Bayu Krisnamurthi Staf pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB University, Sarah Noor Shahira Mahasiswa S1 Program Studi Agribisnis, FEM IPB

Ketika konsumen membeli barang kebutuhannya – misalnya membeli beras – maka konsumen tersebut umumnya sudah punya preferensi jenis dan kualitas beras seperti apa yang diinginkannya. Apakah beras yang lebih pulen, yang lebih putih, yang wangi melati, atau bentuk preferensi lain. Namun pada saat melakukan aktivitas pembelian – misalnya di toko atau di pasar – seringkali konsumen tidak cukup punya waktu atau kesempatan untuk memeriksa secara langsung kualitas dari beras. Konsumen akan mengandalkan informasi yang tertera pada beras yang dibelinya, yang akan menunjukkan jenis dan kualitas beras yang dimaksud. Informasi itu berkaitan erat dengan merek.

Itulah sebabnya, konsumen teh tidak lagi hanya sekedar membeli teh, tetapi membeli teh Sariwangi, atau Sosro, atau Tong Tji, atau Cap Poci, Teh 2 Tang, Walini, Cap Botol, Lipton, dan lainnya. Hal yang sama berlaku juga untuk kopi, minyak goreng, gula, kecap, dan berbagai produk agribisnis lainnya

Ekuitas Merek dan Manfaatnya

Menurut The American Marketing Association, merek adalah nama, istilah, tanda, simbol, desain, maupun kombinasi keseluruhannya yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi produk barang dan jasa dari suatu perusahaan serta sebagai pembeda dari perusahaan atau penyedia barang dan jasa sejenis.  Selain itu merek dapat menandakan tingkat kualitas suatu produk, sehingga konsumen yang puas dapat dengan mudah untuk melakukan pembelian ulang serta mampu menimbulkan loyalitas merek tersebut (Keller 2008). 

Merek memiliki manfaat yang besar bagi konsumen, produsen, maupun pengecer-penjual, diantaranya sebagai penciri atau pembeda satu produk dengan produk lainnya, sebagai alat komunikasi antara produsen dan konsumen, sebagai sarana yang memudahkan konsumen memilih barang, dan sebagai sarana promosi bagi produsen. Merek yang dinyatakan dalam bentuk label di kemasan juga sekaligus menjadi sarana pertanggungjawaban dan akuntabilitas serta bentuk pemenuhan atas ketentuan atau peraturan yang berlaku.  

Dan apabila merek telah dikenal oleh konsumen dan menjadi daya tarik untuk pembelian, merek akan menjadi aset yang berharga, dapat meningkatkan manfaat finansial, bahkan menjadi sumber keunggulan kompetitif. Disinilah, merek kemudian memiliki sifat sebagai ekuitas, sesuatu yang memiliki nilai kepemilikan tersendiri.

Ekuitas merek menjadi salah satu indikator keberhasilan bisnis yang menggambarkan sejauh mana konsumen memberikan penilaian terhadap suatu merek. Ekuitas merek adalah nilai tambah terhadap suatu produk, dan merupakan refleksi dari perilaku tindakan maupun kata-kata konsumen sebelumnya, terutama perilaku untuk melakukan pembelian berulang pada merek yang sama (Kotler dan Keller 2012).  

Teori Aaker (1991) menyebutkan ekuitas merek memiliki beberapa komponen. Pertama, kesadaran merek. Kesadaran merek merupakan kemampuan konsumen untuk mengenali atau mengingat suatu merek dari produk yang mereka gunakan. Kesadaran merek melibatkan perasaan bahwa merek tersebut telah dikenal sebelumnya. 

Tingkatan kesadaran merek secara berurutan adalah sebagai berikut. Awalnya konsumen tidak mengenal atau menyadari adanya merek tersebut. Berikutnya konsumen mulai mengenal merek dimaksud. Tingkat ini menjadi tingkat paling minimal, namun paling penting karena pada tingkat ini konsumen telah melakukan pembelian dengan memperhatikan merek. Tingkat yang lebih tinggi adalah mengulang merek. Konsumen melakukan pembelian ulang didasarkan pada ingatannya terhadap merek yang pernah dibeli sebelumnya. Dan yang kesadaran merek yang tertinggi adalah yang disebut ‘top of mind’, yaitu konsumen yang telah mampu menyebutkan merek sebagai yang pertama mereka ingat dari suatu produk.

