Oleh: Dr. Tony Irawan, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB
Dr. Widyastutik, Staf Pengajar Dep Ilmu Ekonomi FEM IPB
Syarifah Amaliah, Staf Pengajar Dep Ilmu Ekonomi FEM IPB
Dian Verawati Panjaitan, Staf Pengajar Dep Ilmu Ekonomi FEM IPB
Fahmi Salam Ahmad, Staf Pengajar Dep Ilmu Ekonomi FEM IPB

Salah satu upaya sebuah negara untuk meningkatkan kinerja perdagangan internasionalnya adalah melalui kerjasama perdagangan internasional. Berdasarkan indikator jumlah Regional Trade Agreements (RTA) yang telah dinotifikasikan ke WTO selama periode 1948-2022, dapat dilihat trend peningkatan jumlah kerjasama perdagangan di dunia. Kerjasama perdagangan yang dilakukan negara-negara didunia juga semakin bervariasi dan tidak hanya terbatas pada perdagangan barang. Hal tersebut terlihat pada diagram batang yang berwarna merah pada Gambar 1 yang menunjukkan jumlah kerjasama perdagangan untuk sektor jasa.

Gambar 1. Jumlah Regional Trade Agreements (RTA) yang dinotifikasikan ke WTO

Indonesia juga termasuk salah satu negara yang sangat aktif dalam menjalin kerjasama perdagangan dengan mitra dagangnya, termasuk didalamnya dengan negara mitra dagang utama maupun mitra dagang non-tradisional. Berdasarkan data Kementerian Perdagangan per Juni 2023, tercatat terdapat 36 kerjasama perdagangan yang sudah disepakati dan/atau diimplementasikan, 15 kerjasama perdagangan yang sedang dalam tahap negosiasi, dan 17 kerjasama perdagangan yang sedang diusulkan. Kerjasama perdagangan yang dimaksud mencakup kerjasama perdagangan bilateral, regional, dan juga multilateral yang diikuti oleh Indonesia.

Pertanyaan yang selanjutnya penting untuk dijawab adalah apakah kerjasama perdagangan internasional yang dimiliki oleh Indonesia tersebut mampu meningkatkan kinerja perdagangan internasional Indonesia? Jawaban dari pertanyaan tersebut cenderung bervariasi, tergantung kepada jenis kerjasamanya. Namun demikian, secara umum beberapa studi sebelumnya menunjukkan bahwa utilisasi kerjasama perdagangan internasional Indonesia masih tergolong rendah. Peneliti dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa hasil analisanya menunjukkan bahwa tingkat utilisasi tertinggi ada pada kerjasama perdagangan Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA) yakni sebesar 40 persen, sedangkan kerjasama lainnya memiliki tingkat utilisasi yang lebih rendah dibandingkan dengan IJEPA. Temuan ini diperkuat kembali dengan hasil studi Sitepu dan Nurhidayat (2015) yang menunjukkan bahwa utilization rate Indonesia untuk semua jenis kerjasama perdagangan dibawah 35 persen, meskipun coverage rate Indonesia dengan negara mitra sangat tinggi. Utilization rate adalah indikator yang mengukur ruang lingkup efektif dari FTA dengan menghitung persentase nilai impor  dari  negara  mitra  FTA  yang  benar-benar  menggunakan  tarif  preferensial, sedangkan coverage  rate  didefinisikan  sebagai  proporsi  importasi  yang memperoleh tarif preferensi dari negara mitra dibandingkan dengan total impor dari negara mitra yang tarif MFN-nya  tidak sama dengan nol.

Salah satu kerjasama perdagangan internasional Indonesia dengan negara mitranya adalah ASEAN-Australia New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA). Kerjasama perdagangan ini ditandatangani pada tanggal 27 Februari 2009 dan mulai dapat dimanfaatkan oleh Indonesia sejak tahun 2012. Cakupan kerjasama perdagangan ini termasuk kedalam kategori komprehensif dan mencakup perdagangan barang dan jasa. Secara umum, penurunan tariff dilakukan secara bertahap dan ditargetkan minimum 90% lini tariff di Australia, New Zealand dan Indonesia akan nol pada tahun 2025.

Dalam kurun waktu 5 tahun implementasi (2012-2017), utilisasi kerjasama AANZFTA oleh Indonesia masih tergolong sangat rendah. Ekspor Indonesia ke Australia yang telah memanfaatkan tarif preferensial baru mencapai 32,67%. Bahkan, utilisasi yang lebih rendah terlihat pada kinerja ekspor Indonesia ke New Zealand. Periode 5 tahun seharusnya sudah cukup untuk melakukan penyesuaian dan melakukan pendalaman pasar di Australia dan New Zealand dengan memanfaatkan skema AANZFTA, namun sayangnya eksportir Indonesia ternyata belum mampu memanfaatkan peluang yang ada.

