OLEH Dedi Budiman Hakim (Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB, International Center for Applied Finance and Economics (InterCAFE) IPB)
Instrumen sistem jaminan sosial sampai saat ini sudah berkembang dengan adanya kebijakan pengentasan kemiskinan dan adanya lembaga yang menyelenggarakan jaminan sosial khususnya untuk bidang kesehatan dan ketenagakerjaan (BPJS Kesehatan dan Ketenagakerjaan). Secara ekonomi, keberadaan jaminan sosial bidang kesehatan dan ketenagakerjaan merupakan bentuk dukungan untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas kehidupan masyarakat.
Jaminan sosial juga bertujuan meningkatkan kualitas kehidupan pekerja sehingga tetap dapat berkontribusi dalam pembangunan ekonomi dengan tidak berkurangnya produktivitas kerja.
Ageing population
Dengan dukungan sarana dan prasarana kesehatan yang terus berkembang dan dapat dijangkau oleh masyarakat, harapan hidup masyarakat semakin berkembang. Implikasinya semakin banyak masyarakat yang berusia lanjut (di atas 65 tahun). Sebagai gambaran, BPS memproyeksikan pada 2045 jumlah penduduk lanjut usia 43-45 juta orang atau sekitar 13,9 persen-14,1 persen dari proyeksi penduduk Indonesia. Penduduk dengan usia lanjut memiliki karakteristik sudah turunnya produktivitas tenaga kerja sehingga pendapatannya bergantung pada nilai uang pensiun, jaminan hari tua, dan atau tidak memiliki pendapatan sama sekali.
Hal ini terkait dengan latar belakang pekerjaan yang dimiliknya. Bagi pekerja penerima upah, dana pensiun atau jaminan hari tua dapat menjadi penopang hidupnya. Sebaliknya, bagi yang bukan penerima upah (self-employed) peluang tidak memiliki pendapatan semakin besar. Terutama yang bekerja di sektor informal dan pertanian, baik pemilik maupun buruh tani.
Karakteristik kedua adalah semakin bertambah usia, risiko kesehatan semakin besar, terutama penyakit degeneratif. Frekuensi kunjungan ke pelayanan kesehatan akan semakin meningkat, baik konsultasi kesehatan (rawat jalan) maupun perawatan di rumah sakit/puskesmas (rawat inap). Keterbatasan akses terhadap kegiatan produktif sebagai sumber pendapatan serta tingginya risiko kesehatan, jika tidak ada mitigasi risiko berdampak terhadap besarnya biaya perawatan bagi para lanjut usia.
BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan dan juga instrumen safety net lainnya belum dapat menjangkau semua masyarakat dengan kategori lanjut usia yang tersebar di perkotaan dan perdesaan (pedalaman, wilayah yang sulit dijangkau). Keberadaan panti wedra yang memberikan fasilitas kesehatan dan tempat tinggal di atas rata-rata masih sangat terbatas dan mungkin masih belum atau tidak terjangkau bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Lembaga-lembaga kemanusian/masyarakat dan pemerintah juga menyediakan fasilitas yang membantu para lanjut usia. Namun, keberlanjutannnya sangat didukung oleh ketersediaan dana baik donasi maupun dana pemerintah yang terbatas.
Pilar jaminan sosial
Jaminan sosial bagi lanjut usia merupakan hak dasar warga negara yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Lebih ekstrem lagi jaminan sosial ini dapat dikatakan hak asasi manusia (HAM) mengingat kebutuhannya sama dengan dengan akses terhadap kebutuhan pokok, keadilan, dan keberagamaan atau keyakinan.
Oleh karena itu, lembaga buruh internasional atau ILO telah menetapkan pilar jaminan sosial sebagai kerangka kebijakan atau acuan dalam menyusun seperangkat kebijakan. Pilar yang paling dasar atau hakiki adalah universal pension (old-age social protection). Universal menunjukkan inklusifnya kebijakan jaminan sosial yang memandang semua lapisan masyarakat memiliki hak dan peluang yang sama.
Setiap penduduk yang di atas 65 tahun menurut ILO harus mendapatkan jaminan sumber pendapatan yang berkelanjutan. Ketersediaan dana ini berfungsi untuk mendapatkan akses terhadap kebutuhan pokok, termasuk pelayanan kesehatan.
Jumlah penerima pensiun masih sangat terbatas. Hanya mereka yang saat bekerja sebagai pekerja penerima upah khususnya ASN-TNI-Polri. Bagi pekerja penerima upah di lembaga swasta sangat tergantung kepada kebijakan apakah ikut program dana pension di lembaga keuangan.
Program ini masih sangat terbatas dan bersifat voluntir serta berdasarkan kemauan dan kemampuan individu. Sebab, peserta harus menyisihkan sebagian pendapatannya yang disimpan di lembaga yang mengelola dana tersebut. Kelompok ini masih dapat akses terhadap pelayanan kesehatan karena mampu untuk membayar biaya konsultasi kesehatan dan perawatan di rumah sakit.
