Ali Mutasowifin Dosen Dosen Departemen Manajemen FEM IPB

Masyarakat tentu telah mengenal dengan baik Blue Bird, perusahaan taksi terbesar di Tanah Air dengan logo burung biru. Walaupun demikian, mungkin tak banyak yang mengenal Sigit Priawan Djokosoetono, yang hingga akhir bulan lalu menjabat pimpinan puncak perusahaan yang juga telah melantai di Bursa Efek Indonesia dengan kode BIRD itu.

            Namun, beberapa waktu lalu, masyarakat ramai membicarakan aksi kakak ipar aktris Nikita Willy itu, gara-gara seharian ia menyamar menjadi sopir taksi Blue Bird yang melayani pelanggan di wilayah Jakarta. Sang CEO beralasan, ia melakukan itu guna memahami lebih baik kondisi para pekerja Blue Bird di lapangan.

            Walaupun menjadi cucu pendiri PT Blue Bird Tbk, Sigit Djokosoetono tidaklah tiba-tiba menduduki posisi puncak di perusahaan yang didirikan oleh neneknya. Ia mengawali karir sebagai Senior Operational Manager pada 1997, kemudian berpindah ke beragam posisi lain, dan baru dua puluh empat tahun setelah bergabung, tepatnya pada Agustus 2021, Rapat Umum Pemegang Saham mengangkatnya sebagai direktur utama.

            Blue Bird bisa disebut satu dari sedikit perusahaan keluarga yang mulus melangsungkan regenerasi dan mampu bertahan hingga generasi ketiga, di saat banyak perusahaan keluarga yang gagal meneruskan tongkat estafet kepemimpinan. Bahkan, riset Daya Qarsa yang kemudian dibukukan dengan tajuk “Bangkit Setelah Pandemi: Mengembalikan Kesuksesan Perusahaan Keluarga Setelah Pandemi Covid-19” mengungkapkan, hanya sekitar 30 persen dari perusahaan keluarga di Indonesia yang mampu bertahan hingga generasi kedua, bahkan hanya sekitar 13 persen yang berhasil bertahan hingga generasi ketiga.

            Mereka yang gagal bertahan pun bukan hanya perusahaan kategori biasa-biasa saja, contohnya perusahaan jamu cap “Nyonya Meneer”. Konflik di antara para cucu pendiri, selain kurangnya inovasi dan hal-hal lainnya, membuat perusahaan jamu yang sudah berdiri selama 98 tahun itu terpaksa harus menyerah kalah dan menutup pabrik.

            Besarnya persentase perusahaan keluarga yang gagal bertahan ini tentu disayangkan, mengingat riset Daya Qarsa itu juga menjelaskan bahwa 95 perusahaan di Indonesia sesungguhnya merupakan perusahaan keluarga, yang menyumbang 82 persen Produk Domestik Bruto dan memberikan kontribusi 40 persen kapitalisasi pasar di Tanah Air.

            Banyaknya perusahaan keluarga yang menurun pamornya, bahkan menjemput ajal ketika era pendiri berakhir dan diteruskan oleh anak atau cucunya ini sejalan dengan penelitian Villalonga dan Amit (2006) dalam karyanya “How do family ownership, control and management affect firm value?”. Mereka membeberkan temuan bahwa perusahaan keluarga lebih berhasil membangun value kala para pendiri masih memimpin perusahaan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Value ini biasanya akan memudar seiring dengan peralihan kepemimpinan ke generasi-generasi berikutnya.

            Risiko memudarnya value ini bukannya tidak disadari oleh pimpinan perusahaan keluarga. Mereka melakukan beragam transformasi, seperti mengundang bergabung para profesional, karena keyakinan bahwa hadirnya orang luar yang tidak terafiliasi dengan keluarga akan berdampak positif, seperti termaktub dalam “Board composition: Balancing family influence in S&P 500 firms”, hasil penelitian Anderson dan Reeb (2004). Langkah lebih maju lagi yang dilakukan adalah menjadi perusahaan terbuka dengan masuk bursa. Langkah-langkah tersebut merupakan jawaban atas peringatan Yeh dan Woidtke (2004) dalam “Commitment or entrenchment?: Controlling shareholders and board composition” yang menyoroti lemahnya corporate governance pada perusahaan keluarga.

