bahkan terlibat dalam pengembangan ekosistem bisnis syariah pesantren ini? Dalam konteks ini penulis berharap bahwa kewenangan tersebut di pemerintahan Prabowo Gibran akan diberikan kepada Badan Ekonomi Syariah Nasional, yang diusulkan didirikan sebagai perluasan dari KNEKS. Adapun Kementerian Agama, peran utamanya sebaiknya adalah tetap pada aspek pembinaan terhadap sistem pendidikan pesantren.
Badan ini diharapkan dapat mendorong proses penguatan bisnis syariah pesantren, dan melakukan pembinaan agar bisnis syariah tersebut bisa terus berkembang. Baik pada aspek industri pangan halal, agroekowisata, industri kreatif syariah, hingga keuangan syariah. Badan ini juga dapat ditugaskan untuk bisa mendorong tumbuh kembangnya pusat-pusat ekspor berbasis pesantren, melalui pemasaran produk-produk pesantren ke pasar global. Dengan demikian, kedudukan pesantren yang ada akan semakin kokoh, yang ujungnya diharapkan bisa ikut memitigasi dampak negatif turunnya jumlah kelas menengah di Indonesia, mengurangi kesenjangan yang ada, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkualitas dan berkeadilan. Wallaahu a’lam.