Oleh Eko Ruddy Cahyadi (Dosen Departemen Manajemen dan Ketua Program Studi Ilmu Manajemen IPB
Bulan Agustus tahun ini Indonesia memasuki usia 78 tahun. Meski dianggap usia yang relatif muda dalam konteks bangsa-bangsa, Indonesia telah mengalami perjalanan penuh warna dalam meraih kemerdekaannya. Sebuah pencapaian yang diiringi oleh perjuangan penuh pengorbanan dari para founding parents yang gigih memperjuangkan kedaulatan bangsa. Dalam usia yang telah ditempuh ini, Indonesia telah menorehkan sejumlah kemajuan berharga yang patut diapresiasi.
Sejak tahun 1999, Indonesia telah bergabung dalam barisan G20, kelompok 20 negara dengan ekonomi terbesar di dunia. Sebuah prestasi yang menandakan bahwa Indonesia memiliki peran penting dalam panggung ekonomi global. Seiring dengan itu, tidak dapat diabaikan pula upaya pembangunan infrastruktur yang gencar dilakukan. Inisiatif ini telah menjadi agenda utama setiap pemerintahan, dengan tujuan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan inklusif.
Namun, di tengah segala pencapaian yang telah diraih, Indonesia juga dihadapkan pada sejumlah tantangan yang perlu diselesaikan. Meski telah mengalokasikan puluhan triliun rupiah untuk infrastruktur setiap tahunnya, data dari survei Bank Dunia menunjukkan hal yang mengejutkan. Logistics Performance Index (LPI) Indonesia pada tahun 2023 merosot drastis menjadi peringkat 63, dibandingkan peringkat 46 pada tahun 2018. Fenomena ini membangkitkan tanya: Apa yang mungkin belum berjalan sesuai rencana?
Ketika kita mengevaluasi dinamika logistik, ternyata indikator kinerja logistik tidak hanya terbatas pada infrastruktur semata. Logistik mencakup manajemen bea cukai dan perbatasan, mutu layanan logistik, ketepatan waktu pengiriman, serta kemampuan untuk pelacakan kiriman dan tarif pengiriman internasional yang bersaing. Indikator-indikator tersebut sangat terkait dengan kebutuhan sumber daya manusia yang berkualitas dan tata kelola yang baik dalam sistem logistik. Mungkin kita terlalu terpaku pada pembangunan fisik, seperti jalan, pelabuhan, dan bandara, sehingga terbengkalai mengembangkan sumber daya manusia dan tata kelola yang baik dalam sistem logistik. Apakah infrastruktur telah dirancang secara holistik untuk mengatasi permasalahan logistik dengan perencanaan yang memadai, atau justru sekadar menjadi lambang prestise?
Permasalahan lainnya yang tidak dapat diabaikan adalah stunting dan gizi buruk, yang berada dalam status kronis. Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan mengungkapkan bahwa prevalensi stunting mencapai 21,6% pada tahun 2022. Angka ini melampaui ambang batas 20% yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO). Stunting, yang mengindikasikan pertumbuhan fisik yang terhambat pada anak-anak, bukan hanya sekadar masalah kesehatan, tetapi juga memiliki implikasi jangka panjang terhadap perkembangan kognitif dan potensi manusia.
Di samping itu, Indonesia juga masih menghadapi kesenjangan ekonomi yang tinggi dan belum banyak berubah selama dua dekade terakhir. World Inequality Report 2022 mencatat bahwa selama periode 2001-2021, separuh dari penduduk Indonesia hanya memiliki kurang dari 5% dari total kekayaan rumah tangga nasional. Sementara itu, 60% kekayaan nasional dikuasai oleh hanya 10% penduduk. Kendala ini memperlihatkan bahwa meskipun terjadi pertumbuhan ekonomi, manfaatnya belum merata bagi seluruh lapisan masyarakat.
Selanjutnya, Indonesia masih sangat bergantung pada impor berbagai produk dari negara lain. Dari produk elektronik yang canggih hingga produk pertanian, dan bahkan pakaian bekas. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa sejak tahun 2013 hingga 2022, Indonesia telah mengimpor 870,4 ton baju bekas dari 92 negara dengan nilai mencapai US$ 11,09 juta. Fenomena ini menunjukkan kebutuhan yang belum tercukupi dalam sektor produksi domestik dan berdampak pada neraca perdagangan.
Untuk menilai sejauh mana kemajuan kita hari ini, cukup bijak untuk memeriksa pencapaian negara-negara yang seumur dengan kita. Meskipun setiap negara memiliki ciri khasnya sendiri, tidak ada salahnya belajar dari keberhasilan yang telah diraih oleh negara-negara lain. Salah satu contoh yang menginspirasi adalah Korea Selatan. Negara ini resmi didirikan pada tanggal 15 Agustus 1945, hanya berjarak dua hari dari kemerdekaan kita. Sebelumnya, Korea juga mengalami penjajahan yang sama dengan kita, yaitu oleh Jepang. Proses merdeka mereka juga berlangsung pada momen yang serupa, saat Jepang menyerah dalam Perang Dunia II. Bahkan setelah merdeka, kondisi politik dan ekonominya pun tidak stabil dan dilanda perang saudara. Republik Korea bahkan baru secara resmi berdiri pada 15 Agustus 1948. Korea Selatan bahkan memiliki keterbatasan sumber daya alam, seperti lahan yang sempit dan terbatas, serta kurangnya sumber daya energi dan mineral.