Tabel 1. Utility Rate Indonesia pada Skema AANZFTA dalam periode 5 tahun setelah implementasi

IndikatorAustraliaNew Zealand
Total nilai impor barang yang termasuk modalitas AANZFTA dalam Milyar USD3.230.56
Total nilai impor barang yang termasuk dalam modalitas FTA dan mendapatkan Margin of Preference (MoP) dalam Milyar USD1.050.12
Total nilai impor barang Australia dari Indonesia3.230.61
Utility Rate20.29
Keterangan: Utility rate dihitung menggunakan nilai impor seluruh pos tarif yang terdapat modalitas FTA dan mendapatkan MoP (Tarif Prefensial < Tarif MFN)

Secara lebih detail, dampak perjanjian perdagangan AANZFTA terhadap kinerja perdagangan dianalisis dengan menggunakan pendekatan impor yang direpresentasikan oleh dua variable of interests yakni jumlah pos tarif dan nilai impor. Setelah implementasi AANZFTA, dapat diidentifikasi bahwa mayoritas pos tarif yang termasuk dalam modalitas yang telah ditetapkan belum dapat direspons dengan aliran perdagangan dari Indonesia ke Australia dan New Zealand. Sebesar 30 persen pos tarif (906 sampai dengan 918 pos tarif) yang dimasukkan ke dalam modalitas AANZFTA dalam klasifikasi HS 6 digit belum dapat mengakses pasar Australia. Hal yang serupa juga terlihat pada ekspor Indonesia ke New Zealand, dimana 33 persen pos tarif (816 sampai dengan 874 pos tarif) yang dimasukkan ke dalam modalitas dalam klasifikasi HS 6 digit dapat dikatakan tidak terdampak dengan adanya pembukaan pasar di New Zealand.

Keterangan:

  • No Impact: Jumlah pos tarif atau nilai impor yang masih tidak diperdagangkan setelah implementasi FTA (zero trade flow)
  • New Comers: Jumlah pos tarif atau nilai impor yang diperdagangkan setelah implementasi FTA dari yang sebelumnya tidak ada perdagangan
  • Gainers: Jumlah pos tarif atau nilai impor yang mengalami peningkatan perdagangan setelah implementasi FTA
  • Losers: Jumlah pos tarif atau nilai impor yang mengalami penurunan perdagangan setelah implementasi FTA
  • Out of the market: Jumlah pos tarif atau nilai impor yang menjadi tidak diperdagangkan setelah implementasi FTA

Gambar 2. Hasil pemetaan dampak kerjasama AANZFTA terhadap kinerja ekspor Indonesia dalam periode 5 tahun setelah implementasi

Berdasarkan jumlah pos tarif, terlihat adanya potensi pendalaman pasar di Australia dan New Zealand untuk produk-produk Indonesia. Jumlah pos tarif yang menunjukkan peningkatan nilai impor di Australia dan New Zealand (gainers) secara komparatif lebih tinggi apabila dibandingkan dengan jumlah pos tarif yang mengalami penurunan nilai perdagangan (losers). Selain itu, dinamika jumlah pos tarif yang secara umum lebih tinggi untuk new comers apabila dibandingkan dengan out of markets di pasar New Zealand diprediksi menjadi endowment yang bernilai untuk mengelevasi manfaat AANZFTA Indonesia di pasar New Zealand. Namun demikian, aspek keberlanjutan (sustainability) kinerja perdagangan Indonesia di Australia perlu menjadi perhatian, dimana jumlah pos tarif dalam kelompok out of the markets lebih tinggi apabila dibandingkan dengan new comers.

Jika dilihat berdasarkan pendekatan nilai impor maka dapat ditunjukkan bahwa kinerja perdagangan Indonesia di Australia dan New Zealand tergolong cukup baik. Impor Australia dan New Zealand dari Indonesia didominasi oleh kelompok produk dengan nilai impor pos tarif yang mengalami peningkatan perdagangan setelah implementasi FTA (gainers), dibandingkan dengan nilai impor pos tarif yang mengalami penurunan perdagangan setelah implementasi FTA (losers). Namun demikian, kondisi market entry dan exit produk Indonesia di pasar Australia menunjukkan kinerja yang negatif dimana nilai perdagangan kelompok out of the markets lebih tinggi apabila dibandingkan dengan nilai impor kelompok new comers. Jika kita gabungkan temuan dari beberapa indikator yang telah dijelaskan di atas, maka kita dapat menyimpulkan bahwa Indonesia belum memanfaatkan secara optimal kerjasama perdagangan AANZFTA, sebagaimana yang terlihat pada utilization rate yang rendah. Namun demikian, Indonesia masih memiliki potensi yang besar untuk melakukan pendalaman pasar pada Australia dan New Zealand sebagaimana yang terlihat pada hasil pemetaan pos tarif dan nilai impor. Secara implisit, hasil pemetaan pos tarif dan nilai impor juga menunjukkan bahwa tarif preferensi belum dapat sepenuhnya memberikan insetif bagi peningkatan akses pasar ke Australia dan New Zealand dikarenakan oleh permasalahan fundamental dan multifaktor behind the borders yang di Indonesia yang perlu mendapatkan perhatian. Sementara itu, jumlah pos tarif yang keluar dari pasar Australia merepresentasikan tingginya level kompetisi dengan negara pesaing, sehingga pemanfaatan tarif preferensi tidak cukup untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar Australia.

sumber: https://www.republika.id/posts/41750/indonesia-dan-peluang-utilisasi-kerja-sama-aanzfta

Related Posts