Oleh: Dr Ujang Sehabudin, Dosen Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University

Tulisan ini merupakan bagian dari hasil studi tim IPB bekerjasama dengan Pemkab Karawang Jawa Barat, pada tahun 2021 – 2022. Latar belakang studi antara lain karena indikator target produktivitas padi dan nilai tukar petani padi (NPT) di Kabupaten Karawang  belum tercapai, padahal kedua indikator tersebut merupakan Indikator Kinerja Utama (IKU) Kabupaten Karawang dari 23 IKU (RKPD Kabupaten Karawang, 2021).   NPT merupakan indikator yang merepresentasikan kesejahteraan petani. Kedua indikator tersebut saling terkait, walaupun secara teori produksi, produktivitas  memengaruhi pendapatan petani.  Berdasarkan RPJMD Kabupaten Karawang (2021-2026), rendahnya produktivitas padi antara lain disebabkan (1) tingkat kesuburan tanah cenderung menurun, dimana kandungan C organik tanah sawah rendah (< 1%), (2) infrastruktur jaringan irigasi banyak yang rusak,  dari panjang saluran primer 78,97 km, hampir 50 % dalam keadaan rusak,  demikian juga dari panjang saluran sekunder 451,41 km, 29,91 % dalam keadaan rusak, sedngkan untuk salura tersier dari panjang saluran 1.525,44 km, 68,58 % dalam keadaan rusak, (3) infrastruktur jalan usahatani dari 919 km, 10,55 % dalam keadaan rusak, dan (4) prosentase kehilangan hasil (losses) di tingkat pascapanen padi masih cukup tinggi yaitu sebesar 13,62 %.

 Berdasarkan hasil pemetaan, menunjukkan bahwa sentra produksi padi terpusat di wilayah Utara Kabupaten Karawang, sedangkan sentra konsumsi berada di wilayah Selatan Kabupaten Karawang.  Lahan sawah terluas terdapat di kecamatan yang berada di wilayah Utara Karawang, sedangkan wilayah Selatan merupakan kawasan industri, pemukiman, dan perkotaan. Wilayah Selatan juga merupakan sentra pengolahan padi (Rice Milling Unit-RMU) atau Rice Milling Plant (RMP) terutama RMU skala medium (RMP-M) dan skala besar/large (RMP-L).  Akibatnya produksi padi di wilayah Utara Karawang tidak semuanya dapat tergiling di wilayah Utara, sehingga harus diproses di RMU/RMP di wilayah Selatan karena RMU/RMP di wilayah Utara Karawang terbatas.  Karena gabah yang dihasilkan petani di wilayah Utara tidak mampu diserap atau diproses seluruhnya di RMU/RMP di wilayah ini, maka surplus gabah tersebut dibeli olah pedagang dari luar wilayah Utara Karawang, juga dari luar Karawang, seperti Cianjur, Bekasi, Tasikmalaya, bahkan dari Jawa Tengah.

Adanya ketimpangan produksi gabah dan serapan gabah oleh RMU/RMP di wilayah Utara menyebabkan harga gabah di tingkat petani menjadi lebih rendah karena pedagang beralasan diperlukan biaya transportasi yang lebih mahal untuk diproses di RMU/RMP di wilayah Selatan. Petani tidak pernah menahan gabahnya dengan waktu lebih dari seminggu, bahkan terdapat pola tebasan (tengkulak membeli gabah dalam bentuk tanaman yang siap panen).  Hal ini karena petani memerlukan dana cash untuk memenuhi kehidupannya, panen merupakan satu-satunya sumber penghasilan utama petani.  Petani menggantungkan hidupnya dari hasil panen, dan ketika panen itulah kesempatan terbesar petani untuk memenuhi kebutuhannya.

