OLEH Sri Retno Wahyu Nugraheni (Mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi FEM IPB), Dr. Widyastutik (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM dan Lembaga Riset Internasional Sosial, Ekonomi, dan Kawasan IPB University)
Selama lebih dari satu dekade terakhir, sektor jasa memiliki peran yang semakin penting dalam perekonomian Indonesia. Peran sektor jasa yang terus meningkat belakangan ini ditunjukkan dengan kontribusi yang cukup tinggi terhadap PDB Indonesia pada periode tahun 2008-2022, yang mencapai lebih dari 40 persen.
Pertumbuhan nilai tambah sektor jasa juga terus mengalami peningkatan cukup tinggi sebesar 4,58 persen selama periode tahun 2016-2022 (World Development Indicator). Meskipun demikian, kontribusi sektor jasa di Indonesia masih relatif rendah apabila dibandingkan dengan negara di Asia Tenggara lainnya, yaitu Filipina, Thailand, dan Malaysia.
Meningkatnya peran sektor jasa pada perekonomian Indonesia berimplikasi pada penyerapan tenaga kerja yang semakin meningkat. Selama tahun 2017-2022, rata-rata penyerapan tenaga kerja sektor jasa di Indonesia kurang lebih 71 juta orang setiap tahunnya atau sekitar 55 persen dari total penduduk bekerja (BPS, 2023). Peningkatan jumlah tenaga kerja di sektor jasa juga terjadi di negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam.
Sektor jasa berkontribusi terhadap sektor lainnya sebesar 45 persen dan memiliki keterkaitan dengan sektor lainnya. Sektor jasa distribusi, transportasi, keuangan, dan telekomunikasi menjadi input sektor lainnya sehingga berperan sangat signifikan dalam produksi di sektor lain.
Oleh karena itu, kualitas jasa sangat menentukan produktivitas perekonomian. Mengingat peran jasa sangat penting, maka ketika biaya sektor jasa tidak kompetitif perlu mendapat perhatian, seperti biaya logistik Indonesia yang sangat tinggi.
Berdasarkan data Bappenas (2022), rasio biaya logistik di Indonesia sebesar 14,29 persen, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rasio biaya logistik negara lainnya, yang pada umumnya berada di bawah 10 persen. Untuk itu, perekonomian membutuhkan high-quality jobs sehingga akan lebih cepat mencapai tahap perkembangan apabila diiringi dengan high-quality services.
High-quality services menjadi satu indikator bagi perekonomian yang sudah berada pada tahap mature economy (Kementerian Perdagangan, ERIA dan ITAPS 2023 dalam TradePag 8).
Kinerja sektor jasa yang masih suboptimal juga dipengaruhi oleh kerangka peraturan (regulatory framework) di Indonesia yang masih dihadapkan pada permasalahan klasik terkait regulasi. Menurut Damuri (2023), ada beberapa isu krusial yang menjadi hambatan meliputi. Pertama, ketidakjelasan tujuan regulasi, termasuk tujuan non-ekonomi seperti permasalahan sosial atau kepentingan nasional, yang tidak didukung dengan penjelasan operasional mengenai bagaimana regulasi tersebut dapat mencapai tujuan tertentu.
Kedua, peraturan yang tumpang tindih (overlapping) dan sering kali kontrakdiktif, yang menyebabkan ketidakjelasan tanggung jawab berbagai lembaga pemerintah. Ketiga, tidak adanya mekanisme peninjauan terhadap peraturan yang ada.
Tingginya hambatan regulasi ini ditunjukkan oleh restriksi di sektor jasa Indonesia yang relatif masih tinggi, di antaranya pada bidang legal, akuntansi, telecom, marine transport, air transport, dan insurance. Jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, secara keseluruhan STRI Indonesia berada pada posisi kedua tertinggi di ASEAN setelah Thailand yaitu sebesar 0.417. Sedangkan Singapura, Malaysia, dan Vietnam nilai STRI sudah cukup rendah, yaitu secara berturut-turut sebesar 0.251, 0.306, dan 0.337.
Oleh karena itu, diperlukan good regulatory mechanism yang dapat membuat regulasi domestik lebih koheren dengan standar internasional. Mekanisme ini memerlukan adanya regulatory reform dan reformasi institusi, serta melibatkan transparansi dan partisipasi dari para pemangku kepentingan yang lebih luas.
