Dr. Tony Irawan, Syarifah Amaliah, Herawati, Dea Amanda, dan Siti Riska Ulfah Hidayanti

Indonesia, seperti halnya peer countries di ASEAN, menghadapi sekelumit  megatrend di era globalisasi, transformasi digital, dan pemulihan ekonomi post pandemi yang menciptakan peluang, tantangan, dan juga ketidakpastian. Pendidikan dan pelatihan yang transformatif dan berorientasi masa depan menjadi esensial dalam meningkatkan daya saing dan daya sanding  ASEAN Member States (AMS). Oleh karena itu, hal tersebut menjadi prioritas utama dalam arah kebijakan pembangunan terkait dengan pembentukan kompetensi (competence employability) yang menjadi prakondisi bagi akselerasi pemulihan ekonomi di ASEAN.  Merespons dinamika tersebut, Kementerian Perdagangan berkolaborasi dengan ITAPS FEM IPB, ERIA, ADB Institute dan SMERU Institute menyelenggarakan High Level Policy Dialoque (HLPD) dalam Keketuaan Indonesia di ASEAN pada tahun 2023 dengan mengangkat topik Recovery and Rebuilding: Education and Training Systems for Future Skills.

Learning Loss terkait Pandemi dan Kualitas Sumberdaya Manusia Masa Depan

Pada saat pandemi Covid-19 melanda, banyak negara mengambil kebijakan menutup sekolah. Prof. Jean Grossman dari Princeton University menyoroti bahwa kehilangan waktu pembelajaran memiliki dampak buruk pada kemampuan kognitif dan wellbeing terutama pada siswa di level pendidikan dasar. Hasil studi literatur menunjukkan bahwa penutupan sekolah di kawasan ASEAN selama pandemi berdampak terhadap hilangnya pengetahuan (learning loss) siswa di tingkat ringan sampai dengan moderat. Meskipun demikian kerugian atas fenomena learning loss tetap dirasakan.   

Beberapa hal yang dapat diamati terkait learning loss akibat pandemi adalah: (i) Penutupan sekolah yang semakin lama menyebabkan kerugian yang lebih besar meskipun pengajaran jarak jauh ditawarkan; (ii) Kondisi learning loss akan lebih berdampak buruk pada kemampuan pengetahuan matematika daripada keterampilan membaca, siswa yang sudah tertinggal sebelum pandemi,  siswa  dengan kondisi sosial ekonomi yang lebih rendah, serta siswa yang berusia lebih muda. (iii) Tingkat kehilangan pengetahuan siswa bervariasi  di suatu daerah, di daerah yang sangat miskin hilangnya pengetahuan siswa dapat mencapai 3/4 dari hasil pembelajaran dalam satu tahun, sementara di daerah yang berpenghasilan tinggi hilangnya pengetahuan siswa setara dengan 3/8 dari hasil pembelajaran dalam satu tahun. Kehidupan sehari-hari siswa juga sangat terdampak oleh pandemi Covid-19.  (iv) Banyak siswa yang mengalami stres dan trauma kronis karena pandemi dan perlu dukungan sosial dan emosional untuk kembali belajar.  

Fenomena learning loss tersebut akan berdampak pada terjadinya missing human capital pada jangka panjang. Oleh karena itu, diperlukan langkah kebijakan dengan mempertimbangkan aspek efektivitas dan keterjangkauan (affordability).  Terdapat 3 (tiga) langkah kunci yang dapat dilakukan yakni (i) Mendampingi siswa dalam perkembangan kesehatan mental dan fisik dengan meningkatkan hubungan interpersonal antara pengajar dan siswa; (ii) Mengajar pada level yang tepat sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu (personalisasi). Bentuk pembelajaran berbasis kebutuhan individu dapat berupa tutoring per individu, pengajar memberikan instruksi khusus untuk masing-masing individu, maupun pembelajaran berbasis komputer yang sesuai dengan kurikulum; (iii). Menambah waktu pembelajaran dengan menyelenggarakan program akselerasi, memperpanjang jam pembelajaran ataupun memperpanjang periode belajar dalam satu tahun.

Tantangan Triple Burden of Learning 

Tantangan lainnya yang dihadapi oleh negara ASEAN adalah Triple Burden of Learning. Beban pembelajaran pertama adalah perubahan teknologi. Berdasarkan studi Oxford Economics CISCO (2018) menyatakan terdapat 6,6 juta pekerja di ASEAN-6 berisiko untuk kehilangan pekerjaan di tahun 2028 dikarenakan kurangnya keterampilan terkait informasi dan teknologi (IT), kemampuan komunikasi dan interaksi, serta keterampilan dasar.  Beban belajar kedua adalah penduduk lanjut usia. Saat ini, 50 persen populasi ASEAN berusia di bawah 30 tahun, Meskipun demikian share populasi usia kerja (15-64) sebagai bagian dari total populasi menunjukkan penurunan sejak tahun 2021 sehingga akan berdampak pada produktivitas tenaga kerja dan kemampuan belajar. Beban pembelajaran ketiga adalah perubahan iklim. Perubahan lapangan kerja akibat dekarbonisasi dan transisi ekonomi hijau akan terjadi, Selain itu, dampak variabilitas iklim juga akan mengakibatkan kehilangan jam kerja yang setara dengan 62 juta pekerjaan di tahun 2030. 

