OLEH Mohammad Arif Yunus (Alumni Program Studi Manajemen Pembangunan Daerah FEM IPB), Ma’mun Sarma (Staf Pengajar Departemen Manajemen FEM IPB), Lukman M Baga (Kepala Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST)
Pesantren memiliki peran strategis dalam pembangunan ekonomi di Indonesia sebagaimana ditegaskan UU No. 18 Tahun 2019 Tentang Pesantren yang menyebut tiga fungsi pesantren sebagai lembaga keagamaan, pendidikan dan pengembangan masyarakat. Pesantren berperan mendorong peningkatan kesejahteraan pondok pesantren dan masyarakat sekitar. Pesantren dapat memberi kesadaran pada masyarakat agar keluar dari permasalahan kemiskinan dengan menggerakkan partisipasi dan etos swadaya masyarakat.
Pesantren memiliki potensi sumber daya yang besar. Saat ini jumlah santri mencapai 4.009.547 orang yang tersebar di 26.974 pesantren di seluruh Indonesia (PDPP 2022). Hingga 2022 tercatat 9.020 unit usaha yang dikelola pesantren dengan beragam sektor usaha seperti agribisnis (1.479), perkebunan (1.142), peternakan (1.054) dan koperasi milik pesantren (1.844). Pesantren juga memiliki aset wakaf berupa tanah, gedung dan peralatan yang dapat dimanfaatkan dalam usaha pesantren.
Di sisi lain, mayoritas pesantren mengalami kesulitan dalam hal pendanaan operasional pendidikan, apalagi pengembangan infrastruktur pesantren. Rendahnya biaya pendidikan dan biaya hidup, belum optimalnya penggalangan dana ZIS dan pengelolaan wakaf produktif serta minimnya kontribusi usaha pesantren menyebabkan pesantren belum mampu menjadi lembaga mandiri secara finansial (Ryandono dan Hadi 2018). Hal inilah yang melatarbelakangi mengapa kemandirian ekonomi pesantren menjadi isu strategis dalam pembangunan di Indonesia saat ini.
Jalan Memandirikan Ekonomi Pesantren
Dalam konteks kekinian, kelembagaan pesantren dituntut memiliki kemampuan self financing untuk tetap hidup di tengah modernisasi pendidikan. Tuntutan direspon oleh UU No 18 Tahun 2019 dengan memberikan amanah bagi pemerintah untuk memfasilitasi pengembangan kemandirian ekonomi pesantren.
Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) telah mendorong pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia, khususnya UMKM di pesantren. Dalam kaitan program utama pengembangan UMKM di pesantren, KNEKS mempunyai beberapa lingkup aktivitas yakni koordinasi teknis pengelolaan bisnis UMKM sesuai dengan standar industri; bimbingan teknis dalam pemanfaatan teknologi digital; pengembangan konten digital; pembinaan pembiayaan; penghargaan untuk sektor industri halal dan sosialisasi dan bimbingan teknis UMKM halal go-ekspor.
Amanah UU No 18 juga dijabarkan oleh Kementerian Agama RI dengan menggagas Peta Jalan Kemandirian Pesantren (PJKP). PJKP adalah sebuah rancang bangun komprehensif pesantren utamanya dari aspek ekonomi yang memiliki keunggulan dan ketangguhan yang teruji untuk melangsungkan fungsi peran pesantren dalam 3 (tiga) aspek, yaitu pendidikan, dakwah dan pemberdayaan masyarakat di Indonesia.
Dalam perspektif PJKP, kemandirian ekonomi pesantren Indonesia dapat diklasifikasikan ke dalam empat klaster yakni (1) klaster pesantren yang tidak punya usaha sama sekali; (2) klaster pesantren yang punya usaha tetapi kecil dan hanya menghidupi dirinya sendiri; (3) klaster pesantren yang memiliki usaha yang besar tetapi kurang tersentuh oleh strategi manajemen pemasaran; dan (4) klaster pesantren yang punya usaha mandiri dan bisa menghidupi warga lain atau produknya sudah ke luar daerah, bahkan ke luar negeri.
Langkah pemetaan telah dilakukan melalui Pangkalan Data Pondok Pesantren Kemenag RI, Satu Data Kemenag RI, Pemetaan Potensi Ekonomi Pondok Pesantren Bank Indonesia dan Program One Pesantren One Product (OPOP) Jawa Barat dan Jawa Timur. Dari data tersebut selanjutnya dilakukan sinkronisasi, pemutakhiran dan pemetaan profil usaha pesantren.
Kementrian Agama kemudian menjabarkan peta jalan kemandirian pesantren dalam beberapa tahapan. Dimulai pada 2021 dengan membangun pesantren-preuneur melalui peluncuran dashbord Data Ekonomi Pesantren dan pilot program 100 pesantren. Pada tahap kedua di tahun 2022 melalui penciptaan 100 BUM-Pes, Gerakan Santripreunuer, Platform Digital Ekonomi Pesantren, dan Replikasi 500 Pesantren.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur secara khusus meluncurkan program OPOP. Tercatat dari tahun 2019 hingga 2023 sebanyak 5.018 pesantren dari 8.343 (60,1%) pesantren di Jawa Barat telah mengikuti program OPOP Jawa Barat. Di Jawa Timur, OPOP telah menjangkau 750 pesantren selama 3 tahun program.
