OLEH Wildan Nur Arrasyiid Sane Pratindan (International Trade Analysis and Policy Studies IPB)

Pertumbuhan ekonomi sebagai sebuah proses peningkatan output dari waktu ke waktu menjadi indikator penting untuk mengukur keberhasilan pembangunan suatu negara. Besarnya pertumbuhan ekonomi yang menggambarkan peningkatan output tersebut sekaligus menjadi indikator dalam mengukur tingkat keseajahteraan dan kemajuan perekonomian suatu negara.

Dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP), Pemerintah Indonesia selalu menetapkan sasaran pertumbuhan ekonnomi yang ingin dicapai setiap tahunnya. Namun demikian, selama ini realisasi dari pertumbuhan ekonomi tiap tahunnya seringkali masih berada di bawah sasaran yang telah ditetapkan. Berdasarkan data BPS (2023), selama periode tahun 2015–2023, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mampu mencapai target pada tahun 2018 dan 2022, sementara sisanya tidak mampu mencapai target yang telah ditetapkan.

Jika dilihat lebih lanjut, secara historikal selama 20 tahun terakhir atau dari tahun 2003 hingga tahun 2023, pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata hanya tumbuh sebesar 5,0 persen. Jika dilihat dari tahun 1999 hingga tahun 2023 (pasca krisis 1998), rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan hanya berada di angka 4,7 persen (BPS 2023) atau berada di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi negara Asean seperti Vietnam.

Jika dilihat dari sisi pertumbuhan ekonomi potensial Indonesia, berdasarkan Oxford Economics (2024), pertumbuhan ekonomi potensial Indonesia diproyeksikan berada dalam tren yang melambat. Berdasarkan data proyeksi tersebut, pertumbuhan ekonomi potensial Indonesia mulai mengalami tren penurunan pada tahun 2026 hingga tahun 2044, dimana pada tahun 2044 pertubuhan ekonomi potensial Indonesia hanya akan mencapai angka 2,4 persen atau jauh berada dibawah angka realisasi pertumbuhan saat ini yang mencapai 5,1 persen.

Lambatnya pertumbuhan ekonomi dan proyeksi terjadinya penurunan ekonomi ini tentu tidak boleh dibiarkan karena akan berdampak pada berbagai aspek seperti penurunan produktivitas dan peningkatan pengangguran.

Berbagai literatur menjelaskan bahwa beberapa faktor penting yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah kapital, tenaga kerja, dan perkembangan teknologi atau produktivitas. Perkembangan teknologi atau produktivitas tersebut dalam fungsi produksi disebut sebagai Total Factor Productivity (TFP) atau produktivitas faktor total. Sehingga, produktivitas merupakan salah satu akar penentu tingkat daya saing baik pada level individu, perusahaan, industri, maupun pada level negara. The Asian Productivity Organization (APO) secara rutin telah menghitung TFP negara-negara Asia.

Pada tahun 1980–2000, laju TFP rata-rata Indonesia berada pada angka -0,8 persen, atau masih jauh berada di bawah nilai TFP negara-neraga Asean lainnya. Pada rentang tahun tersebut misalnya TFP Vietnam berada pada angka 3,2 persen, Malaysia berada pada angka 1,2 persen, dan Thailand berada pada angka 1,0 persen. 

Berdasarkan data APO (2023), TFP Indonesia Indonesia berada pada tren penurunan dimana penurunan tajam terjadi di saat krisis tahun 1998 dan tidak pernah mengalami peningkatan kembali hingga tahun 2023. Berbagai literatur menjelaskan bahwa salah satu penyebab terjadinya hal tersebut adalah deindustrialisasi.

Berdasarkan data BPS (2023), kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia terus mengalami penurunan dari 27,41 persen pada tahun 2005 menjadi hanya 18,67 persen pada tahun 2023, dimana penurunan signifikan terjadi pada tahun 2008 hingga tahun 2010.

Jika dilihat pada level provinsi, sebagian besar provinsi di Indonesia mengalami perlambatan pada sektor manufaktur. Hanya terdapat 12 provinsi yang mengalami peningkatan kontribusi manufaktur terhadap PDRB dari tahun 2010 hingga tahun 2023, di antaranya adalah provinsi Sulawesi Tengah, Kepuauan Riau, Maluku Utara, Jawa Timur, Riau, Lampung, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Maluku, Gorontalo, dan Nusa Tenggara Timur (BPS 2023).

