Oleh Prof. Bambang Juanda (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB)
Pada 30 Oktober 1946 diterbitkan emisi pertama uang kertas ORI (Oeang Republik Indonesia) sehingga tiap tahun pada tanggal tersebut diperingati hari uang. Seiring hari uang ini, akan dipaparkan bagaimana peluang, tantangan, dan potensi risiko dari implementasi Central Bank Digital Currency (CBDC) atau Rupiah digital. Selain itu, bagaimana desainnya yang paling sesuai dengan arsitektur sistem pembayaran dan sistem moneter di Indonesia, serta apa saja implikasi kebijakan penerapan CBDC kepada masyarakat. Tulisan ini berdasarkan penelitian penulis dan Tim IPB yang didanai oleh Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI) tahun 2022 lalu.
Perkembangan teknologi informasi berpengaruh sangat signifikan terhadap seluruh sendi perekonomian di Indonesia dan berbagai negara, diantaranya pada sektor keuangan. Inovasi pada instrumen pembayaran terlihat dengan makin besarnya transaksi masyarakat yang berbasiskan teknologi informasi, seperti uang elektronik, digital payment, dan berbagai instrumen lainnya.
Disisi lain, perkembangan mata uang kripto (cryptocurrency) tumbuh signifikan, tapi tidak disertai dengan kecepatan hadirnya peraturan yang mengikutinya. Banyak Lembaga yang menghawatirkan ini, termasuk Dana Moneter Internasional (IMF) karena akan berisiko bagi konsumennya dan dapat membuka aktivitas yang tidak diinginkan seperti pencucian uang dan pendanaan teroris. Semua kondisi di atas, mendorong Bank Indonesia (BI) untuk mengadopsi CBDC atau Rupiah digital sebagai alat pembayaran yang sah, seperti uang yang ada sekarang.
Sebagai langkah awal, BI menerbitkan White Paper terkait pengembangan Digital Rupiah pada 30 November 2022. White Paper ini merupakan pemaparan awal dari Proyek Garuda berupa desain level atas (high-level design) Digital Rupiah sekaligus sebagai bentuk komunikasi kepada publik terkait rencana pengembangan Digital Rupiah.
BI saat ini tengah gencar mendorong inklusi keuangan dan digitalisasi sistem pembayaran, terlebih lagi dalam masa pandemi kemarin telah mendorong masyarakat menggunakan pembayaran secara digital. Dalam hal digitalisasi pembayaran, BI telah meluncurkan QRIS yang pada tahun 2022 telah terdapat sekitar 12.6 juta pengguna QRIS dan 2.1 juta merchant QRIS, dimana sekitar 90% merchant QRIS adalah Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). BI menargetkan 45 juta pengguna QRIS pada tahun 2023 ini.
Dengan mempertimbangkan kondisi Indonesia yang memiliki tingkat literasi dan inklusi keuangan jumlah pengusaha UMKM yang masih terus berkembang, jumlah pengusaha UMKM yang mendominasi, angka bonus demografi yang cukup tinggi, maka CBDC dapat menjadi salah satu alternatif dalam mendorong inklusifitas keuangan Indonesia.
Peluang implementasi Rupiah digital cukup baik karena masyarakat sudah terbiasa menggunakan uang eleketronik atau non-tunai. Hal ini dilihat dari beberapa indikator yaitu: (a) perkembangan jumlah kartu di Indonesia dalam penggunaan uang digital, serta volume dan nilai transaksinya yang semakin tinggi dengan tren pertumbuhan secara eksponensial; (b) mayoritas masyarakat menggunakan uang elektronik dan sudah memahami produk layanan uang elektronik karena merasa uang elektronik lebih unggul; (c) kecenderungan masyarakat dan pelaku usaha menggunakan uang elektronik karena kemudahan, kebutuhan, waktu, keamanan, dan kepercayaan; (d) masyarakat sudah terbiasa menggunakan uang elektronik dan pelaku usaha juga sudah terbiasa menggunakan digital payment dan bertransaksi menggunakan HP; dan (e) masyarakat dan pelaku usaha berpendapat bahwa uang elektronik berdampak positif terhadap aktivitasnya sehingga melakukan isi ulang (top-up) uang elektronik rata-rata 4 kali per hari.
