Oleh: Prof. Bambang Djuanda, Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB
Kemiskinan telah lama menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia sehingga tiap tahun ditetapkan sasarannya, misalnya dalam UU 28/2022 tentang APBN 2023, penurunan kemiskinan menjadi 7,5%-8,5%. Bahkan dalam Inpres 4/2022, Presiden telah menginstruksikan Percepatan Penghapusan (0%) Kemiskinan Ekstrem (P2KE) di seluruh wilayah Republik Indonesia pada tahun 2O24, lebih awal dari target SDGs pada Tahun 2030. Pelaksanaan Inpres ini dikoordinasikan oleh Wakil Presiden selaku Ketua Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).
Untuk P2KE ini perlu upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat dalam bentuk kebijakan, program dan kegiatan pemberdayaan, pendampingan, serta fasilitasi untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara. Selain itu, untuk mencapai target ambisius menghilangkan kemiskinan ekstrem ini perlu kebijakan satu data kemiskinan yang kuat dan terintegrasi, sesuai amanah Perpres 39/2019 tentang Satu Data Indonesia.
Tiga Sumber Data Kemiskinan
Dalam menerapkan evidence-based policy perlu dukungan data kemiskinan yang presisi atau akurat dan konsisten sehingga berbagai bantuan seperti Bansos, PKH, Sembako, Prakerja, dan subsidi lainnya, akan tepat sasaran untuk orang miskin. Sampai sekarang masih ada 3 sumber data kemiskinan yaitu Biro Pusat Statistik (BPS), Kementerian Sosial (Kemensos) dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), dan TNP2K yang sekarang dibawah Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko KMK) mengeluarkan juga data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE).
Ketiga sumber data ini mempublikasikan data kemiskinan yang sangat berbeda. Sebagai contoh, dalam acara Forum Akdemik Menuju Penghapusan Kemiskinan Ekstrem Tahun 2024 di IPB tanggal 11 Mei 2023, perwakilan dari Bappedalitbang Kabupaten Bogor menyampaikan jumlah penduduk miskin yang sangat berbeda antar ketiga sumber tersebut. Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Bogor Tahun 2022 sebanyak 416.277 orang (BPS), 1.017.673 orang (DTKS), dan 1.450.317 orang (P3KE). Dari perbedaan sekitar 500 ribu sampai 1 juta orang miskin antar ketiga sumber tersebut, kemudian diperoleh hasil padanannya sebanyak 832.104 orang miskin berdasarkan Data DTKS yang masuk P3KE sebagai target sasaran penerima intervensi penanggulangan kemiskinan. Dengan sumber data kemiskinan seperti ini akan berimplikasi terhadap ketidak-tepatan sasaran berbagai bantuan kepada orang miskin dan akhirnya Penghapusan Kemiskinan Ekstrem pada Tahun 2024 tidak tercapai.
Banyak kajian yang mengungkapkan ketidak-tepatan sasaran dalam berbagai bantuan atau perlindungan sosial (bansos atau perlinsos) dari pemerintah. Beberapa stasiun TV swasta juga menyiarkan ketidak-tepatan sasaran ini, misalnya SCTV pada 13 Desember 2022 menyiarkan berita di Kabupaten Ciamis dan Kabupaten Tegal bahwa banyak warga mampu mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT), dan banyak warga miskin tidak dapat BLT. Dalam siaran TV ini, seorang kepala desa meminta Kemensos untuk melibatkan pemerintah desa dalam pemutakhiran DTKS supaya tepat sasaran. Kemarin selasa, mahasiswa pasca IPB bimbingan penulis yang mengkaji dampak Bantuan Sementara Tunai (BST), juga menyampaikan indikasi ketidak-tepatan sasaran ini dalam sampel respondennya ketika survey yang didampingi pekerja sosial disuatu desa di kabupaten Bogor, yaitu 42% penerima BST merupakan warga mampu, dan 30% warga miskin tidak menerima BST. Ketidak-tepat sasaran ini mungkin karena warga miskin yang tidak dapat BST, sudah mendapatkan bantuan lain.