Namun tahun 2022 lalu, PDB perkapitanya mencapai US$ 33.644, lebih 8 kali lipat dari kita! Perusahaan-perusahaan Korea, seperti Samsung, Hyundai, LG, dan Cheil Jedang telah menjadi market leader pada industrinya masing-masing di tingkat global. Di bidang pendidikan tinggi, lima universitas Korea Selatan, yakni SNU, KAIST, POSTECH. Korea University dan Sungkyunkwan University (SKKU) telah masuk dalam 100 kampus terbaik dunia versi QS World University.
Bagaimana Korea Selatan dapat melompat begitu cepat? Langkah awal kebangkitan tersebut dimulai ketika Park Chung-hee, yang menjadi Presiden Korea Selatan pada tahun 1961 hingga 1979. menerapkan kebijakan pemerintah yang agresif untuk mengirim banyak pelajar Korea Selatan ke luar negeri untuk belajar di universitas-universitas terkemuka. Beasiswa dan dukungan finansial diberikan kepada para pelajar agar dapat mengejar pendidikan tinggi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, ekonomi, dan ilmu-ilmu sosial. Selama masa kuliah di luar negeri, para pelajar Korea Selatan diberi kesempatan untuk belajar dan beradaptasi dengan berbagai budaya dan sistem pendidikan internasional. Hal ini membuka wawasan mereka tentang praktik terbaik di berbagai sektor dan memperoleh koneksi internasional yang berharga. Setelah menyelesaikan studi mereka di luar negeri, para pelajar kembali ke Korea Selatan untuk berkontribusi dalam pembangunan negara. Mereka ditempatkan dalam posisi kunci dalam industri, akademisi, dan sektor pemerintahan untuk mengimplementasikan pengetahuan dan keterampilan yang mereka peroleh.
Hingga saat ini Korea Selatan memprioritaskan Pendidikan sebagai agenda utama dan mengalokasikan anggaran pendidikannya 4,3% dari GDP. Melalui komitmen yang teguh terhadap pendidikan, warga negaranya menyadari bahwa ketika Korea pertama kali memulai perjalanan pengembangan produk, mereka mengetahui bahwa kualitas awalnya masih kurang memadai. Namun, mereka memahami bahwa untuk menghasilkan barang-barang yang luar biasa, perusahaan-perusahaan harus melibatkan diri dalam upaya penelitian dan pengembangan yang berkelanjutan, dengan alokasi anggaran yang substansial. Seiring dengan itu, agar perusahaan-perusahaan ini dapat terus beroperasi, mereka harus mampu bertahan dalam kompetisi pasar. Kelangsungan usaha ini pada akhirnya bergantung pada tingkat konsumsi atas produk-produk yang mereka hasilkan, sehingga tercipta semacam afinitas terhadap produk-produk domestik. Walaupun pada awalnya motivasinya bukan karena kualitas, melainkan lebih kepada tekad untuk menciptakan produk-produk domestik yang berkualitas tinggi, sentimen semacam ini terus tumbuh dan mengakar.
Di sisi lain, kita juga perlu mengambil pelajaran dari problem lingkungan dan sosial yang banyak terjadi di Korea Selatan. Kota-kota besar seperti Seoul sering mengalami masalah polusi udara yang serius, terutama selama musim dingin akibat pembakaran bahan bakar fosil dan faktor lainnya. Menurut World Air Quality Report 2020, Seoul pernah menjadi salah satu kota dengan kualitas udara terburuk di dunia. Tingkat stres di Korea Selatan diketahui cukup tinggi. Beban kerja yang berat, tekanan dalam mencapai standar prestasi yang tinggi, serta budaya kompetitif dalam pendidikan dan pekerjaan dapat menyebabkan tingkat stres yang tinggi pada individu. Menurut laporan dari Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), Korea Selatan memiliki salah satu tingkat stres tertinggi di antara negara-negara anggota OECD. Akibatnya tingkat bunuh diri di Korea Selatan juga cukup tinggi, dan masalah kesejahteraan mental telah menjadi perhatian nasionalKita dapat belajar dari mana saja, termasuk Korea Selatan. Tentu, setiap negara dapat merumuskan formulanya sendiri untuk mencapai keberhasilan. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa pengembangan kualitas manusia menjadi kunci utama keberhasilan negara-negara di dunia. Di usia 78 tahun, Indonesia memiliki kesempatan untuk meneruskan perjalanan perubahan dan kemajuan. Dengan belajar dari tantangan yang dihadapi, kita dapat memperkuat fondasi pembangunan yang berkelanjutan. Semoga kita dapat mewujudkan Indonesia yang tangguh, inklusif, dan berdaya saing di panggung global. Dirgahayu Indonesia!
sumber: https://www.republika.id/posts/44148/quo-vadis-78-tahun-indonesia