Oleh Dinda Febriana (Mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi Syariah FEM IPB), Dr. Resfa Fitri (Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi Syariah FEM IPB)

Negara-negara di seluruh dunia telah mengarahkan fokus mereka pada pertumbuhan ekonomi berbasis lingkungan, yang dikenal sebagai ekonomi “hijau.” Komitmen ini tercantum dalam Paris Agreement 2015, yang bertujuan untuk melindungi dan melestarikan sumber daya alam serta mengurangi dampak negatif dari perubahan iklim (OECD, 2011). Namun, untuk mewujudkan ekonomi hijau, diperlukan pendanaan yang besar, terutama untuk proyek-proyek energi terbarukan. Hal ini mendorong pemangku kepentingan untuk mengembangkan instrumen keuangan yang khusus digunakan untuk mendukung proyek-proyek yang sesuai dengan prinsip Environment, Social, and Governance (ESG) dan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs).

Green sukuk menjadi salah satu bentuk inovasi pendanaan yang ramah lingkungan. Green sukuk adalah instrument investasi berbasis prinsip Syariah yang bertujuan mendukung proyek pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Menurut Standar Syariah dari Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAIOFI), sukuk itu sendiri didefinisikan sebagai sertifikat kepemilikan yang memiliki nilai yang sama dan mewakili bagian kepemilikan yang tidak terbagi atas aset fisik, manfaat dari aset, dan layanan (jasa), atau kepemilikan atas aset dari proyek atau investasi tertentu. Seperti hal nya obligasi, sukuk juga dapat diterbitkan oleh perusahaan (corporate sukuk) dan pemerintah (sovereign sukuk).

Potensi Sukuk dan Green Sukuk di Indonesia

Sejak disahkannya UU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara, hingga saat ini penerbitan Sukuk Negara telah berperan penting sebagai instrument pembiayaan APBN dan katalisator perkembangan industri keuangan syariah di dalam negeri maupun luar negeri. Pada saat ini penerbitan Sukuk Negara telah mencapai Rp 2.223,01 triliun dengan jumlah outstanding Sukuk Negara sebesar Rp 1.344,35 triliun atau sekitar 19,6% dari total SBN yang diterbitkan pemerintah. Peningkatan penerbitan SBSN menandakan bahwa peran SBSN semakin meningkat dalam mendanai defisit APBN, mendukung pembiayaan proyek infrastruktur, dan juga mengembangkan pasar keuangan Syariah (Kemenkeu 2022).

Sumber : Kementerian Keuangan, 2022

Indonesia menjadi pelopor penerbitan green sukuk dengan struktur ritel yang  dijual di pasar global  dengan denominasi Dolar Amerika untuk investor Internasional dan denominasi Rupiah untuk investor domestik. Penerbitan ini memperlihatkan upaya pemerintah berkontribusi  dalam pembangunan berkelanjutan untuk menanggulangi krisis iklim. Green sukuk merupakan instrumen keuangan yang didasarkan pada prinsip syariat Islam, yang diterbitkan untuk mendanai investasi yang bermanfaat bagi lingkungan dengan tujuan mendukung upaya dalam mengatasi dampak dari krisis iklim.

Green sukuk yang diterbitkan di pasar global pada Maret 2018 memiliki tenor selama 5 tahun dengan nominal penerbitan USD 1,25 miliar. Sementara pada tahun 2019 yang menjadi penerbitan ke-2 memiliki tenor 5,5 tahun dengan nominal penerbitan sebanyak USD 750 juta. Kemudian tahun 2020 memiliki tenor 5 tahun dengan nominal penerbitan sebanyak USD 750 juta dengan peningkatan green investor sebesar 34% yang sebelumnya 29% dari tahun 2018-2019. Sementara pada tahun 2021 memiliki tenor 30 tahun yang menjadi tenor terpanjang di dunia dengan nilai penerbitan sebanyak USD 750 juta. Green investor pada tahun ini mengalami peningkatan menjadi 57%. Pada tahun 2022  Indonesia kembali menerbitkan green sukuk global ke-5 dengan tenor 10 tahun dengan nilai penerbitan sebanyak USD 1,5 juta. Pada tahun ini green investor hanya sebesar 36%, angka tersebut mengalami penurunan dari tahun sebelumnya. 

Green sukuk tidak hanya diterbitkan di pasar global, namun juga mencakup pasar domestik. Pada bulan November 2019, Indonesia menerbitkan green sukuk ritel pertama dengan seri sukuk tabungan ST006. Jumlah penjualan seri ST006 mencapai 1,46 triliun rupiah dengan partisipasi dari 7.735 investor. Pada tahun 2020, pemerintah berhasil menarik minat 16.992 investor dan berhasil menjual seri ST007 sebesar Rp 5,42 triliun. Selanjutnya, pada tahun 2021, seri ST008 berhasil menarik 14.337 pemilik modal dan menempati posisi kedua terbanyak selama penerbitan green sukuk ritel non-tradable di Indonesia. Penjualan seri ST008 senilai 5 triliun rupiah mendapat sambutan antusias dari investor ritel di pasar domestik, menunjukkan dorongan meningkatnya iklim investasi dalam negeri. Pada dua hari pertama penawarannya, jumlah pesanan mencapai 1,9 triliun rupiah meskipun yield yang ditawarkan sebesar 4,80%. Pada tahun 2022 penerbitan ST009 berhasil menarik 35.397 investor dengan 13.758 investor baru dan berhasil menjual Rp 10 triliun. Pada tahun 2022 untuk pertama kalinya pemerintah menerbitkan green sukuk melalui lelang seri PBSG001 sebesar Rp 4,4 triliun dari total demand sebesar Rp 11,3 triliun dengan investor yang terdiri dari perbankan dan institusi lainnya. Menariknya, sebanyak 48% dari investor terbesar green sukuk ini berasal dari generasi Milenial, dan diikuti oleh Generasi X dan Baby Boombers. 

