OLEH Rahmat Yanuar dan Annisa Dwi Utami (Peneliti CIBEST dan Dosen Departemen Agribisnis FEM IPB)
Bank pembiayaan rakyat syariah atau BPRS merupakan salah satu bentuk institusi perbankan yang memiliki fokus atau segmentasi pasar khusus, yaitu nasabah dari kelas mikro dan kecil. Pada dasarnya, layanan keuangan yang ditawarkan oleh BPRS serupa dengan yang diberikan oleh lembaga perbankan pada umumnya. Namun, BPRS didirikan secara khusus agar layanannya lebih cocok dengan karakteristik usaha mikro dan kecil atau cocok untuk suatu komunitas.
Selain itu, umumnya BPRS sudah dilengkapi dengan infrastruktur dan ekosistem yang serupa dengan bank pada umumnya. Meskipun demikian, saat ini subsektor BPRS menghadapi berbagai tantangan, khususnya pada aspek persaingan pasar.
Industri BPRS merupakan lembaga jasa keuangan yang memiliki peran untuk melayani masyarakat, khususnya pada segmen mikro dan kecil. Secara kewilayahan, BPRS juga banyak terletak di wilayah kabupaten atau kecamatan, sehingga di dalam pelayanannya menggunakan pendekatan personal atau kekeluargaan, proses pelayanan yang cepat dan sederhana, serta karakter produk dan layanan yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat di daerah atau wilayahnya (OJK, 2021).
Secara kinerja, BPRS memiliki potensi sebagai bank yang menyasar segmen mikro dan kecil dengan kinerja keuangan yang positif. Bahkan, pada saat pandemi Covid-19 dan situasi persaingan dengan lembaga jasa keuangan (LJK) yang begitu ketat, BPRS masih memberikan kinerja keuangan yang positif.
Hal ini ditunjukkan dengan pertumbuhan selama masa pandemi (April 2019-April 2022) dalam hal aset sebesar 15,97 persen, dalam hal pembiayaan sebesar 16,07 persen dan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 19,28 persen. Namun, secara kontribusi berdasarkan pangsa pasar, industri BPRS masihlah sangat kecil dibandingkan dengan pangsa pasar unit usaha syariah (UUS) dan bank umum syariah (BUS) yang ada, yaitu sekitar 2,25 persen. Sedangkan pangsa pasar BPRS di bandingkan dengan pangsa pasar BPR juga masih relatif kecil, yaitu 9,22 persen.
Kondisi ini menunjukkan bahwa BPRS pada dasarnya memiliki potensi untuk berkembang, terutama dengan memiliki ciri segmentasi yang khas yang dapat dilayaninya. Namun, tantangan yang dihadapi juga cukup besar.
Dalam kajian roadmap BPR dan BPRS yang dilakukan oleh OJK, disebutkan beberapa tantangan yang dihadapi oleh BPRS, yaitu tantangan global dan tantangan struktural.
Untuk tantangan global dapat berupa imbas pandemi Covid-19, persaingan usaha antar-LJK cukup ketat di segmen UMKM, biaya investasi infrastruktur TI cukup besar, perubahan perilaku masyarakat atas inovasi produk dan layanan, perkembangan digital ekonomi, dan perkembangan TI di bidang keuangan.
Sedangkan tantangan struktural berupa permodalan BPRS khususnya yang berskala kecil belum memadai, infrastruktur TI dan adopsi TI terkini relatif terbatas, kuantitas dan kualitas SDM masih relatif terbatas, penerapan tata Kelola dan manajemen risiko pada BPRS masih dapat dioptimalkan, variasi produk dan layanan yang masih terbatas, potensi risiko baru terkait pemanfaatan TI dan kerja sama, dan kontribusi BPRS terhadap perekonomian di masing-masing wilayah yang cukup rendah.
