Syarifah Amaliah dan Dr. Tony Irawan Peneliti International Trade Analysis and Policy Studies (ITAPS) FEM IPB dan Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB

Indonesia memiliki komitmen kuat untuk mengatasi problem perubahan iklim. Komitmen ini dilandasi oleh kepentingan untuk menjaga pembangunan perekonomian yang berwawasan lingkungan sekaligus sebagai bentuk upaya pemenuhan tanggung jawab kolektif dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Prioritas permbangunan berkelanjutan tersebut  dituangkan dengan komitmen mitigasi dan adaptasi yang diperkuat melalui Enhanced NDC (ENDC) di tahun 2022. Dalam dokumen tersebut, target penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) Indonesia konsisten dengan Long-term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR 2050). Selain membahas mengenai perkembangan kebijakan nasional, disain kebijakan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan kerangka transparansi, pemutakhiran dalam ENDC mencakup peningkatan target penurunan emisi GRK Indonesia. Target penurunan emisi GRK dengan kemampuan sendiri meningkat menjadi 31.89%i dibandingkan target 29 % dalam Updated NDC (UNDC). Sementara itu,  peningkatan target emisi GRK dengan dukungan internasional juga meningkat dari 41% menjadi 43.20% pada ENDC[1].

Salah satu strategi struktural yang dapat dilakukan untuk mendukung pencapaian target penurunan emisi GRK secara individual maupun kolektif adalah dengan mempromosikan perdagangan internasional pada produk hijau (greening the trade). Perdagangan internasional dapat memfasilitasi negara berkembang dan maju untuk mengurangi GRK dengan cara meningkatkan ketersediaan dan keterjangkauan akses atas produk barang, jasa, dan teknologi yang berperan krusial dalam ekosistem ekonomi hijau. Secara umum, transisi menuju low carbon economy dapat diterjemahkan sebagai proses transisi penggunaan bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan maupun pergeseran aktivitas dalam perekonomian dari high carbon intensity menuju ke low carbon intensity. Transformasi menuju ekonomi hijau ini diprediksi akan mempengaruhi pola dan intensitas perdagangan internasional karena berpotensi mengubah “keunggulan komparatif”, terutama pada produk yang diklasifikasikan sebagai produk hijau.

Saat ini, pengklasifikasian produk hijau belum mencapai suatu konsensus yang baku. Meskipun demikian, Environmental Goods List (EGs List) yang disusun oleh WTO, OECD dan APEC merupakan daftar produk hijau yang paling banyak dirujuk (APEC PSU, 2023). Tulisan ini mengadopsi ruang lingkup produk hijau dalam studi World Bank (2023) yang mengintegrasikan dan mengidentifikasi irisan dari tiga daftar tersebut. Hasil pemetaan menghasilkan daftar 69 komoditas dalam HS 6 digit yang kemudian diagregasikan menjadi kelompok produk hijau berdasarkan tujuan penggunaannya yakni: air pollution control, renewable energy, cleaner alternatives, dan waste management. Kelompok produk hijau tersebut meliputi penggunaan energi terbarukan, produk hemat energi, penyimpanan energi terbarukan seperti baterai, serta produk yang dapat mengendalikan polusi udara dan menyaring GRK berbahaya seperti konverter katalitik, insinerator, dan carbon capture.    

Kinerja eksisting perdagangan hijau global meningkat secara signifikan, tak terkecuali Indonesia. Seiring dengan inisiatif post pandemic green recovery, terdapat pula beberapa faktor pendukung perdagangan produk hijau seperti teknologi ramah lingkungan lebih terjangkau; kesadaran lingkungan yang lebih kuat di level individu, komunitas, entitas bisnis, maupun sektor publik; tren kenaikan harga bahan bakar berbasis fosil; insentif untuk pengembangan sumber energi alternatif; serta implementasi regulasi untuk melindungi lingkungan yang progresif (Kurayama, 2022). Dinamika perdagangan produk hijau Indonesia pada fase pemulihan ekonomi turut menunjukkan pertumbuhan ekspor rata-rata sebesar 36.58% dan impor rata-rata mencapai 107.84% pada periode 2020-2022. Secara total maupun kelompok perdagangan hijau, Indonesia saat ini menjunjukkan posisi net importer produk hijau dengan defisit perdagangan mencapai 3.07 Milyar USD di tahun 2022. Importasi tersebut diharapkan dapat mendorong difusi pengetahuan, inovasi dan teknologi yang mendukung pertumbuhan ekonomi hijau.  Nilai impor terbesar ditunjukkan oleh kelompok produk energi terbarukan dengan nilai mencapai 3.61 Trilyun USD diikuti oleh kelompok produk air pollution control sebesar 1.72 Trilyun USD (UNComtrade via WITS, 2023).

