OLEH Dr. Sahara (Direktur International Trade Analysis and Policy Studies (ITAPS), Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM-IPB, Adjunct Associate Professor Adelaide University, Australia)
Berbelanja online telah menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat terutama masyarakat di wilayah perkotaan yang memiliki akses terhadap internet dan memiliki opportunity cost yang tinggi untuk berbelanja secara offline. Berdasarkan laporan dari WeAreSocial (2023), sebanyak 77% penduduk Indonesia (212,9 juta) sudah terkoneksi dengan internet dan dari jumlah tersebut sekitar 60,4% merupakan pengguna aktif dari sosial media. Angka tersebut merupakan potensi yang sangat besar bagi para pengusaha untuk menjangkau mereka secara online.
Tingginya opportunity cost belanja secara offline yaitu mahalnya biaya transportasi (bahan bakar, biaya parkir, transportasi umum) dan waktu yang dihabiskan untuk pergi ke toko fisik juga menjadi faktor pendorong belanja online menjadi populer. Ketika berbelanja online, konsumen cukup membuka internet mengunjungi e-commerce atau social commerce dan bisa langsung melakukan transaksi pembelian sehingga bisa menghemat waktu dan biaya.
E-commerce adalah singkatan dari electronic commerce (perdagangan elektronik) yaitu merujuk pada transaksi jual beli yang dilakukan melalui sistem elektronik. Contoh platform e-commerce terkemuka di Indonesia adalah Tokopedia dan Shopee yang menawarkan beragam produk termasuk elektronik, fashion, makanan dan lain-lain. Dengan berbagai kenyamanan dan beragamnya produk yang ditawarkan menjadikan e-commerce sebagai salah satu pilihan belanja online yang disukai oleh konsumen dari berbagai kalangan.
Beberapa tahun setelah e-commerce mengalami booming, muncul social commerce yaitu platform yang menggabungkan media sosial dan e-commerce. Melalui platform ini pengguna dapat melihat, memilih, dan melakukan transaksi pembelian produk secara langsung tanpa harus keluar dari media sosial. Contoh social commerce yang populer di Indonesia adalah TikTok.
Keberadaan social commerce marak diperbincangkan terutama setelah pemerintah resmi melarang TikTok untuk memfasilitasi transaksi pembayaran pada sistem elektroniknya seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023. Dengan pembatasan tersebut, aktivitas jual beli di TikTok Shop tidak diizinkan lagi. Namun demikian, pengguna masih bisa melakukan aktivitas promosi atau mengiklankan produk yang dijualnya melalui sosial media TikTok.
Pembatasan tersebut mendapatkan sejumlah pro dan kontra dari berbagai kalangan dan tentu saja berdampak terhadap UMKM yang selama ini telah memanfaatkan TikTok dalam penjualan produk. Ketika para pelanggan tidak diperbolehkan lagi melakukan kegiatan pembelian di social commerce tersebut, tentu saja akan terjadi penurunan yang signifikan dari omzet dan keuntungan yang diperoleh pelaku UMKM. Tidak hanya bagi para pelaku UMKM, pembatasan tersebut juga berdampak besar terhadap sejumlah konten kreator dan pelaku lainnya yang terlibat dalam ekosistem di social commerce tersebut.
Tidak dapat dipungkiti bahwa social commerce disatu sisi sebenarnya membantu para UMKM untuk memperluas akses dan jangkauan pasar mereka melalui inovasi yang dilakukan. Sebagai contoh fitur For Your Page (FYP) yang merupakan inovasi andalan dari TikTok telah membuat pengalaman belanja di TikTok menjadi lebih personal karena algoritma TikTok bisa mempersonalisasi konten yang muncul di FYP setiap pengguna berdasarkan sejarah penelusuran, interaksi, dan preferensi pengguna.
Di samping itu, FYP memberikan peluang bagi kreator konten untuk membuat video dan konten-konten yang menarik sehingga mendapatkan eksposur yang lebih besar. Jika video mereka tampil di FYP maka dapat meningkatkan jumlah penonton, dan pengikut mereka. Bagi UMKM ketika video FYP maka akan meningkatkan jumlah penjualan mereka.
Jika TikTok memberi banyak kemudahan kepada pelaku UMKM, content creator dan pengguna, lalu kenapa pemerintah melarang aktivitas jual beli di TikTok Shop? Terdapat setidaknya dua alasan yang dikemukakan oleh pemerintah. Alasan pertama adalah untuk melindungi para pelaku UMKM dalam negeri dengan mewujudkan persaingan adil diantara para pelaku UMKM.
