Jakarta, 18 Juli 2024 – Data Ketahanan Pangan di Indonesia telah menunjukkan kondisi perbaikan dengan adanya koordinasi dan kolaborasi Kementerian dan Lembaga terkait ketahanan pangan. Urgensi satu data pangan nasional. Satu Data Pangan Nasional merupakan upaya untuk menjawab tantangan perkembangan jumlah dan jenis data yang semakin beragam serta isu lintas-sektor semakin kompleks. Kebutuhan data dukung yang aktual (real-time) dan terpercaya menjadi prasyarat Perencanaan pembangunan tepat guna dan tepat sasaran. Masih terdapat banyak tantangan yang dihadapi terkait dengan data ketahanan pangan nasional terutama identifikasi data yang dibutuhkan, bagaimana data pangan diproduksi, manajemen data, pemanfaatan dari data, dan keberlanjutan data, termasuk bagaimana upaya meningkatkan literasi data masyarakat.
Sebagai respons atas hal tersebut, Forum Masyarakat Statistik (FMS) bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Bappenas menggelar Lokakarya Nasional yang berjudul Ada Apa dengan Data Ketahanan Pangan pada 17 Juli 2024 di Hotel Westin Jakarta. Lokakarya ini berfokus pada isu pentingnya keberadaan data yang akurat untuk menentukan langkah dan program yang tepat untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Pada pidato pembuka, Kepala Badan Pangan Nasional, Bapak Arief Prasetyo Adi, menekankan betapa pentingnya keberadaan satu data pangan nasional dalam pelaksanaan program dan kebijakan. Dengan data yang akurat dan kredibel, Bapanas dapat dengan cepat menentukan langkah-langkah penanganan yang diperlukan. Arief juga menyoroti pentingnya data ini dalam menangani penurunan harga pangan di tingkat produsen, terlebih Presiden Joko Widodo selalu menekankan pentingnya menjaga harga pangan tetap wajar dan stabil, mulai dari tingkat petani hingga konsumen.
Keynote speech disampaikan oleh Dr. Vivi Yulaswati selaku Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Bappenas yang mewakili Dr. Suharso Monoarfa selaku Menteri PPN/ Kepala Bappenas. Ia menyebutkan bahwa urgensi dari dibentuknya Satu Data Pangan adalah adanya perkembangan masif di berbagai aspek seperti jumlah dan jenis data yang semakin beragam dan juga perkembangan teknologi yang dapat dimanfaatkan seperti data satelit atau big data. Selanjutnya satu data pangan dapat menjadi dasar pengambilan keputusan yang serta perencanaan pembangunan tepat guna dan tepat sasaran.
Lokakarya bertajuk “Ada Apa dengan Data Ketahanan Pangan” ini menghadirkan sejumlah narasumber ahli dari berbagai bidang, yaitu: (1) Moh Edy Mahmud, Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, (2) Prof. Mohamad Ikhsan, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB-UI), (3) Prof. Bayu Krisnamurti, Direktur Utama Perum Bulog, (4) Prof. Jamhari, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (FP-UGM) dan (5) Dr. Sahara, Direktur ITAPS Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor (FEM-IPB) sebagai perwakilan dari Tim Peneliti Foresight. Lokakarya ini bertujuan untuk memperkuat pemahaman dan kolaborasi antara berbagai sektor dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia.
Moh Edy Mahmud, Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, menyampaikan bahwa pada tahun 2022 total penyediaan energi nasional per kapita mencapai 3400 kkal/hari, melebihi kecukupan energi sebesar 2100 kkal/hari. Meski ketersediaan sudah mencukupi, masalah aksesibilitas dan distribusi masih menjadi kendala. Ia juga menjelaskan bahwa rantai distribusi beras menunjukkan bahwa 45.15 persen didistribusikan ke pedagang eceran, 45.12 persen ke pedagang besar, dan 9.73 persen langsung ke konsumen akhir, di mana rantai distribusi yang panjang mempengaruhi harga di tingkat konsumen. Potensi margin perdagangan dan pengangkutan mencapai 47,49 persen dalam rantai distribusi terpanjang yang artinya jika harga awal dari produk adalah 10 ribu rupiah maka saat sampai ke konsumen akan mencapai 14 ribuan.
Mohamad Ikhsan, Guru Besar FEB-UI, menyampaikan bahwa data pangan yang akurat akan membantu pengambil keputusan baik di tingkat petani, pedagang, konsumen, dan pemerintah untuk merespon perkembangan industri. Bahkan dalam jangka panjang, perbaikan kualitas data ini akan memperbaiki efisiensi anggaran melalui alokasi anggaran yang lebih tepat dan dapat digunakan untuk kebijakan pertanian yang mendukung ketahanan pangan dan pembangunan di pedesaan Indonesia. Ia juga menyatakan bahwa reformasi data ini pasti akan menghasilkan biaya transisi tetapi cost of doing nothing akan menghasilkan biaya yang jauh lebih besar.
Epi Sulandari, Kepala Divisi Hubungan Kelembagaan Perum Bulog, memaparkan strategi pengendalian harga pangan yang komprehensif dalam lokakarya ini. Ia menekankan pentingnya pemantauan harga secara berkala oleh pemerintah daerah di pasar tradisional dan modern untuk mengidentifikasi potensi kenaikan harga dan mengambil tindakan pencegahan. Selain itu, memastikan ketersediaan pasokan pangan melalui produksi lokal atau impor, serta program bantuan benih dan pupuk bagi petani, dianggap krusial. Ia juga menyoroti mekanisme stabilisasi harga melalui operasi pasar, keterlibatan masyarakat dalam pengendalian harga, peningkatan produksi beras melalui intensifikasi dan ekstensifikasi, serta peningkatan efisiensi distribusi dengan membangun infrastruktur logistik yang memadai. Terakhir, ia menggarisbawahi pentingnya memberikan akses modal terjangkau, teknologi pertanian, dan meningkatkan daya tawar petani untuk mengendalikan harga pangan secara efektif.