            Rendahnya persentase perusahaan keluarga yang mampu bertahan hingga generasi kedua atau ketiga menunjukkan beratnya tantangan yang dihadapi oleh pendiri, salah satunya adalah memastikan manajemen suksesi dapat berjalan mulus tanpa gejolak. Menyiapkan generasi penerus memang bukanlah tugas mudah yang harus dilakukan oleh pendiri perusahaan keluarga.

            Dengan dukungan finansial yang berlimpah, generasi penerus perusahaan keluarga biasanya tidak kesulitan untuk memperoleh pendidikan terbaik, bahkan hingga ke mancanegara. Akan tetapi, pendidikan saja tidaklah cukup. Seperti diungkapkan Shane dan Nicolaou (2013) dalam “The genetics of entrepreneurial performance”, generasi penerus sebenarnya sudah memiliki modal awal yang baik sebagai keturunan pengusaha sukses yang bisa memengaruhi keberhasilan mereka. Namun, kehidupan nyaman, aman, mewah dan berlimpah sebagai anggota keluarga kaya, yang terbiasa dengan apa-apa ada serta apa-apa bisa, tidak jarang malah gagal membentuk mental juang pengusaha pada para penerus dinasti perusahaan keluarga.

            Padahal, seperti dikemukakan Olivari (2016) dalam “Entrepreneurial traits and firm innovation”, sifat-sifat pengusaha akan memengaruhi kecenderungan inovasi perusahaan, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap kinerja perusahaan. Oleh karena itu, generasi penerus perlu dibekali dengan mental juang pengusaha yang kuat. Hal ini penting dilakukan, karena dunia usaha tidaklah selalu apa-apa ada dan apa-apa bisa. Terdapat beragam tantangan yang membutuhkan pendekatan berbeda.

            Langkah yang dilakukan Ghanshyam Dholakia barangkali bisa menjadi pembelajaran yang menarik. Pendiri dan Managing Director Hare Krishna Exports Pvt. Ltd., perusahaan pembuat berlian terkenal dari India, ini memiliki pendekatan unik dalam mepersiapkan penerusnya di perusahaan. Dengan tega ia meminta Hitarth Dholakia, anak bungsunya yang belum lama menyelesaikan pendidikan sarjana di Amerika Serikat, untuk berkelana ke Hyderabad, ibukota negara bagian Telangana, bagian Tengah-Selatan India. Ghanshyam berharap anaknya bisa lebih memahami penderitaan dan perjuangan hidup orang-orang kecil, yang diyakininya merupakan prasyarat penting untuk menjadi pengusaha yang baik.

            Menariknya, Hitarth hanya boleh membawa uang Rs500 (sekitar Rp92.000), sehingga ia harus bekerja keras untuk dapat bertahan hidup. Aturan lain yang harus dipatuhi, ia tidak boleh mengungkapkan jati dirinya sebagai anak konglomerat berlian atau gelar kesarjanaannya untuk mendapatkan pekerjaan. Beragam pembatasan tersebut memaksanya berulang kali harus berganti pekerjaan, bahkan hingga empat kali dalam sebulan, dengan hanya mengantongi Rs5000 pada akhir bulan.

            Kawah Candradimuka untuk generasi penerus perusahaan keluarga di Tanah Air tidak pernah diberitakan “seekstrem” yang dialami Hitarth. Seperti yang dijalani Sigit Priawan Djokosoetono, setamat dari perguruan tinggi di dalam maupun luar negeri, biasanya para putra/putri mahkota langsung magang dengan menduduki jabatan di perusahaan atau anak perusahaan milik keluarganya. Identitas mereka sebagai anggota keluarga pemilik perusahaan pun biasanya diketahui luas oleh karyawan, sehingga membuat mereka sering memperoleh privilege yang membantu kelancaran banyak tugas di lapangan. Beda negara, beda gaya, beda cerita. Beda pula hasilnya?

Related Posts