Selain menyoroti Triple Burden of Learning, Dr. Maria Monica Wihardja dari ISEAS-Yusof Ishak Institute juga menyampaikan bahwa mayoritas  Negara ASEAN juga memiliki titik awal keterampilan yang rendah. Hal ini ditunjukkan oleh profiling siswa di ASEAN tidak memenuhi potensi mereka dengan baik berdasarkan indikator PISA.  Titik awal yang rendah lainnya adalah Indonesia memiliki tingkat NEET (kelompok pemuda tidak mempunyai pekerjaan, pendidikan, atau pelatihan) tertinggi pada tahun 2021yakni  sebesar 22,45 persen. Sementara di sisi lain, banyak perusahaan mengalami kesulitan menemukan pekerja dengan keterampilan yang tepat, tetapi relatif sedikit perusahaan yang melatih pekerjanya di kawasan ASEAN. Rilis  ASEAN Youth Survey-World Economic Forum di tahun 2019 menunjukkan bahwa 90 persen tenaga kerja Indonesia tidak pernah mengikuti pelatihan karena keterbatasan pendanaan, waktu dan informasi. Lebih lanjut, mayoritas responden menginginkan lebih banyak pelatihan kerja dan magang karena proporsi on-the-job training masih rendah. 

Studi empiris Widjaja et al (2023) yang berjudul The Heterogenous Impacts of Digital Transformation and Investment on Indonesia’s Labour Market turut mengkonfirmasi bahwa intervensi berupa pelatihan bersertifikat dapat berperan dalam mengurangi risiko terjadinya kesenjangan upaha akibat digitalisasi. Pekerja dengan tingkat pendidikan rendah akan memiliki return yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan pekerja yang memiliki tingkat pendidikan yang sama tetapi tanpa pelatihan bersertifikat. Disamping itu, tidak ditemukan adanya perbedaan dampak pelatihan yang signifikan antara pekerja perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Pelatihan bersertifikat juga diprediksi dapat mengurangi skill biased technological change (STBC) terutama di kalangan pekerja dengan usia muda. 

Perlu ada penyelarasan keterampilan sumber daya manusia, terlebih untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 dan menjadikan  Indonesia negara maju,  Pemerintah harus menghadapi tantangan dalam mencocokkan keterampilan tenaga kerja dengan kebutuhan industri. Ini adalah inti dari kebijakan “matching skill” yang esensial untuk mencapai tujuan besar ini. Belum optimalnya kebijakan terkait dengan reskilling dan upskilling ditunjukkan oleh masih terdapat keterbatasan akses terhadap pelatihan keterampilan, infrastruktur pendidikan yang kurang memadai, dan kurangnya sinergi antara dunia pendidikan dan industri. Solusi untuk masalah ini harus dicari dengan sungguh-sungguh karena adaptasi sistem pendidikan dan pelatihan yang cepat menjadi kunci kesuksesan dalam menghadapi perubahan teknologi yang begitu pesat.

Lesson Learned Ekosistem Keterampilan yang Responsif dan Resilien (R&R) ala Singapura

Pandemi Covid-19 menjadi ujian berat bagi sistem pendidikan dan tenaga kerja di banyak negara, termasuk Indonesia. Fenomena berhenti belajar (stop learning) yang dialami oleh pelajar dan mahasiswa harus diperhatikan dengan serius. Selama pandemi, transformasi digital juga terjadi dan berdampak pada kebutuhan atas transformasi keterampilan.  Intervensi kebijakan terkait rapid job search, penguatan, transformasi dan peningkatan keterampilan tenaga kerja (skilling, reskilling and upskilling), serta fasilitasi job matching dan retraining perlu menjadi prioritas. Mengutip Gog Soon Joo, seorang Chief Skills Officer dari SkillsFuture Singapore (SSG) dalam paparan yang disampaikannya pada High Level Policy Dialogue 2023, bahwa semua negara menghadapi guncangan yang masif dan sebagian besar membutuhkan daya lenting untuk beradaptasi dengan cepat, khususnya pada sistem pendidikan dan pelatihan. 