Jamhari, Guru Besar Fakultas Pertanian, UGM dalam lokakarya ini menyoroti berbagai indeks yang digunakan untuk mengukur ketahanan pangan global, seperti Global Hunger Index, Food Price Index, Rice Bowl Index, Global Food Security Index, dan Food Security and Vulnerability Atlas. Berdasarkan Global Food Security Index (GFSI), Indonesia menempati posisi 84 dunia dalam hal ketersediaan pangan. Ukuran ketahanan pangan yang umum digunakan adalah tingkat konsumsi energi, dan indikator proses yang mencerminkan ketersediaan serta akses terhadap pangan, serta indikator outcome yang mencerminkan konsumsi dan status gizi. Jamhari menekankan pentingnya indikator yang tersedia secara periodik, relevan, akurat, dan tepat waktu untuk memitigasi risiko informasi asimetris antar stakeholders yang berperan pada penguatan ketahanan pangan.
Sahara, Direktur ITAPS FEM-IPB, dalam lokakarya ini memaparkan hasil proyeksi sistem pangan dan pertanian untuk perencanaan pembangunan di Indonesia. Paparan ini didasarkan pada kajian Foresight and Metrics to Accelerate Food, Land, and Water Systems Transformation (FORESIGHT) Kegiatan ini merupakan bagian dari studi kolaboratif Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), IPB University, Badan Riset lnovasi Nasional (BRIN), BAPPENAS, dan International Food Policy Research Institute (IFPRI).
Dr. Sahara menyampaikan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi dan Pendapatan dengan Skenario High, Medium, dan Low
Dalam paparannya, Sahara menyatakan bahwa sebagaimana yang tertuang dalam RPJMN 2025-2045 bahwa Indonesia bercita-cita menjadi negara dengan pendapatan perkapita yang setara dengan negara maju sehingga kita bisa keluar dari middle income trap dan untuk mewujudkan cita-cita tersebut Bappenas sudah membuat tiga skenario pertumbuhan ekonomi 5% atau bisnis as usual kemudian target yang berikutnya adalah moderat dengan pertumbuhan ekonomi ditargetkan 6% dan skenario optimis dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 7%.
Dr. Sahara menyampaikan Proyeksi Sistem Pangan dan Pertanian yang Mendukung Pencapaian Target Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Mencermati hal tersebut, satu pertanyaan muncul mengenai bagaimana cara untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi sesuai dengan yang ditargetkan tersebut.. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, dilakukan proyeksi dengan menggunakan Dynamic Economy-wide model for Indonesia (DEWI). Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 7% maka sektor pangan Indonesia harus didorong tumbuh 4% per tahun, peternakan itu 4,5%, sektor Kehutanan 0,8% dan sektor perikanan sebesar 7,4%. Hasil proyeksi menunjukkan Indonesia akan mencapai pendapatan perkapita Indonesia yang setara dengan negara maju di tahun 2037 jika pertumbuhan ekonomi bisa kita dorong 7%. Tetapi jika pertumbuhan ekonomi kurang dari 7% maka tentu saja dibutuhkan waktu yang lebih lama lagi.
Berdasarkan estimasi data historis, telah diidentifikasi bahwa pendorong (drivers) pertumbuhan output sektor pertanian bersumber dari ekstensifikasi yaitu ekspansi lahan dengan pertumbuhan mencapai 2,14% di sepanjang tahun 1996 -2020. Hal yang perlu dicatat adalah bahwa ekspansi lahan yang tidak beririgasi meningkat lebih tinggi yaitu 1,73% dibandingkan dengan lahan yang beririgasi yang tumbuh hanya sebesar 0,42%. Hal ini menjadi catatan bagi kita semua terutama terkait dengan upaya peningkatan produksi pertanian. Lebih lanjut, sumber pertumbuhan dari faktor intensifikasi berasal dari dari mesin, pupuk dan juga dari pakan. Terkait dengan Total Factor Productivity(TFP), terlihat bahwa secara agregat terdapat tendensi penurunan TFP, Meskipun demikian, nilai Efisiensi Teknis mencapai 95,90% artinya masih terbuka ruang sekitar 4,1%. untuk meningkatkan produksi di sektor pertanian
Sahara juga menekankan pentingnya ketersediaan dan akses terhadap data untuk mendukung perencanaan, monitoring, dan perumusan kebijakan pembangunan. Ia menyoroti bahwa pertumbuhan Total Factor Productivity (TFP) sangat penting untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi. Tren perlambatan pertumbuhan TFP menunjukkan perlunya inovasi dan penerapan teknologi di sektor pertanian, terutama di kalangan petani kecil, melalui kerjasama antara Kementerian Pertanian, BRIN, dan dunia pendidikan. Salah satu faktor kunci dalam pertumbuhan output sektor pertanian adalah lahan beririgasi, sehingga infrastruktur irigasi harus menjadi prioritas. Ia juga menyampaikan bahwa untuk mencapai target pertumbuhan yang optimis, sektor pertanian, industri, dan jasa harus didorong untuk tumbuh masing-masing sebesar 4,9%, 6%, dan 8,7%.Ke depan, kegiatan off farm dalam sistem pangan diprediksi akan lebih mendominasi seperti sektor perdagangan transportasi yang menunjang kegiatan di sektor pertanian, full service activities, jasa untuk pengolahan lahan jasa untuk panen dan juga jasa untuk penanaman. Hal ini dikarenakan cost of structure biaya untuk tenaga kerja menjadi semakin tinggi.