Green Sukuk untuk Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca

Fenomena perubahan iklim di dunia semakin meningkat dari tahun ketahun disebabkan adanya pemanasan global sebesar 1,5°C (Intergovermental Panel on Climate Change, 2022). Berdasarkan perubahan iklim tersebut pemerintah Indonesia berkomitmen dalam pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% pada tahun 2020 dan 29% hingga 41% dengan dukungan global pada tahun 2030 (Kementrian Keuangan, 2020). 

Untuk mendukung komitmen ini, pemerintah Indonesia memerlukan alokasi keuangan yang besar untuk kegiatan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global. Berdasarkan dokumen Second Biennial Update Report (2018), estimasi kebutuhan pendanaan untuk mencapai target penurunan emisi pada tahun 2030 mencapai USD 247,2 miliar (sekitar Rp 3,46 triliun) atau sekitar USD 20,6 miliar (sekitar Rp 288,4 triliun) per tahun. Lebih lanjut, beberapa lembaga nasional dan internasional juga telah mengkaji estimasi kebutuhan pendanaan iklim di Indonesia, yang secara umum berada dalam kisaran antara USD 2,8 miliar hingga USD 20,6 miliar per tahun (Kementerian Keuangan, 2020). Dari tahun 2015 hingga tahun 2019, akumulasi pendanaan yang dialokasikan untuk kegiatan pengendalian perubahan iklim dalam dokumen NDC hanya mencapai Rp 776 triliun (USD 55,01 miliar). Oleh karena itu, terdapat kebutuhan tambahan pendanaan sekitar Rp 289 triliun (USD 25,9 miliar) untuk program-program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia guna memenuhi kebutuhan dana tersebut. 

Dalam rangka mengatasi kebutuhan pendanaan tersebut, Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Keuangan, berhasil menerbitkan green sukuk global pertama pada bulan Maret 2018. Penerbitan ini berhasil menarik dana sebesar USD 1,25 miliar dengan jangka waktu SBSN selama lima tahun. Debut penerbitan green sukuk global oleh Pemerintah Indonesia juga mengalami kelebihan permintaan (oversubscribed) hingga 2,5 kali, menandakan adanya permintaan pasar yang besar untuk investasi yang berkelanjutan di Indonesia. Dari total dana penerbitan, sebesar 51% digunakan untuk mendanai kembali (refinancing) proyek hijau nasional tahun 2016, sementara 49% sisanya digunakan untuk pembiayaan (financing) proyek-proyek baru.

Green sukuk adalah pilihan investasi yang mendukung kelestarian lingkungan. Melalui penerbitan green sukuk, terdapat pembangunan proyek-proyek hijau yang berkontribusi untuk menjaga kelestarian lingkungan. Di Indonesia ada lima green sector yang dibiayai melalui Green Sukuk yaitu: transportasi berkelanjutan, energi terbarukan, pengelolaan limbah untuk energi dan lainnya, pertanian berkelanjutan, dan ketahanan terhadap perubahan iklim untuk daerah yang sangat rentan terhadap fenomena tersebut (Kemenkeu 2022). Investasi satu juta di green sukuk seri ST008 dapat membantu mengurangi emisi karbon sekitar 2 ton, setara dengan menanam 200 pohon manggis. Hal ini mengandung makna keberkahan sesuai hadits Riwayat Muslim yang menyatakan bahwa: “menanam tanaman yang memberikan manfaat bagi manusia, binatang, dan burung akan menjadi sedekah bagi pemiliknya hingga hari akhir”. Investasi melalui green sukuk sepenuhnya dialokasikan untuk proyek-proyek hijau yang memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat.

KesimpulanGreen sukuk memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan dan memberikan manfaat signifikan baik di pasar global maupun pasar domestik. Melalui berinvestasi dalam green sukuk, masyarakat dapat berperan secara tidak langsung dalam menjaga kelestarian lingkungan dan menghadapi krisis perubahan iklim di Indonesia. Terbukti dari peningkatan jumlah investor dari tahun ke tahun, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, mengindikasikan kesadaran masyarakat akan pentingnya mengatasi masalah perubahan iklim dan kebutuhan untuk berinvestasi dalam proyek yang ramah lingkungan. Dengan demikian, green sukuk menjadi alat yang efektif dalam mendorong investasi yang berkelanjutan dan membantu mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

sumber: https://www.republika.id/posts/43518/sukuk-hijau-solusi-tekan-emisi-gas-rumah-kaca

Related Posts