Oleh Asti Istiqomah, Dr Nuva, Dr Nia Kurniawati Hidayat, Dea Amanda (Dosen Departemen Ekonomi Sumber daya dan Lingkungan (ESL), Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University)

Kita tidak bisa menafikan bahwa perubahan iklim, terutama melalui peningkatan frekuensi dan intensitas iklim ekstrem, akan memberikan dampak negatif terhadap berbagai sektor kehidupan, terutama pertanian dan ketahanan pangan. Sebagai gambaran, sejak tahun 1950 sampai dengan tahun 2010, anomali temperatur global mengalami kenaikan secara terus menerus, dimana kenaikan temperature udara mencapai 1,70C. Penyebab perubahan iklim ini sendiri dapat berasal dari peningkatan emisi yang diakibatkan oleh aktivitas manusia, seperti pembakaran minyak, batu bara, dan gas yang akan menghasilkan dinitrogen oksida dan karbon dioksida, termasuk kegiatan di sektor pertanian dan peternakan, dan adanya deforestasi. Sektor pertanian merupakan salah satu sumber antropogenik emisi GRK (gas rumah kaca) yang berkontribusi terhadap perubahan iklim.

Dalam menyikapi fenomena ini, saat ini berkembang konsep low carbon agriculture, dimana Indonesia juga fokus pada aspek tersebut. Isu perubahan iklim ditanggapi pemerintah Indonesia melalui kebijakan nasional yang dikenal dengan Low Carbon Development Initiative, dimana sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang menjadi prioritas nasional dalam RPJMN 2020-2024 untuk target penurunan emisi, yaitu mengurangi emisi dari sektor lahan (pertanian) sebesar 58,3% pada Tahun 2024. Inisiatif Pembangunan Rendah Karbon (PRK) sebenarnya telah dimulai sejak Oktober 2017, dimana prinsip dan agenda implementasi pembangunan rendah karbon tertuang pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Salah satu strategi sektor pertanian dalam adaptasi perubahan iklim berbasis low carbon initiative adalah implementasi usahatani terintegrasi (integrated farming system) yaitu usahatani yang memungkinkan adanya integrasi antar komoditas usahatani. Integrasi antara usaha tanaman dan peternakan, usaha tanaman dan perikanan, maupun usaha perkebunan dan peternakan merupakan contoh bentuk integrasi yang dapat diaplikasikan pada komoditas-komoditas usahatani.

Integrated smart farming bukan hanya merupakan bentuk pertanian terintegrasi namun juga memanfaatkan teknologi dalam proses budidayanya (Smart). Integrated smart farming secara tidak langsung pada dasarnya juga merupakan salah satu bentuk penerapan circular economy dengan penerpaan konsep pertanian presisi sehingga efisiensi bisa dicapai, dimana akan dimungkinkan untuk menghemat biaya input dan meningkatkan produktivitas selain tujuan utamanya yaitu mampu mereduksi karbon sehingga pertanian menjadi lebih ramah lingkungan.

Salah satu contoh integrated smart farming  yang dijalan kana di Indonesia adalah intergrated smart farming  berbasis komunitas yang terdapat di Pesantren Al-Ittifaq di Lembang, Kabupaten Bandung. Kegiatan usahatani yang dijalankan oleh pesantren ini  menerapkan sistem pertanian integrasi berbasis komunitas pesantren-masyarakat, yang terdiri dari tiga komoditas yaitu Sayuran-Ternak-Ikan. Ketiga usaha ini saling terintegrasi satu sama lain, dimana sayuran menghasilkan limbah yang dapat dijadikan pakan untuk ternak dan ikan, sebaliknya ternak menghasilkan kotoran yang dapat digunakan sebagai pupuk tanaman dan kolam ikan.