Berbagai tantangan yang dihadapi oleh BPRS tentu membutuhkan pengembangan lembaga ini berbasiskan inovasi dan teknologi. Dalam rekomendasi pengembangan BPRS untuk periode 2021-2025, OJK merekomendasikan agar dilakukan penguatan struktur dan keunggulan kompetitif. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan mendorong inovasi produk dan layanan.
Selain itu, OJK merekomendasikan akselerasi transformasi digital, dengan mendorong digitalisasi BPRS dan optimalisasi layanan melalui pemanfaatan infrastruktur TI. Tentu saja, rekomendasi ini bukan hal yang tidak memiliki dasar. Hasil kajian yang dilakukan oleh Cibest (2023), memperlihatkan bahwa kondisi eksisting saat ini terkait dengan inovasi yang telah dilakukan oleh BPRS baik dalam pembiayaan ataupun dalam penghimpunan.
Berdasarkan hasil analisis dari data survei terhadap 116 BPRS, dapat dilihat bahwa ada 28,4 persen BPRS yang melakukan inovasi produk dalam penghimpunan dana. Inovasi dalam pelayanan masih sangat rendah, dari 116 BPRS yang disurvei tersebut, baru 5 persen BPRS yang melakukan inovasi dalam pelayanan.
Inovasi yang dilakukan dalam produk-produk pembiayaan relatif sudah cukup berkembang, dimana berdasarkan survei dapat dilihat bahwa ada lebih dari 11 produk pembiayaan yang diperkenalkan ke masyarakat dengan proporsi produk inovasi pembiayaan yang terbesar, yaitu pada pembiayaan ijarah dan qardh, yaitu 64 persen dan 61 persen.
Sedangkan pada produk pembiayaan salam dan istishna memiliki inovasi yang masih cukup rendah, di mana hanya sekitar 9 persen yang menerapkan pembiayaan jenis ini. Terkait dengan inovasi di bidang teknologi, berdasarkan survei terhadap 116 BPRS terlihat bahwa baru 11,2 persen yang menerapkan perbankan digital, 6,8 persen yang mengimplementasikan mobile banking, 2,5 persen BPRS yang menerapkan teknologi ATM dan teknologi self service, 21,5 persen BPRS yang sudah menerapkan pembiayaan digital dan 15 persen yang melakukan inovasi IT terkait keamanan siber. Namun untuk teknologi data analytic, fintech syariah dan internet of think, rata-rata di bawah 5 persen yang sudah menerapkan inovasi teknologi ini.
Berdasarkan fakta-fakta yang telah disampaikan di atas, pengembangan BPRS berbasis inovasi menjadi hal yang sangat penting. Hal ini terutama untuk menjawab saat ini ataupun tantangan masa yang akan datang yang dihadapi oleh BPRS.
Peningkatan sumber daya manusia yang kompeten dalam menjalankan inovasi menjadi salah satu syarat utama. Selain itu, pentingnya kolaborasi dengan berbagai pihak menjadi salah satu faktor yang dapat mempercepat pengembangan BPRS melalui inovasi.
Adanya kolaborasi yang dilakukan dengan berbagai pihak, selain menjadi sarana knowledge sharing antarpemain atau pelaku dalam bisnis ini juga menjadi bagian dari upaya mencapai skala ekonomis (economic of scale), terutama untuk mengimplementasikan inovasi teknologi yang membutuhkan biaya tinggi.
Upaya untuk mendorong dilakukannya kolaborasi ini juga penting, yaitu dengan adanya ekosistem BPRS yang kondusif, didukung dengan regulasi dan kebijakan yang sejalan dengan pengembangan BPRS. Pengambil kebijakan dapat melihat potensi besar dari BPRS yang secara karakteristik melayani pasar keuangan untuk usaha mikro dan kecil. Sehingga, upaya pengembangan BPRS diharapkan dapat pula mendorong pengembangan usaha mikro dan kecil sesuai dengan tujuan pembangunan ekonomi secara umum.