Ia menekankan bahwa membangun ekosistem keterampilan (skills) yang responsif dan resilien (R&R) menjadi sangat penting untuk mengantisipasi kebutuhan masa depan yang ditimbulkan oleh perubahan bisnis, teknologi, dan masyarakat. Sehingga penting bagi pemerintah untuk mendesain pendekatan kolaboratif yang mengakomodasi dimensi Future Economy (Rise of Asia, digital technologies, pervasive innovation, domestic restructuring), Future Work (future jobs and future skills), dan Social Mobility (fair and inclusive society, sustainable wage growth). Terdapat beberapa fase dalam membangun  ekosistem keterampilan (skills) yang responsif dan resilien (R&R) diantaranya fase identifikasi (pemetaan job skills dengan industri dan mitra), fase diseminasi (komunikasi dengan stakeholder mengenai job skills yang diperlukan dan berkualitas untuk mencapai target Continuous Education and Training (CET) yang ditetapkan), fase aktivasi (mobilisasi berbagai pihak dalam meningkatkan keterampilan tenaga kerja), dan fase monitoring (tahap evaluasi dan pengawasan untuk mengukur efektivitas ekosistem keterampilan yang telah dibangun).

Singapura, telah menjadi salah satu contoh sukses dalam membangun ekosistem keterampilan (skills) yang responsif dan resilien (R&R). Beberapa critical success factors dari  Ekosistem Keterampilan R&R agar berfungsi secara baik mencakup:  Prioritas kebijakan, Kepemilikan keterampilan dan skill matching,  Kualitas Lembaga Pelatihan dan Pendidik Dewasa (Adult Learning), Dukungan pendanaan, Kemampuan dan kepercayaan antar pemangku kepentingan,  Investasi riset dan inovasi dalam sistem lifelong learning  agar RnD dapat terjadi dan diterapkan, serta Kemitraan tripartit  di Singapura dimana 3 pilar Continuing Education and Training (CET) di Singapura selalu melibatkan partisipasi aktif dari Penyedia Pelatihan Swasta, Perusahaan, Lembaga Pendidikan tinggi/ Universitas/Politeknik. 

Pelajaran yang bisa dipetik dari keberhasilan Singapura adalah penguatan peran sektor swasta dalam pembangunan keterampilan dan kolaborasi antara sektor publik dan swasta untuk menciptakan sumber daya manusia berkualitas. Pemantauan dan evaluasi yang ketat juga diperlukan untuk mengukur efektivitas kebijakan dan program pendidikan keterampilan. Indonesia telah membangun dan mengimplementasikan  ekosistem keterampilan yang komprehensif dengan adanya Program Kartu Prakerja maupun Transformasi Pendidikan Tinggi maupun Sekolah Vokasi dengan program-program inovatif seperti Program Magang dan Studi Independen Bersertifikat (MSIB) Kampus Merdeka, Kedai Reka Matching Fund, link and match program, praktisi mengajar maupun  project based learning yang diintegrasikan ke dalam kurikulum Satu hal yang perlu diperhatikan adalah peningkatan skalabilitas dari program mengingat bahwa sistem pendidikan di Indonesia mempunyai size yang besar dengan kondisi entitas yang beragam. 

Arah Kebijakan Future Skills

Penguatan Future Skills di Indonesia memerlukan kerjasama yang kuat antara pemerintah, lembaga pendidikan, dunia industri, dan masyarakat. Dengan mengadopsi pendekatan yang terintegrasi dan responsif terhadap perubahan teknologi, Indonesia dapat mencocokkan keterampilan tenaga kerjanya dengan kebutuhan masa depan. Dengan demikian, Indonesia akan lebih siap menghadapi tantangan era globalisasi dan revolusi industri 4.0, mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 sebagai negara maju dan berkepribadian, sekaligus mendukung strategic thrust ASEAN terkait Recovery dan Rebuilding dalam Keketuaan ASEAN 2023.  

Upaya kolektif terkait arah kebijakan future skills di ASEAN telah tertuang dalam ASEAN  Declaration  on Human Resources Development for a Changing World of Work. Deklarasi ini bertujuan  untuk: (i) mempromosikan keterampilan dan literasi digital serta keterampilan abad ke-21 dalam pendidikan dasar, TVET, dan pendidikan tinggi, dan ii) mengadakan pelatihan  dan peningkatan keterampilan digital dan menciptakan peluang kerja. Strategi lainnya yang dapat  dilakukan untuk meningkatkan kualitas  dan skala ekosistem keterampilan adalah relaksasi restriksi perdagangan jasa pendukung ekosistem keterampilan di kawasan ASEAN.  Promosi talent mobility di kawasan ASEAN melalui kerjasama perdagangan jasa Movement of Natural Persons diperlukan. Oleh karena itu, diperlukan lebih banyak Mutual Recognition Agreement (MRAs) terkait profesi keterampilan dan kualifikasi.  Mode of supply lainnya termasuk commercial presence (FDI) juga dapat diakselerasi untuk memperluas diseminasi know how, meningkatkan spillover effect, dan meningkatkan kualitas delivery jasa  yang ditawarkan.  

Sumber: https://republika.id/posts/44054/mengembangkan-ekosistem-keterampilan-berbasis-future-skills-di-asean

Related Posts