DTKS yang digunakan sebagai basis data dalam penyaluran bansos dan sekarang harus ditetapkan setiap bulan, belum begitu efektif. Menurut Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 3 Tahun 2021, pengelolaan DTKS dilakukan melalui 4 tahapan, yaitu proses usulan, penjaminan kualitas, penetapan dan penggunaan. Usulan dapat melalui pendaftaran mandiri dengan menggunakan Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial Next-Generation (SIKS-NG). Jika terjadi ketidaksesuaian data usulan, penjaminan kualitas oleh lembaga independen (seperti PT) yang ditetapkan Menteri Sosial. Akan tetapi hampir semua ketua RW tidak tahu mekanisme dalam DTKS berdasarkan informasi mahasiswa pasca sejak pandemi Covid-19 sampai semester kemarin, yang saya beri tugas untuk menanyakan ini di daerahnya dalam tiap kuliah dari penulis. Jadi ini memperkuat permintaan seorang kepala desa dalam siaran TV di atas yang mengusulkan keterlibatan pemerintah desa dalam pemutakhiran DTKS supaya tepat sasaran.
BPS telah melaksanakan pendataan Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) pada tanggal 15 Oktober-14Nov 2022. Regsosek adalah upaya pemerintah untuk membangun data kependudukan tunggal, atau satu data supaya pemerintah dapat melaksanakan berbagai programnya secara terintegrasi, tidak tumpang tindih, dan lebih efisien. Data Regsosek mencakup informasi kondisi sosial ekonomi, termasuk status kesejahteraan, yang meliputi kondisi sanitasi, perumahan, dan kerentanan kelompok penduduk khusus, serta kepemilikan asset juga.
Bulan Mei 2023 lalu BPS mengadakan Forum Konsultasi Publik (FKP) dengan pejabat desa atau kelurahan dengan ketua RT-RW untuk memverifikasi hasil Regsosek 2022. Jika ketua RT tidak hadir dianggap setuju hasil Regsosek BPS. Ada Ketua RT yang hadir memberi informasi kepada penulis bahwa beberapa keluarga di RT nya diklarifikasi sehingga hasil olahan BPS terutama terkait status kesejahteraan warganya dirubah berdasarkan informasinya. Ketua RT tersebut juga meminta sebaiknya BPS melibatkan ketua RT dalam pendataan Regsosek supaya efisien dan efektif. Finalisasi FKP adalah diperoleh data mikro by Name, by Address hasil Regsosek 2022 seperti data yang dikeluarkan TNP2K tentang warga yang miskin.
Definisi Miskin Biasa dan Miskin Ekstrem serta Informasinya
BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar untuk mengukur kemiskinan di Indonesia. Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar yang meliputi makanan dan bukan makanan. Garis kemiskinan (GK) dihitung untuk tiap daerah kabupaten/kota dan provinsi serta nasional. GK ini mencerminkan nilai rupiah pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar selama sebulan, yang terdiri atas GK Makanan (GKM) dan GK Non-Makanan (GKNM). GK Makanan disetarakan dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari, meliputi 52 jenis komoditi padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak, dan lain-lain. GKNM merupakan nilai pengeluaran minimum untuk kebutuhan non-makanan berupa perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non-makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan. GK dihitung dengan menjumlahkan GKM dan GKNM.
BPS mempublikasikan angka kemiskinan tiap semester pada bulan Maret dan September dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Susenas Maret mencakup 300.000 rumah tangga sampel, sedangkan Susenas September mencakup 75.000 rumah tangga. Sampel dipilih secara acak dan tersebar di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota di Indonesia. GK hasil Susenas Maret2022 sebesar Rp505.000 dan GK Susenas September2022 sebesar Rp535.000 perkapita perbulan. Jumlah penduduk miskin pada September 2022 sebesar 26,36 juta orang, naik 0,2 juta orang dibandingkan Maret 2022, dan turun 0,14 juta orang dibandingkan September 2021. Perlu hati-hati dalam membandingkan karena tingkat representasi sampel Susenas Maret dan September berbeda. Meskipun demikian, akurasi dugaannya perlu diungkapkan dalam suatu angka kisaran (minimum;maksimum) sehingga kita tahu apakah sebenarnya berbeda signifikan. Selain itu juga, tahu bagaimana perkembangan tingkat akurasi dugaan kemiskinan dari BPS ini untuk perbaikan kedepan.
