Abdul Azis (Alumni Program Studi Manajemen dan Bisnis Sekolah Bisnis IPB), Lukman M Baga (Kepala Pusat Studi Bisnis dan Ekonomi Syariah (CIBEST) IPB / Staf Pengajar Departemen Agribisnis FEM IPB), Yudha Heryawan Asnawi (Staf Pengajar Sekolah Bisnis IPB).

Makan Daging Sapi Haram karena Sulit Temukan yang Halal, Bagaimana  Hukumnya? | DDHK News

 Produk makanan yang berasal dari hewan adalah salah satu sumber protein yang memenuhi kebutuhan masyarakat. Peningkatan sumber protein hewani yang tersedia di masyarakat berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Salah satu produk pangan yang berasal dari hewan dan sangat diminati adalah daging sapi. Daging sapi adalah sumber pangan hewani yang memiliki nilai gizi yang tinggi karena mengandung protein, lemak, mineral, dan nutrisi lain yang diperlukan oleh tubuh. Dalam 100 gram daging sapi, terdapat 22,3 gram protein, 1,8 gram lemak, 1,2 gram abu, dan 116 kalori (Soeparno 2011). 

Kriteria kehalalan produk daging merupakan salah satu perhatian utama, terutama di kalangan masyarakat Muslim. Kriteria halal tidak hanya melibatkan proses pemotongan, tetapi juga tahap pasca pemotongan seperti penyimpanan, pengemasan, distribusi, dan penyajian (Ambali dan Bakar 2014). Risiko pencampuran dan perpaduan antara produk halal dan non-halal dalam proses pasca pemotongan menjadi salah satu faktor kunci yang perlu diperhatikan dalam menentukan kehalalan suatu produk. 

Kehalalan menjadi persyaratan utama dalam aktivitas konsumsi dan juga gaya hidup umat muslim (Jamari et al., 2015). Namun demikian, produk halal tidak hanya dibutuhkan oleh umat muslim, karena produk halal tidak hanya merepresentasikan persyaratan dalam agama, namun juga aspek kebersihan, kesehatan, dan rasa yang lebih baik (Aziz dan Chok 2013). Banyak produsen sekarang mulai mengakui pentingnya menghasilkan produk yang bersertifikasi halal. Selandia Baru dan Australia adalah contoh negara yang telah menerapkan sertifikasi untuk produk daging yang mereka hasilkan, dan langkah ini mulai diikuti oleh negara-negara lainnya.

Penelitian ini dilakukan di Kota Depok dengan melibatkan masing-masing 124 responden untuk konsumen Muslim dan non Muslim. Sedangkan untuk penjual daging diambil sebanyak 40 responden.  Pengambilan sampel dilakukan dengan pendekatan purposive sampling.

Penerimaan Konsumen terhadap Daging Halal

Memperbandingkan respon konsumen Muslim dan non Muslim terkait aspek kesehatan makanan halal terlihat tidak terdapat perbedaan yang menyolok antara kedua segementasi konsumen ini (Tabel 1). Hasil analisis Chi-Square juga menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara segmentasi konsumen dengan alasan kesehatan.  Artinya kehadiran produk daging halal sudah dapat diterima tidak hanya oleh kaum Muslimin saja, namun juga kaum non Muslim.

Tabel 1 Respon konsumen terhadap daging halal terkait dengan aspek kesehatan 

SimbolIndikator                           Persentase (%)
MuslimNon Muslim
Tidak setujuNetralSetujuTidak setujuNetralSetuju
AKH1Saya mengkonsumsi produk daging Halal untuk alasan kesehatan229621385
AKH2Menurut saya produk daging yang Halal merupakan jaminan keamanan bagi kesehatan3257232373
AKH3Menurut saya bahwa produk daging tersertifikasi Halal bersih4177923068
AKH4Menurut saya produk daging tersertifikasi Halal lebih aman2217721979
AKH5Menurut saya produk daging yang memiliki sertifikat Halal sangat higienis2217751679

Temuan yang serupa, yakni tidak dijumpai perbedaan yang menyolok antara respon konsumen Muslim dengan non Muslim juga terlihat pada pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan aspek minat beli, produk, harga, promosi, dan lokasi penjualan. 