Dalam mendorong kinerja sektor manufaktur, Pemerintah Indonesia kemudian membuat Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Tujuan utama pengembangan KEK adalah mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan pembangunan, serta meningkatkan daya saing sektor manufaktur. KEK Sei Mengkel di Sumatera Utara merupakan KEK pertama di Indonesia yang diresmikan pada tahun 2012 dan mulai beroperasi pada tahun 2015.

Setelah peresmian KEK Sei Mengkel pada tahun 2012, Provinsi Sumatera Utara memang menjadi provinsi dengan kontribusi terbesar terhadap PDB nasional di pulau Sumatera, namun peningkatannya masih belum cukup signifikan. Kontribusi provinsi Sumatera Utara terhadap PDB nasional tahun 2011 adalah sebesar 4,8 persen.

12 tahun kemudian, kontribusi provinsi Sumatera Utara terhadap PDB nasional hanya tumbuh sebesar 0,3 persen menjadi 5,1 persen pada tahun 2023. Namun demikian, pembangunan KEK di berbagai wilayah di Indonesia terus dilakukan secara masif oleh pemerintah.

Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tahun 2022, saat ini terdapat 20 KEK di Indonesia. Sebagai perbandingan, beberapa negara Asia Selatan juga menyelenggarakan KEK (Galal 2021). Bangladesh menerbitkan kebijakan KEK tahun 2010, Bhutan tahun 2018, India tahun 2005, dan Nepal tahun 2016. India sudah cukup lama menyelenggarakan KEK, tetapi proporsi jumlah KEK hanya 5 persen dari zona ekonomi atau kawasan industrinya.

Isu strategis lainnya yang dihadapi Indonesia adalah middle income trap (MIT). Berdasarkan data World Bank (2021), lama status Indonesia sebagai negara middle income sudah mencapai kurang lebih 30 tahun. Jika dirinci dari tahun 1987–2021, selama 11 tahun Indonesia berada pada kategori low income, selama 28 tahun berada pada kategori lower middle income, dan 1 tahun berada pada kategori upper middle income.

Jika dibandingkan dengan Thailand, Indonesia masih cukup tertinggal karena Thailand sudah berada pada kategori upper middle income sejak 12 tahun terakhir. Lebih jauh lagi jika dibandingkan dengan Malaysia yang sudah berada pada kategori upper middle income sejak 30 tahun terakhir. Walaupun memang jika dibandingkan dengan Vietnam, Filipina, Myanmar, Kamboja, dan Laos, posisi Indonesia masih berada pada kategori yang lebih baik. 

Apabila dilihat pada level provinsi, data BPS tahun 2023 menunjukkan bahwa terdapat 21 provinsi di Indonesia yang berada dalam kategori lower-middle income, 15 provinsi berada pada kategori upper-middle income, dan hanya dua provinsi yang berada pada kategori high income yaitu provinsi Jakarta dan Kalimantan Timur. Berdasarkan data tersebut, maka pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi perlu diprioritaskan pada wilayah yang terkategori lower-middle income

MIT sendiri menggambarkan situasi dimana negara berpendapatan menengah tidak dapat melakukan transisi menuju negara berpendapatan tinggi. Hal ini disebabkan karena berbagai faktor seperti produktivitas yang masih rendah, biaya produksi tinggi dan produksi barang belum memiliki nilai tambah yang tinggi sehingga tidak dapat bersaing secara internasional (World Bank, 2024).

MIT mengakibatkan pertumbuhan ekonomi melambat, pendapatan per kapita stagnan, dan standar hidup masyarakat tidak meningkat (ADB, 2017). Literatur dan data-data yang sudah dijabarkan sebelumnya telah menjelaskan mengapa Indonesia masih terperangkap pada kategori negara berpendapatan menegah.

Dalam beberapa dasawarsa, memang hanya sedikit negara berpendapatan menengah di kawasan Asia-Pasifik yang dapat melakukan transisi menuju negara berpendapatan tinggi, termasuk Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan. Indonesia sendiri tengah melakukan akselerasi dan menargetkan untuk mencapai status negara berpenghasilan tinggi di tahun 2036-2038 sesuai visi Indonesia Emas 2045.

Kunci utama untuk bisa lepas dari MIT adalah investasi dan inovasi untuk meningkatkan produktivitas dan nilai tambah sehingga mampu menggerakkan perekonomian (Griffith, 2011). Oleh karena itu, negara berpendapatan menengah perlu melakukan transformasi dan menyiapkan strategi yang berfokus pada peningkatan investasi dan inovasi. Selain itu, perlu menyiapkan sumber daya manusia yang mendukung produksi barang-barang bernilai tambah tinggi (high value added).

Related Posts