Meskipun demikian, transisi ekonomi hijau dan perdagangan produk hijau di level ASEAN menunjukkan peluang bagi Indonesia. Dari total kelompok produk hijau yang diekspor di ASEAN, dapat diidentifikasi bahwa pasar ASEAN merupakan pasar utama dari produk hijau Indonesia, dimana proporsi nilai ekspor produk Indonesia ke ASEAN mencapai 31.32% sampai dengan 38.84% dari total nilai ekspor global produk hijau pada tahun 2022. Prospek ini juga didukung oleh data historikal yang menunjukkan bahwa pertumbuhan rata-rata ekspor produk hijau Indonesia ke ASEAN bertumbuh sebesar  22.63%. Sementara itu, ekspor total produk hijau Indonesia dan secara konsisten menunjukkan posisi net eksportir terhadap negara anggota ASEAN lainnya serta menunjukkan performa ekspor yang baik pada kelompok produk cleaner alternatives (Tabel 1)

Tabel 1. Kinerja perdagangan produk hijau Indonesia di pasar ASEAN dalam juta USD

Kelompok Produk Hijau202020212022
Ekspor      ImporEksporImporEksporImpor
Air Pollution Control11.06109.7838.14100.54116.91112.21
Cleaner Alternatives394.1099.15398.8797.00435.4760.68
Renewable Energy349.11443.79486.12545.77589.96482.82
Waste Management16.65101.8919.41116.7716.90110.32
Total Produk Hijau770.92754.61942.55860.091159.24766.03
Sumber: Diolah dari UN Comtrade  via WITS (2023)

Terkait dengan perdagangan produk hijau di kawasan, strategi ekspansif dalam konteks kerjasama perdagangan internasional di wilayah ASEAN perlu terus dilakukan. Salah satu aspek kerjasama yang dapat dilakukan adalah menurunkan potensi restriktif Non-Tariff Measures (NTMs) yang berlaku di wilayah ASEAN. Prevalensi implementasi NTMs produk hijau cukup tinggi di saat nilai rata-rata MFN applied tariff terus menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat potensi NTMs sebagai kebijakan yang bersifat tariff substitute dan dapat mempengaruhi perdagangan produk hijau di kawasan ASEAN. Tarif preferensial produk hijau sudah mencapai level yang sangat rendah yakni kurang dari 1 % pada tahun 2022 sebagai implikasi dari integrasi ekonomi ASEAN dalam kerangka ASEAN Economic Community (AEC). Meskipun demikian, jumlah instrumen NTMs yang diimplementasikan relatif tinggi dan didominasi oleh instrumen NTMs teknikal seperti: Authorization requirements for importers (B15), Traceability requirements (B85), Labelling requirements (B31), Inspection requirement (B 81) maupun NTMs prosedural seperti Pre-shipment inspection (C1).

 Kompilasi data NTMs pada beberapa negara ASEAN menunjukkan jumlah akumulasi instrumen NTMs yang tinggi untuk seluruh total produk hijau, yakni Filipina (1657 instrumen), Vietnam (914 instrumen), Thailand (484 instrumen), Indonesia (362 instrumen), Singapura (330 instrumen), Malaysia (242 instrumen) (TRAINS Database, 2023). Adapun berdasarkan kelompok produk hijau, dapat diidentifikasi bahwa mayoritas NTMs di kawasan ASEAN dikenakan pada kelompok produk renewable energy (56.84%), cleaner alternatives (15.80 %), air pollution control (15.05%), serta waste management (12.31%).