Kendala Sertifikasi Daging Halal

Pemerintah telah berupaya untuk memastikan keamanan produk yang dikonsumsi oleh masyarakat. Pada tahun 2019, Indonesia telah menetapkan Undang-Undang No 33 Tahun 2014 mengenai Jaminan Produk Halal (UU JPH) sebagai langkah pemerintah untuk memberikan perlindungan dan jaminan terkait kehalalan produk yang dikonsumsi masyarakat. Aspek-aspek keamanan dan jaminan produk meliputi kesehatan, kebersihan, dan status halal (Erwanto et al., 2014). Pemerintah telah mengamanatkan bahwa produk yang berasal dari hewan harus memiliki sertifikat halal. Awalnya, sertifikat halal hanya bersifat sukarela, tetapi mulai tahun 2023, pemerintah mulai melakukan kampanye mandatory mengenai sertifikat halal. Namun demikian, sampai saat ini ketersediaan daging yang telah bersertifikat halal masih terbatas di pasar. Penetapan UU JPH ini dapat menimbulkan sejumlah masalah, khususnya bagi pelaku usaha mikro-kecil. Kendala-kendala tersebut dapat muncul karena adanya beberapa persyaratan yang sulit dipenuhi oleh pelaku usaha kecil, dan ini berpotensi mempengaruhi daya saing penjualan mereka.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya persyaratan yang dirasa cukup sulit untuk dipenuhi yaitu persyaratan mengenai penggunaan bahan yang sudah dipastikan kehalalannya. Para pedagang bukannya tidak mau menjual produk daging yang halal, namun banyak keterbatasan yang dimiliki para pedagang ini untuk bisa memenuhi persyaratan halal tersebut. Para pelaku usaha atau produsen daging harus melakukan pemotongan di rumah potong yang sudah tersertifikasi halal untuk bisa memproses sertifikasi halalnya sendiri. Namun pada kenyataaanya masih banyak dari produsen atau pelaku usaha daging yang terkendala sehingga masih melakukan pemotongan sendiri dan bukan di Rumah Potong Hewan (RPH).  Hal ini menyebabkan para pedagang daging tidak dapat melakukan proses sertifikasi.  Sementara hasil penelitian yang dilakukan oleh KNEKS bekerja sama dengan Halal Science Center IPB pada tahun 2021 menunjukkan bahwa sekitar 85% dari rumah potong hewan (RPH) belum memperoleh sertifikat halal.  

Tabel 2 menjelaskan respon para pedagang daging terhadap persyaratan sertifikasi halal yang dikeluarkan MUI yang harus dipenuhi pelaku usaha.

Tabel 2. Respon pedagang pasar terhadap persyaratan teknis untuk sertifikasi halal

NoIndikator Persentase (%)
Tidak setujuNetralSetuju
1Menetapkan Kebijakan Halal pada usaha00100
2Membentuk Tim Manajemen Halal125038
3Mengadakan pelatihan internal 74548
4Mengikuti pelatihan eksternal72568
5Penggunaan bahan-bahan yang halal (tidak haram dan najis)27568
6Penggunaan bahan-bahan aman 143848
7Fasilitas dan peralatan yang aman dan terbebas dari bahan babi dan turunannya104050
8Produk yang dihasilkan aman dan halal123355
9Memiliki prosedur tertulis aktivitas kritis (tidak terdapat kontaminasi dengan produk maupun barang yang haram atau najis)23365
10Memiliki kemampuan telusur pada produk apabila terjadi masalah103060
11Penanganan produk yang tidak memenuhi kriteria142858
12Melakukan audit internal04258
13Mengkaji ulang manajemen173053

Bagi pedagang daging yang umumnya terkategori skala usaha mikro-kecil cukup sulit untuk dapat membentuk Tim Manajemen Halal (dimana hanya 38% yang setuju).  Sebaliknya terdapat angka yang tinggi (27% responden) yang menyatakan tidak setuju terkait penggunaan bahan-bahan yang jelas kehalalannya.  Hal ini bukan dikarenakan ketidakmauan untuk menggunakan bahan-bahan yang sudah halal, namun lebih dikarenakan ketidakmampuan untuk mendapatkannya. 

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Indonesia masih menghadapi kendala yang besar dalam proses sertifikasi halal. Salah satunya terkait dengan produk-produk hewani dan turunannya, terutama dalam hal proses penyembelihan. Pemerintah perlu mendorong pelaku usaha untuk aktif melakukan sertifikasi produk mereka. Salah satu cara untuk memberikan dukungan ini adalah dengan fokus pada pasokan bahan baku dari tahap hulu terlebih dahulu, khususnya di rumah potong hewan (RPH). Semakin banyak RPH yang telah mendapatkan sertifikasi halal, maka tingkat kehalalan di tahap hulu akan menjadi faktor penentu keberhasilan kehalalan produk di tahap hilir.

Artikel ini di muat pada https://www.republika.id/posts/45664/hambatan-sertifikasi-daging-halal-bagi-pelaku-umk

Related Posts