Tantangan terbesar kebijakan pilar dasar ini (pilar 0) adalah sumber pembiayaannya. Karena sifatnya hak dasar yang paling asasi, pemerintah berkewajiban untuk menyediakan dana setiap penduduk.
Salah satu mahasiswa BPJS Program Master Double Degree IPB-Leuven University Belgia dengan bimbingan penulis (Hutabarat, 2022) telah menghitung kebutuhan dana untuk melaksanakan pilar 0 ini. Dengan asumsi setiap penduduk lanjut usia mendapatkan dana setiap bulan sebesar angka kemiskinan dan konvensi ILO 102 yang berkisar Rp 176, 294- Rp 292,386 triliun per tahun atau 1,04 persen – 1,72 persen dari GDP (baseline 2021).
Mengingat jaminan sosial bidang kesehatan bagi semua penduduk lanjut usia diperkirakan jauh lebih besar daripada proyeksi atau estimasi dana pensiun yang harus disediakan dalam anggaran belanja negara, opsi kontribusi masyarakat menjadi pertimbangan penting. Ruang fiskal negara sangat terbatas karena sudah ada kewajiban 20 persennya yang harus dialokasikan untuk bidang pendidikan. Pola ini sejalan dengan Pilar 1, yaitu asuransi sosial (social insurance).
Abilty and willingness to pay (ATP dan WTP)
Berapa besar kontribusi masyarakat untuk melaksanakan program asuransi sosial ini merupakan pekerjaan rumah yang sangat besar terlepas bentuk kelembagaan operasionalisasi program ini yang cocok dengan prinsip atau filosofi asuransi bagi kelompok lanjut usia. Jika 2045 menjadi berlakunya kebijakan ini, besaran preminya tidak memberatkan beban pengeluaran rumah tangga (pekerja bukan penerima upah) dan pemberi kerja (pekerja penerima upah).
Dua isu yang perlu dipertimbangkan adalah mengukur kemampuan dan kemauan membayar besaran premi nanti (ability and willingness to pay) dan nilai masa datang manfaat atau benefit yang diterima jika nanti peserta atau penduduk lansia harus mendapatkan pelayanan kesehatan. Kembali ke paparan di atas, biaya dan risiko kesehatan akan semakin besar sejalan dengan bertambahnya usia.
Survei yang berskala besar menjadi prasyarat untuk menghitung besaran ATP dan WTP calon peserta nanti. Variabel geografi dan demografi serta ekonomi responden harus benar-benar valid dan dipertanggungjawabkan.
Responden harus mewakili wilayah kota dan perdesaan, latar belakang pendidikan dan pekerjaan selain status gender serta yang penting adalah pekerja bukan penerima upah, seperti petani/nelayan/peternak/pekebun, sektor informal, dan kalangan profesional. Kelompok ini pendapatannya bersifat random dalam arti tidak memiliki pola yang dapat diperkirakan.
Sebelum responden nanti diminta untuk memperkirakan kemampuan dan kemauan membayar premi, informasi penting lainnya adalah besaran benefit yang akan diterima (jenis pelayanan kesehatan yang berdasarkan jenis keluhan penyakit yang sering dirasakan oleh penduduk lanjut usia). Biaya perawatan hari ini pasti akan berbeda dengan biaya perawatan 10 atau 20 tahun yang akan datang. Pertanyaannya, untuk menghitung itu apakah dengan menggunakan angka inflasi atau apakah sudah ada indeks biaya kemahalan/biaya kesehatan.
Mengenai gambaran lengkap benefit yang diterima 10 atau 20 tahun yang akan datang, responden atau masyarakat dapat memperkirakan besaran kemampuan membayar premi program ini. Data ini menjadi dasar penentuan premi yang nantinya akan dibebankan kepada pekerja sekarang setelah adanya penyesuaian perhitungan aktuarianya.
InterCAFE IPB bersama Bappneas dan GIZ pada 2023 telah melakukan studi awal berapa ability dan willingness to pay para pekerja di wilayah Jabodetabek. Survei ke para pekerja dimaksudkan untuk mengetahui persepsi mereka terhadap kebijakan jaminan sosial ketika mereka nanti sudah tidak lagi memiliki pekerjaan. Juga ditanyakan kemauan dan kemampuan membayar premi jika nanti program ini diberlakukan.
Responden menilai positif program atau kebijakan ini karena peluang dan risiko menua suatu kepastian dan juga implikasinya bagi kesehatan nanti. Besaran ATP/WTP relatif kecil dibandingkan dengan penghasilan sebulannya. Dari sudut permintaan program jaminan sosial bagi kelompok usia lanjut sangat diperlukan.
Dengan kajian yang menyeluruh baik cakupan wilayah dan terutama bentuk kelembagaannya menjadi suatu keniscayaan. Hasil kajian ini diharapkan menghasilkan angka ATP/WTP yang akurat dan bentuk kelembagaan yang optimal, memiliki manfaat dan biaya yang maksimal. Dan kita tidak mau tertinggal dibandingkan dengan negara tetangga.