Kedua, setelah memiliki kesadaran merek, berikutnya konsumen kemudian akan memiliki persepsi kualitas atau keunggulan atas suatu merek. Persepsi kualitas ini merupakan konsep sejauh mana produk atau layanan tersebut memberikan manfaat dan dirasakan keunggulannya dibandingkan dengan yang lain. 

Ketiga, asosiasi merek. Hal ini merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan merek tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung. Asosiasi merek akan mencerminkan bahwa produk dengan merek tertentu dapat mengekspresikan gaya hidup, posisi sosial atau peran professional. Oleh karena itu, nama dan simbol dalam merek menjadi hal yang sangat penting pada proses asosiasi merek ini. 

Menuju Loyalitas Merek

Loyalitas merek ini adalah inti dari ekuitas atau nilai dari merek, dan sekaligus menjadi konstruksi utama dalam kegiatan pemasaran yang memang bertujuan untuk memperkuat keterkaitan antara suatu produk dengan konsumennya. Pengukuran ekuitas merek sangat berhubungan kuat dengan kesetiaan konsumen. Bahkan telah banyak dibuktikan bahwa ketertarikan konsumen baru terjadi karena banyaknya konsumen lama yang setia.

Dalam hal ini loyalitas merek terbagi kedalam beberapa tingkatan. Setiap tingkat mewakili tantangan pemasaran yang berbeda. Pertama adalah ‘switcher’ (berpindah-pindah). Pada tingkat ini loyalitas merek berada pada level paling rendah. Konsumen belum loyal dan tidak terlalu peduli terhadap merek. Produk yang dipilih bukan berdasarkan merek, dan umumnya lebih karena faktor harga. 

Kedua, konsumen yang bersifat kebiasaan. Konsumen pada tingkat ini membeli atau memilih satu merek lebih karena kebiasaan saja, bukan karena memang benar-benar memilih merek itu. Segmen ini rentan terhadap kompetitor yang mampu memberikan nilai produk yang sama atau lebih baik.

Ketiga, konsumen yang puas. Konsumen pada kelompok ini secara sadar sudah merasa puas pada saat mengkonsumsi produk merek tertentu. Pembeli pada tingkat ini umumnya mulai setia dengan merek yang dipilihnya. Pembeli kemungkinan beralih ke merek lainnya apabila merek lainnya itu benar-benar menunjukkan keunggulan, baik dalam kualitas maupun harga.

Keempat, penyuka merek. Pada tingkat ini konsumen benar-benar menyukai merek tertentu. Preferensi mereka didasarkan pada asosiasi terhadap pengalaman penggunaan maupun kualitas, atau hal-hal lain yang bersifat subjektif.

Dan kelima konsumen berkomitmen. Tingkat ini adalah tingkat loyalitas konsumen tertinggi serta memiliki komitmen tinggi dan merasa bangga karena telah menggunakan merek produk tersebut. Pada tingkat ini merek sangat penting untuk mereka. Konsumen akan merekomendasikan merek tersebut kepada orang-orang sekitarnya.

Masalah Merek Produk Agribisnis

Tidak dapat dipungkiri, merek adalah salah satu aspek bisnis yang penting. Meskipun merek yang terkait produk agribisnis telah semakin berkembang, masih terdapat setidaknya dua masalah besar terkait merek bagi agribisnis Indonesia. 

Pertama, produk segar. Produk agribisnis masih banyak yang dijual segar, tanpa kemasan, dan dengan sendirinya tanpa merek. Sebenarnya sudah terdapat identitas produk lain, seperti jenis produk (contoh pisang Barangan, kopi Toraja, duku Palembang, dan seterusnya) atau kualitas produk (medium, premium); namun hal tersebut tidak cukup. 

Kedua, kesadaran merek diantara pelaku usaha agribisnis – terutama usaha kecil dan menengah – relatif masih rendah. Padahal merek telah terbukti menjadi salah satu faktor keunggulan, baik di pasar lokal, nasional bahkan internasional. 

Untuk itu, peningkatan kesadaran dan pengetahuan serta kemampuan membangun merek agribisnis Indonesia yang baik masih sangat diperlukan dan perlu disebarluaskan

sumber : https://republika.id/posts/43366/pentingnya-ekuitas-merek-pada-produk-agribisnis

Related Posts