Dr. Lukytawati Anggraeni, Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB. Dr. Widyastutik, Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB. Sri Retno Wahyu Nugraheni Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB.
Sistem Resi Gudang (SRG) tidak hanya bermanfaat bagi kesejahteraan petani dan pemilik komoditas, namun juga mendukung ketahanan pangan dan menjaga tingkat inflasi. Fluktuasi harga pangan yang kerap terjadi pada beberapa tahun terakhir dapat berakibat pada ketidakstabilan produksi pertanian dan inflasi. Seperti dua sisi mata uang, supply produksi pertanian yang melimpah pada saat panen raya akan menurunkan harga sehingga dapat menurunkan kesejahteraan petani. Namun pada sisi sebaliknya, saat musim paceklik terjadi peningkatan harga pangan sehingga menyebabkan kenaikan inflasi dari volatile foods. Berdasarkan data Bappebti, masih banyak petani yang belum melakukan tunda jual walaupun terdapat disparitas harga yang terjadi saat panen raya dan paceklik. Petani tetap menjual langsung hasil panennya karena membutuhkan modal untuk biaya produksi musim tanam berikutnya dan memenuhi kebutuhan hidup.
Salah satu tujuan pengembangan SRG adalah untuk menjaga stok pangan yang dapat berpengaruh pada stabilitas harga. SRG juga dapat dijadikan problem solver bagi petani yang membutuhkan modal namun tidak ingin mendapatkan kerugian yaitu dengan melakukan tunda jual hasil panennya. Selanjutnya resi dapat diajukan sebagai jaminan untuk mendapatkan pembiayaan Skema Subsidi Resi Gudang (S-SRG) yang memberikan subsidi bunga rendah pada petani yaitu 6% setahun. Namun demikian, hal tersebut tetap masih belum dapat memaksimalkan pemanfaatan SRG yang telah dikembangkan sejak tahun 2006.
Kinerja Sistem Resi Gudang di Indonesia berfluktuasi dalam 10 tahun terakhir. Data dari PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero) tahun 2022 menunjukkan, jumlah resi gudang yang diregistrasi mencapai 258 RG dengan total volume sebesar 5,744 ton dan nilai barang sebesar Rp. 469,9 Miliar. Adapun dari sisi pembiayaan, sepanjang 2022 sampai bulan November telah mencapai Rp 342,7 Miliar. Pertumbuhan penerbitan resi gudang hanya berkisar 9% per tahun selama tahun 2008-2022. Begitu pula dengan pertumbuhan pembiayaan SRG yang juga berkisar pada angka 9.43% per tahunnya. Rendahnya pemanfaatan resi gudang juga terlihat dari rasio penerbitan resi untuk diagunkan dan mendapatkan pembiayaan masih sangat rendah yaitu hanya sebesar 54% dari total resi yang diterbitkan.
Dalam perkembangannya, dukungan regulasi ditunjukkan dari terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 187 /PMK.05/2021 yang mengatur perubahan Subsidi Sistem Resi Gudang (SSRG), yaitu peningkatan plafon kredit dari Rp 75 juta menjadi Rp 500 juta, pembiayaan hulu-hilir, perluasan penerima subsidi resi gudang, penyesuaian suku bunga kredit dengan KUR, dan pengembangan skema pembiayaan syariah. Selain itu, sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 14 Tahun 2021 yang merupakan Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 33 Tahun 2020 tentang Barang dan Persyaratan Barang yang dapat Disimpan dalam Sistem Resi Gudang, komoditas yang dapat masuk ke Sistem Resi Gudang bertambah menjadi 20 komoditas, yaitu gabah, beras, jagung, kopi, teh, rumput laut, kakao, karet, pala, rotan, garam, lada, timah, ayam beku karkas, ikan, kedelai, gambir, bawang merah, dan gula kristal putih. Hingga November 2022, data Bappebti menunjukkan bahwa komoditas timah, gabah/beras, dan kopi yang paling banyak diresigudangkan dan mendapatkan pembiayaan. Hal tersebut menunjukkan peluang SRG dalam menjaga stabilitas harga dan sumber pembiayaan serta urgensi untuk peningkatan peranannya dalam mendukung produksi dan kesejahteraan petani.
Kendala Implementasi SRG
Beberapa kendala yang masih dihadapi dalam implementasi SRG saat ini menurut Bappepti (2022) adalah sebagai berikut (1) Sulitnya mencari calon Pengelola Gudang SRG lokal yang berkompeten (mandiri dan profesional), (2) Pemahaman/pengetahuan petani terkait SRG masih rendah, (3) Gudang SRG dan sarana penunjangnya dalam kondisi rusak, (4) Minimnya sarana penunjang untuk mendukung pelaksanaan SRG, seperti: sarana angkut, dryer, RMU, dll, (5) Belum tersedianya lembaga dalam SRG di sekitar lokasi gudang, seperti LPK Uji Mutu, Lembaga Keuangan, Lembaga Asuransi, dll, (6) Kurangnya dukungan pemda baik dalam hal penyiapan kelembagaan SRG maupun pengalokasian anggaran untuk mendukung pelaksanaan SRG, (7) Pemda belum memiliki ketentuan baku terkait pola/pemanfaatan gudang sebagai aset daerah oleh pihak ketiga. Pada umumnya
Studi Suryani et al. (2014) menemukan secara operasional, masih banyak ditemukan kendala dan permasalahan, tidak hanya pada keterbatasan pemahaman tentang SRG, tetapi juga sarana dan prasarana, lemahnya koordinasi dan sinergitas antar kementerian, serta masalah kelembagaan lainnya.