Salah satu best practice reformasi regulasi yang dilakukan oleh Indonesia terjadi pada mobile telecommunication yang memainkan peran kunci dalam akselerasi ekonomi digital (Damuri 2023). Banyak sektor jasa di Indonesia didominasi oleh BUMN, yang cenderung memiliki beberapa praktik yang tidak kompetitif.
Pada 2007, sektor telekomunikasi BUMN di Indonesia diketahui terlibat dalam price setting dan praktik kartel dengan membatasi persaingan dalam sektor telekomunikasi di Indonesia. Peningkatan keterbukaan perdagangan jasa melalui FDI dan impor sektor jasa dapat meningkatkan kinerja industri sektor jasa domestik melalui eksposur terhadap persaingan global.
Peningkatan keterbukaan perdagangan di sektor jasa telekomunikasi telah membawa manfaat bagi Indonesia, di mana sektor mobile telecommunication dapat lebih berkembang dibandingkan dengan fixed line telecommunication. Pembelajaran dari studi empiris di OECD menunjukkan bahwa keterbukaan perdagangan jasa terkait dengan peningkatan produktivitas, nilai tambah, dan efek positif terhadap ekspor, meningkatkan efek pro-kompetitif (Kementerian Perdagangan, ERIA dan ITAPS 2023 dalam TradePag 8).
Terkait dengan perdagangan sektor jasa, hingga September 2023, terdapat 20 perjanjian perdagangan jasa internasional yang telah ditandatangi, diratifikasi, diproses, dan diimplementasikan Indonesia, di antaranya dengan WTO, ASEAN, ASEAN+1, Jepang, Chile, Australia, EFTA, AANZFTA, RCEP, Korea, dan UAE. Selanjutnya, untuk perjanjian perdagangan yang masih dalam proses negosiasi sebanyak sembilan perundingan, di antaranya dengan ASEAN-India FTA, European Union, ASEAN-Canada FTA, ASEAN-China FTA, Eurasian Economic Union (EAEU), Turki, Kanada, Mercosur, dan Peru. Pada tahap paling baru terdapat satu inisiasi perjanjian perdagangan yang masih dalam proses negosiasi, yaitu antara ASEAN-EU.
Kerja sama perdagangan dalam FTA yang komprehensif seperti Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), memainkan peran penting dalam perluasan dan pendalaman liberalisasi di sektor jasa, sekaligus mengharmonisasi isu yang terkait dengan aspek behind the border. RCEP bukan hanya sekedar perjanjian, tetapi dianggap sebagai living agreement yang mengakomodasi isu-isu penting seperti reformasi digital, reformasi ketenagakerjaan, dan peningkatan skills.
RCEP memiliki kapasitas untuk mengidentifikasi kesenjangan struktural dan kelembagaan utama, serta mempercepat liberalisasi di sektor jasa sejalan dengan pengembangan sumber daya manusia. Dengan menerapkan mekanisme negative list dalam RCEP, diharapkan dapat memberikan manfaat keterbukaan perdagangan jasa yang lebih besar, sambil menyelaraskan kebijakan industri dengan transformasi struktural perekonomian (Thangavelu, 2023).
Keterbukaan perdagangan sektor jasa di satu sisi harus disikapi sebagai peluang pasar bagi penyedia jasa Indonesia, tetapi di sisi lain juga peluang untuk mengisi gap ketersediaan sektor jasa di Indonesia disamping menjadi eksposur terhadap persaingan perdagangan jasa global. Berdasarkan hasil perhitungan Input-Output (I-O) tahun 2016, banyak sektor jasa di Indonesia yang menghadapi excess demand, seperti sektor jasa keuangan perbankan, sektor jasa lembaga keuangan lainnya, jasa konsultasi komputer dan teknologi informasi, serta sektor jasa transportasi.
Excess demand ini menciptakan backlog dalam meningkatkan produktivitas pada sektor lainnya. Sektor lainnya yang menggunakan input sektor jasa menjadi tidak berdaya saing apabila ketersediaan sektor jasa sebagai input terbatas jumlahnya, bahkan quality of service-nya tidak kompetitif dalam mendukung perekonomian.