Tingginya jumlah NTMs ini berpotensi menambah ketidakpastian dalam perdagangan produk hijau. Tidak seperti tarif yang memberikan dampak yang relatif mudah diukur pada perdagangan, NTMs dikonsiderasikan kurang transparan dalam mempengaruhi perdagangan baik secara langsung maupun tidak langsung. Akibatnya, sulit untuk memvalidasi NTMs yang diskriminatif dan  berpotensi menjadi  Non Tariff Barriers (NTBs). Salah satu pendekatan yang dilakukan untuk mengetahui besarnya distorsi perdagangan akibat NTMs adalah dengan mengkonversi NTMs dalam bentuk Ad Valorem Equivalents (AVEs) setara tarif. Berdasarkan rekapitulasi data World Bank (2023) nilai AVEs NTMs produk hijau di negara ASEAN relatif rendah. Meskipun demikian, masih terdapat beberapa instrumen dengan variasi nilai AVEs yang tinggi antar beberapa ASEAN Member States (AMS) terutama untuk kelompok produk renewable energy dan cleaner alternatives sehingga masih terdapat ruang bagi penurunan NTMs lebih lanjut di ASEAN (Tabel 2).

Tabel 2. Ad Valorem Equivalents (AVEs) NTMs produk hijau di pasar ASEAN (dalam persen)

AVEs NTM Produk HijauFilipinaIndonesiaMalaysiaSingapuraThailandVietnam
Air Pollution Control      
Nilai Rata-rata1.710.090.440.090.000.15
Nilai Minimum0.000.000.000.000.000.00
Nilai Maksimum8.580.870.910.940.000.83
Cleaner Alternatives      
Nilai Rata-rata6.170.050.880.890.002.36
Nilai Minimum0.000.000.000.000.000.00
Nilai Maksimum25.120.464.248.050.007.98
Renewable Energy      
Nilai Rata-rata3.751.120.570.300.071.49
Nilai Minimum0.000.000.000.000.000.00
Nilai Maksimum53.2224.277.885.561.9724.02
Waste Management      
Nilai Rata-rata0.430.000.080.000.030.20
Nilai Minimum0.000.000.000.000.000.00
Nilai Maksimum2.000.000.470.000.331.44
Sumber: Diolah dari World Bank DAVE-NTM  (2023)

Memastikan regulatory convergence merupakan salah satu langkah penting. Terlebih dalam momentum Keketuaan ASEAN 2023, telah ditentukan satu Priority Economic Deliverables (PEDs) di bawah strategic thrust Sustainability yakni Roadmap of ASEAN Harmonized Standards to Support Sustainable Development Goals (SDGs) Implementation. Dengan adanya pembahasan tersebut, diharapkan harmonisasi NTMs, terutama terkait perdagangan hijau, diantara negara ASEAN dapat direalisasikan secara optimal. Vanzetti et al. (2018) telah membuktikan bahwa peraturan konvergen, tanpa mengurangi jumlah instrumen NTMs yang diimplementasikan dapat mengurangi efek distortif NTMs sebesar 15-25 persen dari kondisi baseline.

Satu hal yang menjadi perlu menjadi atensi adalah “convergence rules and regulation does not mean equal opportunities”. Compliance terhadap NTMs berpotensi meningkatkan biaya transaksi perdagangan. UMKM menghadapi tantangan lebih kompleks dalam memenuhi NTMs karena keterbatasan sumberdaya, kapasitas know how dan teknologi, serta kendala administratif lainnya. Diperlukan ekosistem perdagangan hijau yang inklusif sehingga dapat membuka ceruk pasar bagi UMKM hijau Indonesia khususnya di pasar ASEAN.  Disamping itu, diperlukan pula pemanfaatan klausul kerjasama teknis ataupun capacity building dalam skema kerjasama FTA maupun non FTA yang secara spesifik memuat substansi terkait environmental provision, perdagangan hijau, maupun SDGs.

Related Posts