Menurut BPS (2021), seseorang dikategorikan miskin ekstrem jika biaya kebutuhan hidup sehari-harinya berada di bawah garis kemiskinan esktrem; setara dengan USD 1,9 PPP (Purchasing Power Parity). PPP ditentukan menggunakan “absolute poverty measure” yang konsisten antar negara dan antar waktu. Seseorang dikategorikan miskin ekstrem jika pengeluarannya di bawah Rp. 10.739/orang/hari atau Rp. 322.170/orang/bulan. Satu keluarga yang terdiri dari 4 orang (ayah, ibu, dan 2 anak) dikategorikan miskin ekstrem jika memiliki kemampuan untuk memenuhi pengeluarannya di bawah Rp. 1.288.680 per keluarga per bulan.
Sebagai perbandingan dengan miskin biasa berdasarkan GK Susenas 2021 adalah pengeluaran Rp 472.525/orang/bulan. Jadi GK ekstrem sekitar 68.18% dari GK susenas. Angka kemiskinan ekstrem tahun 2021 sebesar 2,14%, dan tahun 2002 menurun menjadi 2,04%. Jadi cukup berat untuk mencapai target penghapusan kemiskinan ekstrem pada Tahun 2024.
Dalam data P3KE yang dikeluarkan TNP2K, seseorang dikategorikan sangat miskin (ekstrem?) jika masuk Desil-1, miskin biasa jika masuk Desil-2, dan hampir atau rentan miskin jika masuk Desil-3. Kriteria ini dipakai oleh seluruh 542 Pemda di Indonesia. Layanan data P3KE dapat diakses melalui https://p3ke.kemenkopmk.go.id yang menyediakan banyak informasi seperti sebaran jumlah keluarga dan jumlah individu yang berada di Desil-1 sampai Desil-4 menurut provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatannya. Tampilannya menarik karena kita dapat meng-klik lokasi dalam peta, yang akan dicari data kemiskinannya. Pemutakhiran datanya dilakukan paling tidak setiap semester, namun perlu dijelaskan dalam tampilan petanya, data kemiskinan pada tahun berapa dan kapan diupdatenya.
Dalam kesempatan diskusi dengan TNP2K dan Sekretaris Kemenko PMK, penulis menyampaikan pendapat sebaiknya definisi kemiskinan menggunakan definisi seperti yang digunakan BPS, jangan menggunakan Desil-1 (miskin ekstrem) dan Desil-2 (miskin biasa). Perbedaan data kemiskinan antara P3KE dengan BPS sebanyak 1.034.040 orang, kemungkinan karena menggunakan definisi ini; Karena sampai kapanpun (meskipun sudah tidak ada yang miskin) selalu ada kategori Desil-1 dan Desil-2.
Kebijakan Satu Data Kemiskinan Harus Diterapkan
BPS, Kemensos dan TNP2K harus berkordinasi sehingga menghasilkan satu data kemiskinan yang merupakan sinkronisasi data P3KE dan DTKS dengan Regsosek, sesuai amanah Perpres 39/2019 tentang Satu Data Indonesia supaya tepat sasaran dalam memberikan berbagai bantuan sosial untuk orang miskin. Berdasarkan penjelasan kelebihan dan kekurangan dari 3 sumber data di atas, untuk efisiensi anggaran (APBN, APBD, APBDes) sebaiknya pengumpulan datanya terkoordinasi, dan pemerintahan desa atau kelurahan punya insentif dalam pemutakhiran data kemiskinan ini, misalnya dari pengalokasian minimal 10% DAU dan DBH, atau minimal 10% dari Bagi Hasil PAD ke desa/kelurahan dikaitkan dengan kinerja pemutakhiran data kemiskinannya.
sumber: https://www.republika.id/posts/42813/pentingnya-data-presisi-dalam-penanggulangan-kemiskinan