Sebagaimana yang diketahui bahwa kontribusi sektor UMKM terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai 60,51 persen dengan nilai transaksi mencapai Rp 9 580 triliun. Melalui pembatasan aktivitas jual beli di social commerce pemerintah dapat memonitor dan mengatur persaingan harga sehingga predatory price tidak terjadi diantara sesama UMKM. Pemerintah juga berharap agar barang-barang yang dijual di pasar online lebih mengedepankan produk lokal. Secara singkat, pemerintah ingin mengatur perdagangan digital agar tercipta perdagangan yang adil (fair trade), bukan free trade.
Alasan kedua pembatasan pemerintah tersebut dilakukan karena TikTok hanya memiliki izin beroperasi sebagai sosial media di Indonesia, bukan sebagai platform e-commerce. Merespon pembatasan tersebut, maka pada Rabu 4 Oktober 2023 TikTok Shop resmi ditutup sehingga TikTok hanya beroperasi sebagai media sosial. Jika TikTok masih tetap ingin melakukan bisnis jual beli, maka TikTok harus membuat perusahaan entitas baru dalam bentuk e-commerce.
Pertanyaans selanjutnya, apa yang harus dilakukan oleh UMKM pasca penutupan social commerce terbesar di Indonesia tersebut? Dampaknya akan bervariasi yaitu beberapa UMKM mungkin lebih fleksibel dalam menanggapi perubahan tersebut, sementara UMKM yang lain mungkin lebih rentan terhadap dampaknya.
Respon yang paling umum dilakukan oleh para UMKM yang selama ini berjualan di TikTok Shop adalah dengan bermigrasi ke platform e-commerce yang telah ada (misalnya Tokopedia dan Shopee). Sebagian UMKM sebenarnya juga sudah memiliki lapak di e-commerce lainnya sehinga mempermudah mereka untuk melakukan penyesuaian terhadap perubahan tersebut.
Bagi yang belum memiliki lapak di e-commerce lain, maka migrasi bisa segera dilakukan agar penjualan online masih bisa dilakukan. Fitur-fitur di e-commerce besar di Indonesia sebenarnya mirip dengan yang ada di TikTok Shop, misalnya sistem pembayaran dan layanan jualan secara live.
Lebih lanjut, dukungan dari pemerintah dalam bentuk pelatihan dan fasilitas lainnya akan sangat membantu pelaku UMKM untuk mengatasi tantangan yang mungkin muncul akibat pelarangan social commerce dan perubahan lingkungan bisnis digital lainnya. Upaya lain yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan jumlah pelaku UMKM dalam mengakses pasar digital adalah dengan mengurangi digital divide (kesenjangan digital).
Istilah digital divide mengacu kepada kesenjangan (gap) antara individu, kelompok, maupun masyarakat termasuk para pelaku usaha dalam menghadapi perkembangan teknologi digital. Kesenjangan digital tidak hanya mengacu kepada akses terhadap internet, tetapi juga meliputi empat aspek sebagai berikut.
Pertama, material access yaitu mengacu kepada kelompok (masyarakat atau pelaku usaha) yang tidak memiliki kemampuan untuk membeli atau mengakses komputer, gawai atau koneksi internet. Kondisi ini terjadi pada kelompok yang berpendapatan rendah. Kedua, skill access yaitu mengacu kepada kelompok yang memiliki kemampuan yang minim di sektor digital. Umumnya disebabkan oleh minimnya tingkat pendidikan ataupun dukungan sosial.
Ketiga, mental access yaitu mengacu kepada kelompok yang memiliki pengalaman digital dasar yang sangat minim. Biasanya terjadi karena kurangnya ketertarikan terhadap teknologi baru (misalnya pelaku usaha atau konsumen pada golongan masyarakat usia tua). Keempat, usage access yaitu mengacu kepada kelompk yang kesempatan penggunaan teknologi dan internet sangat minim atau terbatas. Misal mereka yang tinggal di wilayah terpencil
Bagaimana dampak digital divide pada kelompok UMKM? Para pelaku UMKM yang tidak memiliki akses terhadap teknologi digital akan mengalami ketertinggalan untuk meningkatkan jangkauan pasar, mengakses informasi penting terkait kelangsungan usaha mereka (sumber input, preferensi konsumsen dan lain-lain).
Oleh sebab itu penting bagi pemerintah untuk terus melakukan upaya-upaya untuk menghapuskan kesenjangan digital di kalangan UMKM melalui dua cara sebagai berikut. Pertama, pemerintah membangun jaringan Infrastruktur internet terutama di wilayah terpencil (remote area). Kedua, pemerintah memberikan literasi digital kepada para pelaku UMKM agar keterampilan digital mereka meningkat sehingga mereka bisa melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi digital yang lebih produktif. Melalui upaya-upaya tersebut maka para pelaku UMKM dapat memanfaatkan e-commerce atau platform online yang dijinkan pemerintah untuk menjual produk-produk yang mereka hasilkan. Upaya tersebut harus dilakukan secara konsisten oleh pemerintah dan memerlukan dukungan dari semua pihak.