Oleh Prof. Bambang Juanda, Guru Besar Ilmu Ekonomi, IPB University
“Kita ngutang, bayar bunga terus, tapi uangnya gak dipakai.” Pernyataan lugas Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam rapat kerja dengan Komite IV DPD RI pada 3 November 2025 menggambarkan kegelisahan lama: uang pemerintah—baik pusat maupun daerah—banyak yang menganggur di bank.
Data Kementerian Keuangan per Agustus 2025 menunjukkan saldo dana pemerintah pusat di bank masih mencapai Rp399 triliun, terdiri atas giro Rp168,5 triliun, tabungan Rp2,4 triliun, dan simpanan berjangka Rp228,1 triliun.
Sementara itu, dana pemerintah daerah mencapai Rp254,3 triliun, terdiri dari giro Rp188,9 triliun, tabungan Rp8 triliun, dan deposito Rp57,5 triliun. Angka ini menunjukkan bahwa meskipun APBN dan APBD telah disahkan, masih banyak uang publik yang belum bekerja di lapangan.
Uang yang seharusnya mengalir menjadi jalan, irigasi, dan layanan publik justru berhenti di rekening kas. Akibatnya, ekonomi daerah kehilangan momentum pertumbuhan, sementara negara tetap menanggung beban bunga dari utang yang mendanai dana kas tersebut.
Uang Tidur atau Dana Siaga?
Dalam diskusi di WAG Ex-TADF (Tim Asistensi Menkeu bidang Desentralisasi Fiskal), dua kolega ekonom senior yang juga pernah menjadi bagian dari TADF — Robert Simanjuntak (Universitas Indonesia) dan Hefrizal Handra (Universitas Andalas) — menyampaikan pandangan menarik yang saling melengkapi tentang fenomena dana daerah yang mengendap.
Keduanya menulis naskah opini yang telah dikirim ke media, namun belum terbit, dan diskusinya memberi perspektif berharga: apakah kas daerah yang besar itu “uang tidur” atau justru “dana siaga”?
Robert menilai, dana besar di kas daerah adalah cermin perencanaan anggaran dan tata kelola kas yang belum efisien. Dana publik, menurutnya, seharusnya bekerja menciptakan layanan dan pertumbuhan, bukan diam menimbulkan opportunity loss bagi masyarakat.
Hefrizal berpandangan sebaliknya: saldo kas besar tidak otomatis berarti salah kelola.
Sebagian dana itu adalah kas siaga, disiapkan untuk kewajiban yang belum jatuh tempo—gaji, kontrak, atau proyek yang masih berjalan. Ia menekankan bahwa kehati-hatian kas adalah disiplin fiskal yang perlu dijaga.
Kedua pandangan tampak berbeda, namun sejatinya komplementer: Robert menyoroti efisiensi, Hefrizal menekankan prudensi. Keduanya mengingatkan bahwa uang publik harus aman sekaligus produktif.
Pola yang Berulang Setiap Tahun
Fenomena “uang tidur” di daerah bukan hal baru. Polanya berulang hampir setiap tahun:
1. Triwulan I–II: serapan anggaran rendah karena dokumen teknis belum siap dan pejabat pembuat komitmen masih menunggu petunjuk.
2. Triwulan III: kegiatan fisik mulai berjalan, tapi realisasi masih di bawah 50 persen.
3. Triwulan IV: terjadi lonjakan serapan, proyek dikebut, dan pembayaran menumpuk di akhir tahun.
Akibatnya, belanja publik bersifat musiman. Dana besar di rekening kas umum daerah (RKUD) membuat pemerintah pusat gelisah, sementara kontraktor lokal menunggu pembayaran yang tertunda.
Akar Masalah Dana Mengendap
Bila ditelusuri lebih dalam, ada lima penyebab utama:
1.Perencanaan dan kesiapan proyek yang lemah.
Banyak kegiatan belum siap lelang ketika tahun anggaran dimulai.
2.Proses pengadaan lambat dan berlapis.
Ketakutan audit menyebabkan pejabat cenderung menunda keputusan.
3.Regulasi transfer dana pusat yang kompleks.
Syarat administrasi DAK fisik dan hibah sering memperlambat pencairan.
4.Rotasi pejabat dan lemahnya kapasitas teknis.
Pejabat pengelola anggaran sering berganti, menghambat kontinuitas.