Di samping terdapat ketimpangan antara wilayah produksi padi dengan wilayah prosesing padi, persoalan lainnya adalah belum terintegrasinya bisnis padi antar pelaku usaha, mulai hulu – hilir, mulai dari petani – tengkulak padi– RMU sampai dengan pedagang beras.  Masing-masing pelaku usaha bekerja secara sendiri-sendiri, mengandalkan kemampuan finansial dan jaringan yang secara tradisional telah dikuasai.  Akibatnya masing-masing menetapkan harga sendiri-sendiri, sehingga pelaku yang memiliki kemampuan finansial dan menguasai informasi pasar, mereka cenderung memiliki bargaining position yang lebih besar.  Apalagi struktur pasar gabah bersifat oligopsony.  Dari pelaku usaha tersebut, petani padi merupakan pihak yang posisinya paling lemah, terutama kelompok buruh tani yang merupakan kelompok terbesar.  Dari jumlah petani Kabupaten Karawang sebanyak 281.405 KK, buruh tani berjumah  menempati posisi terbesar yaitu 109.564 KK (39 %), sedangkan petani pemilik terendah (15 %).  Sisanya adalah petani pemilik penggarap 29 %, dan petani penggarap 17 %.  Alih fungsi lahan juga merupakan salah satu penyebab menurunnya produksi padi.  Alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Karawang selama 25 tahun terakhir mencapai 3.550 ha, atau rata-rata 142 ha/tahun.  Dari jumlah petani pemilik, lebih dari 70% berdomisili diluar Kabupaten Karawang. Mereka menyewakan atau menggarapkan lahan sawahnya kepada petani penggarap sampai dengan lahan tersebut dialihfungsikan atau dijual.  Hal ini menjadi persoalan tersendiri terutama ketika ada implementasi program pemerintah seperti penetapan LP2B.  Adanya opprtunity lahan yang lebih untuk penggunaan lain, keberlanjutan pertanian padi tidak terjamin, karena pemilik lahan lebih memilih menjual atau menyewakan lahannya untuk kawasan industri, perdagangan atau pemukiman.  

Model Integrasi Terpadu

            Model integrasi bisnis padi/beras secara terpadu yaitu mengintegrasikan setiap pelaku usaha dalam satu rangkaian bisnis padi-beras berdasarkan perannya sesuai dengan kemampuan dan karakteristik usaha.  Model ini bukan menjadikan bisnis padi/beras seperti konglomerasi yang dikuasai oleh pelaku tertentu, namun sistemnya yang terpadu, sedangkan masing-masing pelaku usaha eksisting tetap melakukan usahanya namun diatur dan disesuaikan dengan kerakteristiknya agar mendapatkan nilai tambah yang memadai sesuai dengan perannya.  Setiap pelaku dengan aktivitas yang sama diintegrasikan secara horisontal, dan antar kelompok usaha terintegrasi secara vertikal. Petani yang melakukan aktivitas budidaya padi dokordinasikan melalui kelompok tani/gapoktan berdasarkan wilayah otoritas yang selama ini dilakukan, namun antar kelomppok tani/gapoktan terintegrasi secara horisontal sehingga tercipta komunikasi dan kerjasama sehingga memiliki posisi tawar yang lebih kuat terutama terkait dengan rantai pasok gabah, baik volume dan harga.  Hal yang sama juga untuk kelompok usaha pembeli GKP (gabah kering panen), mereka juga terintegrasi secara horisontal melalui pembentukan asosiasi pedagang/pembeli gabah yang difasilitasi oleh Dinas Perdagangan setempat. Asosiasi ini diharapkan melakukan prosesing GKP menjadi Gabah Kering Giling (GKG), sehingga mereka perlu difasilitasi fasilitas/mesin pengering (dryer).  Selanjutnya mereka memasok GKG ke RMU/RMP Kecil/small (RMP-S) yang terdekat.  RMU-S melakukan prosesing GKG menjadi Beras Pecah Kulit (BPK), untuk selanjutnya dipasok ke RMP-M.  RMP-M selanjutnya menghasilkan Head Rice (HR) dan sebagian Broken Rice (BR).   Selanjutnya HR dan BR diproses lebih lanjut menghasilkan Medium Rice (MR) dan Premium Rice (PR), dan Branded Rice/Functional Rice (FR), namun khusus untuk FR hanya dapat dilakukan di  RMP-L (R to R).  MR dipasarkan untuk segmen masyarakat umum (menegah ke bawah) dan Cadangan Beras Pemerintah (CBP), PR untuk kelompok masyarakat menengah atas, dan FR untuk kelompok masyarakat berkebutuhan khusus, misalnya untuk penderita diabetes.  Sebagian margin yang diperoleh dari proses pengolahan dikembalikan sebagian ke petani/kelompok tani, sehingga petani mendapatkan harga GKP yang layak dan terjamin.  Ketika studi berlangsung, harga GKP di tingkat petani berkisar dari Rp 4000/kg – Rp 4500/kg, padahal jika dengan model integrasi bisa mencapai    Rp 5000/kg – Rp 6000/kg.  Model integrasi bisnis padi/beras terpadu ini hanya dapat dilakukan jika dan hanya jika ada regulasi yang memaksa setiap kelompok pelaku usaha untuk bekerjasama, dan ini bisa dilakukan oleh pemerintah daerah, minimal melalui Peraturan Bupati.

Gambar. Integrasi Bisnis Beras (dimodifikasi dari Syuaib, 2017

sumber: https://republika.id/posts/42539/integrasi-bisnis-beras-untuk-tingkatkan-pendapatan-petani

Related Posts