Dr. Laily Dwi Arsyanti (Sekretaris Departemen Ilmu Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University) dan Busaid, M.Si (Peneliti Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah/CI-BEST IPB University)
Indonesia memiliki potensi yang sangat besar dalam mengembangkan Islamic Financial Center sebagaimana telah diuraikan pada artikel sebelumnya dengan judul Potensi Pengembangan Islamic Financial Center di Indonesia yang dimuat Republika tanggal 18 Juli 2023. Potensi tersebut seharusnya dioptimalkan oleh pemerintah Indonesia dengan menseriusi pengembangan Islamic Financial Center yang model kawasannya juga sudah digambarkan pada artikel Model Kawasan Pengembangan Islamic Financial Center di Indonesia, yang dimuat Republika tanggal 15 Agustus 2023. Pada artikel tentang Model Kawasan Islamic Financial Center tersebut dijelaskan bahwa adanya sweetener merupakan salah satu ciri yang perlu dimiliki oleh Islamic Financial Center agar menjadi global Islamic financial center sehingga dapat menarik minat investor baik dalam maupun luar negeri. Sweetener yang sudah jamak diberikan untuk menarik para investor berupa fasilitas dan kemudahan: Pertama, Insentif Fiskal yang berupa perpajakan, kepabeanan, dan cukai. Kedua, Insentif Non Fiskal yang meliputi lalulintas barang, ketenagakerjaan, keimigrasian, pertanahan dan tata ruang, perizinan berusaha. Ketiga, Insentif Sistem Layanan Keuangan khususnya keuangan syariah. Selain ketiga jenis sweetener tersebut yang juga sangat krusial bagi investor untuk memutuskan menanamkan investasinya adalah sistem hukum yang diterapkan dalam kawasan Islamic Financial Center. Oleh karena itu, pada artikel kali ini akan dijelaskan tentang pilihan sistem hukum yang dapat diterapkan pada kawasan Islamic Financial Center yang dikembangkan di Indonesia.
Sistem Hukum Existing
Terdapat empat sistem hukum existing diantaranya (1) Civil Law; (2) Common Law; (3) Islamic Law; (4) Hukum Adat/Living Law. Civil Law merupakan sistem hukum sipil berbasis hukum tertulis (written law). Didasarkan pada seperangkat aturan hukum dan perundang-undangan yang tertulis (kitab undang-undang atau undang-undang sebagai sumber hukum utama). Berkembang di Eropa kontinental seperti Perancis sebagai negara yang terlebih dahulu menerapkan sistem hukum tersebut. Civil Law memiliki konsep kepastian hukum (rechtsstaat). Sedangkan sistem hukum Common Law dikenal dengan istilah Anglo Saxon atau unwritten law. Didasarkan pada yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Dalam sistem hukum ini yang menjadi acuan utama bukan undang-undang melainkan putusan hakim/pengadilan (judge made law). Berkembang di Inggris, Irlandia, dan Amerika dengan menggunakan konsep Rule of Law. Sistem hukum Islamic Law bersumber pada syariah (hukum Allah yang bersifat absolut) dan merupakan fiqh (hasil ijtihad terhadap Al-Qur’an dan Hadist). Hukum Islam tidak membedakan tegas wilayah hukum privat dan hukum publik serta merupakan ibadah dan muamalah. Sedangkan Hukum Adat merupakan hukum otentik bersumber dari tradisi dan kebiasaan masyarakat Indonesia yang berupa peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya.
Sistem Hukum di Indonesia
Indonesia adalah negara dengan sistem hukum nasional yang mengacu pada Pancasila sebagai dasar negara dan menempatkan agama sebagai salah satu komponen penting dalam kehidupan masyarakat. Namun demikian, pada praktiknya Indonesia secara umum mengacu pada sistem hukum civil law yang didasarkan pada seperangkat aturan hukum dan perundang-undangan yang tertulis. Beberapa contoh upaya menyatukan dan penyatuan hukum Islam ke dalam sistem hukum di Indonesia dalam bentuk undang-undang (UU), misalnya adalah UU No. 16 Tahun 2019 perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, dan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Sementara itu, contoh penyatuan sistem hukum common law di Indonesia terjadi pada hukum korporasi yang telah mengadopsi konsep-konsep korporasi yang berasal dari sistem Common Law, seperti konsep: Fiduciary Duties, Business Judgment Rule (BJR), Piercing Corporate Veil (PCV), Ultra Vires vs Intra Vires, Shareholders Derivative Action, Corporate Social Responsibility (CSR) yang kesemuanya bukan berasal dari Indonesia. Namun keseluruhan konsep di atas telah diatur pada Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU-PT). Hal ini menunjukkan secara implisit Indonesia telah mengakui konsep-konsep hukum PT pada sistem hukum Common Law. Hal sebaliknya juga terjadi, yaitu diakuinya dan diterimanya konsep hukum dari Indonesia menjadi bagian dari hukum internasional, termasuk negara-negara dengan sistem hukum Common Law, seperti konsep: Wawasan Nusantara di dalam Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982), konsep bagi hasil yang kemudian dikenal dengan Production Sharing Contract (PSC) untuk bidang perminyakan, konsep hukum ini telah diterima dengan dilakukannya perjanjian-perjanjian internasional antara pihak Indonesia dengan perusahaan asing dengan latar belakang sistem hukum yang berbeda. Bahkan memasuki di tahun 2017, Indonesia telah menggagas konsep hukum Gross Split (GS), meskipun masih dalam tahap kontroversi, sebagai upaya untuk mengganti Cost Recovery (CS). Hal ini menunjukkan bahwa sistem hukum Civil Law juga dapat mempengaruhi sistem hukum Common Law.