5.Insentif yang salah.
Bunga simpanan kas di BPD dicatat sebagai PAD, sehingga daerah nyaman menahan dana.
Manajemen Kas: Antara Efisiensi dan Kehati-hatian
Hefrizal menegaskan, manajemen kas bukan sekadar mempercepat belanja, tetapi menjaga likuiditas agar pelayanan publik tidak terganggu. Dana publik ibarat air di bendungan: sebagian memang perlu disimpan agar aliran tetap stabil. Namun, bila bendungan terlalu penuh dan airnya tak dialirkan ke sawah, maka padi akan kering.
Sebaliknya, Robert mendorong penerapan cash management modern melalui Local Treasury Single Account (LTSA) — sistem yang mengintegrasikan seluruh rekening SKPD ke RKUD.
Dengan mekanisme zero-balance account, seluruh saldo unit kerja disapu otomatis setiap hari ke kas umum daerah. Langkah ini akan menutup peluang inefisiensi dan memudahkan proyeksi kebutuhan kas mingguan secara real-time.
Ketika Dana Mengendap di BPD
Sebagian besar kas daerah memang ditempatkan di Bank Pembangunan Daerah (BPD).
Dari sisi keamanan fiskal, hal ini wajar. Tapi dari sisi ekonomi makro, dana yang terlalu lama mengendap justru menahan perputaran ekonomi. Idealnya, dana tersebut dapat menjadi basis kredit produktif melalui skema sinergi Pemda–BPD.
Namun agar aman dan transparan, mekanismenya perlu diatur: bunga yang diterima daerah harus berbasis kinerja penyaluran kredit ke sektor produktif, bukan sekadar deposito pasif.
Dampak ke Ekonomi Daerah
Setiap rupiah yang tertahan berarti hilangnya peluang pertumbuhan. Dengan asumsi saldo kas daerah Rp250 triliun mengendap selama tiga bulan, dan fiscal multiplier 1,3, potensi kehilangan output mencapai Rp50–60 triliun.
Dampak ikutannya: kontraktor menunggu pembayaran, konsumsi rumah tangga tertunda, dan penerimaan pajak daerah menurun.
Langkah Konkret: dari Kas Pasif ke Kas Produktif
Beberapa langkah reformasi yang bisa ditempuh antara lain:
1.Tender dini dan perencanaan siap lelang.
Proyek disiapkan lebih awal agar kegiatan fisik bisa dimulai sejak triwulan I.
2.Sistem informasi kas nasional terintegrasi.
Dashboard real-time yang menampilkan posisi kas daerah dan progres realisasi anggaran.
3.Insentif fiskal berbasis kinerja.
Pemda dengan serapan cepat dan berkualitas mendapat tambahan Dana Insentif Fiskal (DIF).
4.Sinergi dengan BPD berbasis produktivitas.
Dana kas daerah dimanfaatkan untuk mendukung kredit sektor riil, bukan sekadar deposito.
5.Audit berbasis risiko.
Pengawasan fokus pada dampak dan risiko material, bukan kesalahan administratif kecil.
Keseimbangan: Aman tapi Harus Bekerja
Pandangan Robert dan Hefrizal sejatinya saling melengkapi.
Robert menekankan efisiensi fiskal, Hefrizal menegaskan kehati-hatian.
Keduanya mengingatkan kita: kehati-hatian tanpa keberanian membuat uang publik tertidur; keberanian tanpa tata kelola membuat uang publik tersesat.
Keseimbangan antara keduanya adalah kunci agar uang publik aman, efisien, dan produktif.
Dari Dana Mengendap ke Dana Bergerak
Kebijakan fiskal daerah bukan hanya soal disiplin, tetapi soal tanggung jawab untuk bertindak. Dana Rp254 triliun di rekening pemerintah daerah adalah potensi besar yang harus mengalir kembali ke masyarakat dalam bentuk layanan publik, pekerjaan, dan kesejahteraan.
Membangunkan dana daerah yang tidur tidak cukup dengan perintah administratif, tetapi perlu policy design yang memadukan tata kelola, insentif, dan teknologi digital.
Sudah saatnya daerah bangga bukan karena saldo besar, tetapi karena belanja yang cepat, tepat, dan berdampak. Sebab, uang publik—seperti air—hanya berguna bila mengalir.