Dari masyarakat pengguna HP, yang menggunakan uang elektronik sebanyak 94.8%. Jenis uang elektronik yang paling banyak digunakan masyarakat yaitu e-Wallet (Gopay, Shoppe Pay, Dana, OVO, LinkAja, dan sejenisnya) sebanyak 86.67% sedangkan uang elektronik bank (e-money, brizzy, Tapcash, FLAZZ, dan sejenisnya) sebesar 75.42% serta lainnya seperti Bank Digital dan Kartu Multi Trip KAI Commuter sebesar 3.75%.
Untuk tantangan dalam implementasi Rupiah digital (CBDC) yang paling utama terkait dengan design arsitektur, infrastruktur, dan pengembangan platform sendiri dari Bank Indonesia tanpa keterlibatan pihak ketiga atau pihak asing. Scaling up pada teknologi blockchain akan mempengaruhi kinerja sehingga perlu kehati-hatian dalam implementasi. Selain itu, terkait dengan keengganan masyarakat dan pelaku usaha dalam menggunakan uang elektronik akibat adanya kekhawatiran akan keamanan data pribadi, kenyamanan tersendiri dalam penggunaan uang tunai, dan perasaaan lebih aman menggunakan aplikasi resmi dari bank. Kemudian, masih adanya tantangan terkait kondisi demografi dan aksesibilitas masyarakat dan pelaku usaha di Indonesia yang sangat beragam, yang masih tidak tahu dan tidak memahami konsep Rupiah Digital.
Saat ini sudah relatif banyak banyak negara yang sudah mengimplementasi uang digitalnya (CBDC). Umumnya negara yang sudah mengimplementasi CBDC berukuran relatif kecil atau negara kepulauan karena relatif mudah mengaturnya, terutama dalam memitigasi risiko yang dapat muncul ketika CDBD diimplementasikan. Negara yang sudah menerapkan CBDC, diantaranya adalah Bahama, Jamaika, Nigeria, Antigua dan Barbuda, Barbados, Kuba, Rep.Dominika, Dominika, Grenada, Haiti, St Kitts dan Nevis, St Lucia, St Vincent dan Grenadines, Trinidad dan Tobago.
Untuk negara yang besar seperti China, meskipun sudah lama melakukan kajian dan mengimplementasikan CBDCnya (e-CNY) di beberapa wilayah/kota sebagai pilot project, China belum mengimplementasikan e-CNY secara penuh. Begitu juga dengan Swedia dengan e-krona nya, sangat hati-hati sehingga sampai sekarang belum menerapkan CBDCnya karena tidak mudah menerapkan CBDC untuk negara yang cukup besar, apalagi sangat beragam seperti Indonesia.
Potensi risiko dalam implementasi Rupiah digital (CBDC) lebih kepada masih adanya masyarakat dan pelaku usaha yang belum menggunakan uang elektronik sehingga perlu pilihan penggunaan uang kartal sekarang dan uang elektronik. Selain itu, masih adanya masyarakat, terutama di Papua, yang belum memiliki HP. Kemudian adanya risiko atas masalah yang masih sering dialami oleh masyarakat saat menggunakan uang elektronik seperti kendala jaringan (loss signal), tidak terbaca card reader, hilang, rusak, saldo terdebet dua kali, dan lainnya seperti gagal top-up dengan nominal besar karena ada batas maksimal top-up, dan belum mendukungnya beberapa merchant terhadap penggunaan uang elektronik.
Desain yang tepat merupakan salah satu bagian paling penting dalam penerbitan CBDC. Desain CBDC Bank Indonesia mencakup Wholesales CBDC (w-CBDC) dan Retail CBDC (r-CBDC) yang masing-masing memiliki fitur yang berbeda dan harus mengakomodiasi kebutuhan dan sekaligus keterbatasan masyarakat Indonesia. Desain r-CBDC untuk inklusi keuangan, dan w-CBDC lebih kepada improvement system pembayaran karena dapat memitigasi risiko failure
Rekomendasi Desain CBDC Indonesia ada 3 jenis, yaitu: CBDC berbasis akun, CBDC berbasis kartu untuk r-CBDC, serta CBDC berbasis token untuk w-CBDC. Secara ringkas alur konversi CBDC (Rupiah digital) Indonesia dapat dilihat dalam Gambar di bawah ini (Juanda et al. 2022).