Sistem Hukum Kawasan Islamic Financial Center di Indonesia
Penjelasan tersebut menegaskan bahwa tidak ada larangan suatu negara menerapkan dua atau lebih sistem hukum secara bersamaan (mixed legal system). Kutipan yang diambil dari Mahfud MD yakni Sistem negara hukum Prismatik, hukum negara berdasar pada cita hukum Indonesia dan keberadaan dua sistem hukum Common Law dan Civil Law sebagai penyeimbang dan proses Filterisasi. Indonesia menganut sistem hukum civil law namun dalam praktik dan dinamika memiliki karakteristik yang identik dengan pengadopsian sistem hukum common law dan penambahan gagasan negara hukum nomokrasi Islam (mixed law system).
Selain itu, di beberapa negara yang telah lebih dulu mendirikan Islamic financial center seperti Malaysia dengan Tun Razak Exchange, Kazakhstan dengan Astana International Financial Centre (AIFC), Uni Emirat Arab (UEA) dengan Dubai International Financial Centre (DIFC), dan Qatar dengan Qatar Financial Centre (QFC) menerapkan sistem hukum common law pada kawasan tersebut. AIFC Court menyediakan sistem pengadilan common law yang beroperasi dengan standar internasional tertinggi untuk menyelesaikan sengketa perdata dan komersial di AIFC. Pengadilan tersebut mengadili secara eksklusif semua klaim yang timbul dari AIFC dan operasinya serta klaim lain dimana semua pihak yang bersengketa setuju secara tertulis atas yurisdiksi AIFC Court. Bahkan DIFC diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan Dubai, sebuah regulator independen yang eksklusif untuk zona tersebut, dan didukung oleh sistem pengadilannya sendiri. Pengadilan DIFC, terpisah dari sistem hukum Emirat Dubai dan sistem pemerintah federal UEA.
Tabel 1. Sistem Hukum Islamic Financial Center di Beberapa Negara di Dunia
Negara | Nama Islamic Financial Center | Sistem Hukum |
Malaysia | Tun Razak Exchange | Common law |
Kazakhstan | Astana International Financial Centre | A complete and comprehensive legal platform (norms and precedents of the law of England and Wales) |
Uni Emirat Arab | Dubai International Financial Centre | DIFC Authority (Common Law) |
Qatar | Qatar Financial Centre | English common law |
Dimungkinkannya penerapan dua atau lebih sistem hukum mixed legal system di suatu negara termasuk Indonesia yang juga telah mengadopsi sistem hukum common law terutama pada hukum korporasi tentunya menjadi pertimbangan yang kuat bagi penerapannya di kawasan Islamic Financial Center yang akan dikembangkan di Indonesia. Tidak hanya itu, pengalaman negara lain yang lebih dulu mengembangkan Islamic Financial Center juga telah menerapkan sistem hukum mixed legal system, yaitu sistem hukum yang diterapkan di kawasan berbeda dengan sistem hukum yang diadopsi negaranya, seperti di DIFC, AIFC, dan QFC. Dengan demikian, penggunaan sistem hukum mixed legal system pada Islamic Financial Center di Indonesia merupakan pilihan yang tepat. Penggunaan sistem hukum ini memungkinkan penyelesaian perselisihan antar investor luar negeri atau antara investor luar negeri dengan dalam negeri menggunakan sistem hukum common law. Sedangkan antar investor dalam negeri dapat diselesaikan menggunakan sistem hukum civil law. Wallaahu a’lam.
Artikel ini di muat pada https://www.republika.id/posts/45682/sistem-hukum-kawasan-islamic-financial-center-di-indonesia