Oleh Iman Sugema (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB University)
Kebijakan moneter sedang memasuki zona berbahaya. Bukan karena memanasnya suhu politik di tengah hiruk pikuk pencawapresan. Tetapi karena ruang yang tersedia untuk melakukan stabilisasi moneter semakin terbatas. Dengan suku bunga acuan telah mencapai 6 persen, maka kebijakan suku bunga tidak boleh lagi menjadi andalan bank sentral. Kenaikan suku bunga lebih lanjut akan membawa komplikasi terhadap pemulihan sektor riil yang selama tiga tahun terakhir terpuruk akibat Covid-19.
Kita semua bisa memahami bahwa kebijakan Bank Indonesia menaikan suku bunga acuan merupakan upaya yang sejalan dengan kebijakan bank sentral di seluruh dunia untuk mengendalikan inflasi. The Fed secara bertahap menaikan suku bunga acuan menjadi 5,5 persen dari tingkat suku bunga yang hamper nihil. Begitupun yang dilakukan oleh bank sentral lainnya di seluruh dunia. Langkah seperti ini merupakan konsekuensi logis ekspansi moneter yang dilakukan selama pandemi. Kelebihan likuiditas di tingkat global telah mendorong terjadinya inflasi global yang pada akhirnya harus dikendalikan melalui pengetatan moneter. Salah satu caranya adalah dengan menaikan suku bunga acuan.
Akan tetapi situasi kita berbeda dengan Amerika Serikat yang merupakan negara besar dan memiliki opsi kebijakan yang lebih bervariasi. Negeri tersebut bisa membuat rumus kebijakan yang serba ajaib yang tidak bisa kita lakukan. Dulu sewaktu zaman Presiden Ronald Reagan inflasi bisa ditekan dengan cara memperkuat nilai tukar dan pertumbuhan dicapai dengan memperbesar defisit anggaran. Suatu hal yang agak muskil untuk kita lakukan.
Berkaca dari itu tampaknya rumus yang sama akan mereka lakukan. Saat ini suku bunga acuan jangka panjang yaitu 4,6 persen sudah terlewati. Tahun 2024 nanti mereka akan mulai menurunkan suku bunga. Berarti harga bond Amerika akan turun dan disitulah saatnya mereka melakukan buy-back. Dengan cara apa? Menerbitkan bond baru dalam jumlah yang lebih besar dan dengan imbal hasil yang lebih rendah. Sebagai kompensasinya mereka akan membuat USD menguat supaya imbal-hasil di negara mitra menjadi lebih baik. Dengan cara ini, defisit bisa dibiayai secara leluasa, inflasi lebih terkendali dan pertumbuhan bisa terjaga. Utang negara memang akan membengkak. Tapi itu akan bisa dibayar dengan menerbitkan utang baru. Itulah kedigdayaan ekonomi sebuah negara besar.
Apakah Indonesia bisa melakukan hal yang sama? Kalau hal yang sama dilakukan oleh kita maka hasil akhirnya akan terbalik. Kita tidak akan berhasil memperkuat nilai tukar rupiah, inflasi menyeruak, neraca pembayaran memburuk, dan suku bunga harus dinaikan. Satu hal yang sama yakni utang negara semakin menggunung. Apa yang bisa dilakukan oleh Amerika, sama sekali tidak bisa kita terapkan.
Dengan prediksi kebijakan Amerika yang seperti itu kita harus menerima beberapa kenyataan yang harus kita telan mentah-mentah. Pertama, kalau USD menguat terhadap semua mata uang lainnya, maka sulit bagi kita untuk melawan arus besar seperti ini. Kita hanya bisa melakukan moderasi. Mata uang rupiah dijaga di level yang sehat walaupun harus mengalami pelemahan. Terlalu sulit untuk memperkuat nilai tukar rupiah.
Kedua, depresiasi rupiah pada akhirnya akan menimbulkan inflasi. Akan tetapi, seyogyanya inflasi tidak dikendalikan dengan menaikan suku bunga karena terlalu berbahaya terhadap sektor riil dan perbankan. Mayoritas perusahaan yang terdampak Covid masih dalam status restrukturisasi dan belum sepenuhnya mampu membayar suku bunga normal. Kenaikan suku bunga akan membuat mereka mati betulan. Pada akhirnya ini akan menjadi beban perbankan yang saat ini masih dibebani pencadangan akibat Covid. Ruang untuk kenaikan suku bunga sudah hampir habis.
Ketiga, stabilisasi ekonomi makro akan sangat tergantung pada kebijakan fiskal. Atau lebih tepatnya; kita lebih membutuhkan disiplin fiskal. Kita tidak lagi bisa membiarkan defisit APBN yang terlalu besar. Yang paling aman, kita harus mampu mengarahkan defisit menuju nol persen dalam lima tahun kedepan. Itu berarti proyek-proyek strategis nasional harus ditata ulang. Dipikirkan betul skala prioritasnya. Kedengarannya sih mudah, tapi itulah yang selama ini tak pernah bisa kita lakukan dengan baik. Kebijakan fiskal semenjak Orde Baru selalu bias defisit. Hampir tak ada tahun tanpa defisit.
Sebagai penutup, untuk menghindari zona berbahaya, kita semua mungkin harus menghilangkan angan-angan bahwa suatu saat rupiah akan menguat. Kita fokus pada pertumbuhan ekonomi dengan memanfaatkan pelemahan nilai tukar. Supaya ekspor lebih responsif, maka perbaikan struktural harus kita tempuh. Untuk bisa memanfaatkan devisa ekspor secara maksimum, maka crowding out dari sisi fiskal harus dihilangkan.