Sebelumnya, kajian yang dilakukan oleh iPasar (2011) dalam Ashari (2011), juga menekankan adanya kendala dalam implementasi SRG umumnya terkait permasalahan operasional. Permasalahan tersebut diantaranya: Belum tersedianya gudang SRG di seluruh daerah sentra produksi karena biaya investasi gudang yang relatif tinggi; Biaya operasional pengelolaan yang ditanggung oleh pengelola gudang tinggi; Pemahaman pelaku usaha terhadap SRG masih rendah dan kurang sosialiasi sehingga minim partisipasi; Komoditas yang dihasilkan tidak sesuai dengan standar SNI; Petani tidak bersedia membayar biaya penyimpanan barang kepada pengelola barang di awal penyimpanan karena keterbatasan ekonomi; Petugas uji mutu barang belum tersedia di seluruh wilayah; sistem informasi resi gudang belum cukup handal.
Peranan SRG terhadap Kesejahteraan Petani
Kajian terkait dampak SRG terhadap kesejahteraan petani merupakan kerjasama penelitian yang dilakukan ITAPS FEM IPB dengan kementrian Keuangan tahun 2022. Fokus kajian untuk menganalisis efektivitas perubahan peraturan terkait SRG serta dampaknya terhadap kesejahteraan petani padi dan kopi di Jawa Barat.
Survey pada petani peserta dan non peserta S-SRG padi dan kopi menunjukkan perbedaan literasi yang signifikan antara kedua kelompok tersebut (Gambar 1). Petani non peserta S-SRG umumnya hanya mengetahui keberadaan Gudang SRG dan persyaratan standar kualitas untuk komoditas. Sebaliknya, petani peserta SRG baik padi maupun kopi, literasi tertinggi selain keberadaan Gudang SRG adalah fasilitas sarana prasarana gudang, pengelola gudang, komoditas yang dapat diresigudangkan dan persyaratan standar kualitas. Namun, baik untuk petani SRG dan Non SRG memiliki literasi rendah terkait skema subsidi SRG (suku bunga, plafon, prosedur pembiayaan). Pemahaman terkait perubahan regulasi terkait SRG yaitu PMK Nomor 187/PMK.05/2021 dan Permendag Nomor
Keikutsertaan petani dalam SRG mampu meningkatkan kesejahteraan petani padi dan kopi. Tabel 1 hasil uji beda pendapatan menunjukkan bahwa tingkat pendapatan bersih petani SRG signifikan lebih tinggi dibandingkan Non SRG. Rata-rata pendapatan petani padi peserta SRG sebesar Rp 35,89 juta sedangkan non peserta sebesar Rp 26,99 juta. Hal yang sama juga terjadi untuk komoditas kopi, rata-rata pendapatan bersih petani kopi peserta SRG sebesar Rp 29,25 juta per tahun sedangkan non SRG sebesar RP 12,58 juta per tahun. Adanya perbedaan pendapatan bersih disebabkan perbedaan produktivitas. Produktivitas petani SRG lebih tinggi dari Non SRG dimana akses pembiayaan kredit SSRG mempengaruhi adopsi teknologi (penggunaan benih unggul, pupuk, dan obat-obatan) sehingga produktivitas meningkat. Selain itu, keikutsertaan petani dalam SRG juga memberikan kepastian harga dan perluasan pasar. SRG Gabah di Kabupaten Subang memiliki kerjasama pembelian dengan off-taker benih (CV Viona) sehingga petani mendapatkan kepastian jual dan harga dari benih yang diresigudangkan. Dalam SRG kopi, koperasi melakukan pembelian kopi dalam bentuk cherry kemudian melakukan pengolahan terhadap biji kopi. Kepastian pemasaran diberikan koperasi terhadap petani kopi dengan pembelian langsung dengan harga yang stabil. Setelah itu, koperasi meresigudangkan biji kopi dan mengajukan pembiayaan/kredit agar kembali membeli hasil panen kopi petani. Ketersediaan stok kopi di gudang akan membuat pengelola gudang untuk melakukan perluasan pada pasar ekspor.
Selain peningkatan kesejahteraan petani, dampak keikutsertaan petani dalam SRG juga mendukung ketahanan pangan dan pertumbuhan ekspor komoditas pertanian Indonesia. Stok pangan dengan kepastian mutu dan kualitas merupakan upaya untuk mendukung ketahanan pangan dan stabilitas harga. Selain itu, keikutsertaan dalam S-SRG juga berpotensi meningkatkan perluasan pasar (ekspor) dan memberikan jaminan pasar dengan harga yang lebih tinggi pada petani.
Tabel 1. Hasil Uji Beda Pendapatan Petani Peserta SRG dan Non Peserta SRG
No | Objek | Rata-rata | t-statistic (pvalue) |
1 | Pendapatan petani padi | SRG = 35,885,018 | 2.7204*** (0.0092) |
Non SRG = 26,988,388 | |||
2 | Pendapatan petani kopi | SRG = 29,250,764 | 1.8305* (0.0903) |
Non SRG = 12,575,833 |
sumber: https://republika.id/posts/41909/peranan-sistem-resi-gudang-terhadap-kesejahteraan-petani