Langkah Lanjut Pengembangan Kemandirian Ekonomi Pesantren
Capaian berbagai program ini perlu diapresiasi sebagai terobosan mendorong minat pesantren dalam berusaha. Hal ini terpotret dalam penelitian tentang kemandirian ekonomi pesantren yang bergerak di bidang makanan olahan di Kabupaten Bogor. Program OPOP dinilai sangat berpengaruh dalam menciptakan motivasi usaha dan berpengaruh pada aspek produksi. Pengaruh pada aspek pemasaran (peningkatan omset, manajemen pemasaran, jangkauan pasar) dan aspek kelembagaan, permodalan dan standarisasi produk masih perlu ditingkatkan (Gambar 1).
(1) Sangat tidak berpengaruh; (2) Tidak Berpengaruh; (3) kurang berpengaruh; (4) cukup berpengaruh; (5) berpengaruh; dan (6) sangat berpengaruh
Gambar 1 Pengaruh program OPOP terhadap usaha makanan olahan pesantren
Usaha pesantren saat ini masih menghadapi sejumlah kelemahan dan tantangan yang menempatkannya pada posisi hold and maintain atau stabilisasi dalam matriks kekuatan internal dan eksternal. Posisi ini menurut David (2005) menuntut perubahan strategi melalui penetrasi pasar (market penetration) dan pengembangan produk (product development).
Strategi penetrasi pasar yang dimaksud adalah mengoptimalkan peluang pasar potensial yakni masyarakat sekitar dan jaringan pesantren yang dimilikinya. Strategi ini harus didukung berbagai strategi lainnya yakni (1) meningkatkan branding dan promosi produk pesantren; (2) membangun jejaring kerja sama bisnis pesantren; dan (3) memanfaatkan teknologi digital dan e-commerce.
Strategi pengembangan produk dijalankan melalui modifikasi produk atau produk baru yang bisa ditawarkan pada target pasar yang sudah ditentukan hingga menjadi produk unggulan yang mampu mendukung strategi penetrasi pasar. Dalam rangka meningkatkan efisiensi, usaha pesantren disarankan tergabung dalam suatu klaster (sentra industri) misalnya dalam hal pembelian bahan baku, pemanfaatan tenaga kerja terampil dan pemasaran bersama.
Temuan pada praktek usaha pesantren di bidang makanan olahan mengindikasikan pesantren berada di samudera merah (red ocean) yang artinya memiliki persaingan ketat dengan pelaku usaha lokal bahkan nasional yang ditandai rapatnya kurva nilai (Gambar 2). Oleh karena itu, pesantren perlu merumuskan strategi agar keluar dari samudera merah menuju samudera biru (blue ocean).
Gambar 2 Kurva kompetisi usaha makanan olahan pesantren
Merujuk pada Kim dan Mauborgne (2005), strategi samudera biru menuntut dilakukannya empat langkah strategi dalam skema hapuskan – kurangi – tingkatkan – ciptakan (elliminate-reduce-raise-create). Dalam kerangka itu, pesantren dapat melakukan langkah (1) fokus pada produk yang diminati konsumen; (2) efisiensi untuk mengurangi biaya produksi; (3) meningkatkan branding produk pesantren dan (4) menciptakan kemitraan pemasaran.
Mengingat program pengembangan kemandirian ekonomi pesantren telah dilakukan oleh berbagai pihak, maka keterlibatan pihak-pihak seperti Kementrian Koperasi dan UKM, KNEKS, Bank Indonesia, Kementerian Agama RI dan pihak swasta perlu dikolaborasikan dalam salah satu kelembagaan yang dikelola dengan baik. Hal penting lainn yang harus dilakukan adalah membangun model usaha pesantren yang mampu menjamin keberlanjutan usaha pesantren. Hal ini perlu disadari karena keberlanjutan usaha masih menjadi permasalahan terbesar pengembangan kemandirian ekonomi pesantren.
Pembentukan holding pesantren sebagaimana digagas oleh Kemenag sebagai BUM-Pes atau holding bisnis pesantren oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Bank Indonesia dapat menjadi alternatif solusi model kemandirian untuk menjawab dua hal penting di atas. Integrasi usaha pesantren dalam bentuk holding dapat ditujukan untuk meningkatkan kualitas manajemen usaha pesantren terutama sumberdaya manusia pengelola bisnis; membantu mewujudkan good governance dengan kultur dan budaya khas di lingkungan pesantren; menggali potensi bisnis pesantren serta mengatur manajemen rantai pasok untuk mewujudkan ekosistem bisnis yang terintegrasi satu sama lain.
Secara konseptual, holding bisnis pesantren dapat dikembangkan sebagai kelembagaan usaha internal pesantren dan gabungan berbagai kelembagaan usaha internal pesantren yang dibatasi berdasarkan kategori produk atau wilayah tertentu. Berdasarkan kemudahan pembentukan dan kesesuaian karakteristik sosial ekonomi pesantren, koperasi merupakan badan usaha yang lebih tepat. Secara spesifik berbentuk koperasi pesantren (kopontren). Dalam hal ini, kopontren dapat menjadi motor penggerak dalam menjalankan proses produksi, distribusi sekaligus memenuhi barang konsumsi yang diperlukan masyarakat pesantren (Annisa 2019) sehingga dalam perspektif internal, perputaran uang tidak keluar dari pesantren dan menjadi potensi untuk menambah nilai ekonomis pesantren (Faisal 2020).Akhirnya, dengan kolaborasi keterlibatan semua stakeholders dan penerapan strategi yang tepat, implementasi peta jalan kemandirian pesantren diharapkan dapat memperkuat peran pesatren dalam pembangunan ekonomi di Indonesia.
sumber: https://www.republika.id/posts/44311/peta-jalan-pengembangan-kemandirian-ekonomi-pesantren