Dengan adanya integrasi tersebut memunculkan simbiosis dalam setiap kegiatan sehingga semestinya mampu untuk meningkatkan pendapatan dari usahatani karena bisa dilakukan penghematan dalam biaya input. Sistem pertanian seperti ini perlu diimplementasikan oleh banyak petani agar mengurangi tingkat kemiskinan utamanya di perdesaan. 

Kajian ini mencoba mengidentifikasi model Integrated Smart Farming (ISMF) berbasis komunitas yang dijalankan oleh Pesantren Al-Ittifaq menggunakan pendekatan observasi lapang dan desk study. Sistem integrasi pertanian yang dilakukan di Al-Ittifaq merupakan rujukan bagi petani mitra. Value proposition yang dipromosikan oleh Al-Ittifaq dan mitra nya adalah “tidak ada sejengkal tanah yang tidur, tidak ada sedetik waktu yang nganggur dan tidak ada sampah yang mawur”. Dari tiga aktivitas usaha utama yang dilakukan yakni usaha pertanian hortikultura, usaha peternakan dan perikanan menghasilkan limbah pertanian. Dari unit usaha hortikultura terdapat potensi sebanyak 276 kg per bulan sayuran afkir (Grade E) dan 20 kg daun kering per siklus produksi sebagai limbah. Usaha peternakan menghasilkan limbah berupa kotoran ternak dan urine dan usaha perikanan menghasilkan sisa lumpur hasil pembersihan kolam. Limbah-limbah pertanian tersebut dimanfaatkan kembali sebagai input produksi dalam proses budidaya baik sayuran, ternak dan perikanan.

Secara umum, unit usaha pertanian di Pesantren Al-Ittifaq dilakukan dengan berbagai teknologi dan media. Pertama, dengan menggunakan green house dengan teknologi Water Drip. Terdapat 7 green house dengan luas total sebesar 1,242 m2 yang digunakan untuk membudidayakan 6 jenis komoditas horticultural yakni tomat, strawberry, kale, baby packcoy, horenzo dan cabai rawit. Komoditas hortikultura yang dibudidayakan di dalam green house memberikan kualitas hasil produksi yang baik sehingga tidak ada sayuran atau produk yang afkir yang termasuk ke dalam grade E dan diperuntukan untuk pakan. Kedua, budidaya tanaman pertanian pada di lahan pertanian terbuka (open field) seluas 5,929.77 m2. Pada system open field ini tidak ada teknologi digital yang digunakan. Budidaya dilakukan dengan konvensional dengan teknik pengairan manual. Terdapat 20 tanaman hortikultura yang dibudidayakan secara tumpang sari. 

Output dari usahatani hortikultura yang tidak bisa dikonsumsi, selanjutnya dimanfaatkan oleh epsantren menajdi pakan ternak. Unit usaha peternakan al-ittifaq merupakan usaha ternak benchmark bagi petani-petani mitra. Terdapat dua jenis ternak yang diusahakan yaitu sapi simmental dan ternak domba. Luas kandang masing masing adalah 100 m2. Limbah ternak juga dimanfaatkan oleh pesantern untuk pupuk di usahatani hortikultura. Selanjutnya adalah usaha budidaya perikanan air tawar, kegiatan ini tidak dikelola secara komersial melainkan untuk melengkapi model integrasi pertanian yang dilakukan. Proses ISMF ini selanjutnya digambarkan melalui bagan alir yang menjelaskan input, proses dan output (Gambar 1).

Gambar 3. Model Integrated Smart Farming berbasis Komunitas di pesantren Al-Ittifaq, Kabupaten BandungBerdasarkan hasil kajian ini, diketahui bahwa implmentasi sistem integrated smart farming mampu mereduksi emisi karbon dari penggunaan pupuk urea. Lebih lanjut, pertanian dengan konsep integrated smart farming ini akan mampu mereduksi emisi karbon lebih besar jika menyuplai kebutuhan listriknya missal dengan melakukan pengolahan biogas.

sumber: https://www.republika.id/posts/43616/menekan-emisi-karbon-di-sektor-pertanian

Related Posts