OLEH Iyan Izazi Huwaina (Mahasiswa Program Magister Sains Agribisnis IPB), Dr Lukman M Baga (Staf Pengajar Departemen Agribisnis FEM IPB), Dr Wahyu Budi Priatna (Staf Pengajar Departemen Agribisnis FEM IPB) 

Indonesia sejak Maret 2020 menghadapi krisis Covid-19. Ini merupakan tantangan serius bagi usaha agribisnis, khususnya usaha peternakan ayam petelur. Pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan mobilisasi untuk mengatasi penyebaran Covid-19 yang menghambat proses distribusi usaha agribisnis peternakan ayam petelur, khususnya bagi pelaku usaha dengan skala kecil.

Telur merupakan produk hasil peternakan dengan masa simpan singkat, sehingga kegiatan pemasaran menjadi kunci dalam rangkaian agribisnis ayam petelur. Kabupaten Blitar, yang menjadi wilayah penelitian ini, merupakan salah satu daerah penyuplai telur terbesar di Indonesia.  Kabupaten Blitar harus menjual 95 persen produksi telurnya ke luar daerah (Kepala Bidang Budidaya Peternakan Kabupaten Blitar 2022). Terhambatnya kegiatan pemasaran menyebabkan efek berantai ke subsistem lainnya seperti terjadinya ketimpangan antara supply dan demand (Armelia et al. 2020) dan membengkaknya biaya operasional (Nisak dan Nurohman 2021). 

Secara konseptual, usaha agribisnis peternakan merupakan suatu sistem yang mencakup aktivitas mulai dari penyediaan sarana produksi peternakan, budidaya peternakan, penanganan pascapanen, hingga pemasaran (Suharno 2012). Rangkaian kegiatan tersebut memiliki tingkat ketergantungan tinggi antara satu dengan yang lainnya. Permasalahan yang dihadapi salah satu subsistem akan berpengaruh pada subsistem lainnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan identifikasi risiko sekaligus merumuskan langkah mitigasi yang diperlukan.

Identifikasi  Risiko Agribisnis Peternakan Ayam Petelur

Identifikasi risiko adalah tahap awal dalam menentukan keberhasilan pengelolaan risiko. Para peternak harus memahami sumber-sumber risiko. Paling tidak terdapat lima jenis risiko umum dalam bidang pertanian yaitu risiko produksi, risiko pasar, risiko kelembagaan, risiko personal, dan risiko keuangan Komarek et al. (2020). Kelima jenis resiko ini dihadapi peternak pada saat krisis berlangsung.

1. Risiko Produksi

Kegiatan produksi – dikenal dengan aktivitas budidaya – memiliki risiko usaha paling tinggi. Resiko produksi yang dihadapi peternak terkait dengan faktor ketersediaan bibit, pakan, dan manajemen produksi yang masih sederhana dan tradisional. Saat terjadi krisis pandemi, industri hulu peternakan tidak luput dari dampak negatif. Pasar input yang berstruktur oligopoli menyebabkan pembentukan harga yang merugikan para peternak. Berdasarkan penelitian di lapang menunjukkan harga pakan pabrikan yang meningkat – jika dihitung sebagai pakan siap konsumsi – berkisar Rp5.600,00 hingga Rp7.000,00 per kg. Harga tersebut relatif tinggi bagi peternak karena harga normal adalah Rp5.000,00. Kenaikan harga pakan saat krisis selaras dengan temuan Harmen (2020) dan Kominfo Jatim (2021). 

2. Risiko Pasar

Risiko pasar utamanya fokus pada ketidakpastian harga, biaya, dan akses pasar. Harga sangat dipengaruhi oleh perubahan harga input. Risiko pasar biasanya muncul saat kegiatan usaha sedang berjalan. Jelas terlihat, krisis menimbulkan risiko pasar karena keadaan supply dan demand menjadi terganggu. 

Hasil penelitian menunjukkan biaya produksi yang dikeluarkan peternak lebih tinggi dibandingkan harga jual telur (Gambar 1).  Pada bulan September 2021 harga telur kurang dari Rp16.000,00 per kg. Ditjen PKH (2021) juga menyebutkan harga telur ayam ras Pulau Jawa di tingkat peternak sebesar Rp14.500,00 hingga Rp16.000,00 per kg. Harga tersebut berada jauh di bawah batas acuan harga terendah dari pemerintah yaitu Rp19.000,00. 

Gambar 1 Harga telur di pasar produsen Kabupaten Blitar tahun 2019-2022 (PIHPS  Nasional 2022)

Banyak peternak yang tidak mampu melanjutkan usaha karena tidak bisa bertahan dari kerugian. Di Kabupaten Blitar terjadi penurunan jumlah peternak sebesar 130 orang antara tahun 2015-2021. Salah satu pemicunya adalah adanya krisis, di samping adanya faktor lain. Hasil penelitian menemukan 18 dari 20 peternak mengalami kerugian.

3. Risiko Kelembagaan

Risiko kelembagaan berhubungan dengan perubahan kebijakan dan peraturan yang memengaruhi subsektor peternakan. Aktivitas yang dapat terganggu adalah proses produksi, distribusi, serta harga input dan output. Kebijakan juga berdampak pada fluktuasi harga.

Kebijakan pembatasan sosial saat krisis berdampak negatif bagi subsektor peternakan, dimana menghambat proses pendistribusian telur atau hasil peternakan lainnya, terutama yang tujuan pasarnya ke luar daerah. 

Di sisi lain, saat krisis terdapat aturan Cutting Hatching Egg yang dikeluarkan oleh Kementan sebagai intervensi untuk pengendalian oversupply/overstock. Sayangnya, aturan ini berjalan kurang baik (Idris 2020). Hal ini  berdampak pada menurunnya harga telur sehingga peternak mengalami penurunan pendapatan. 

4. Risiko Personal

Risiko personal adalah risiko yang terjadi pada setiap individu. Risiko ini berpengaruh terhadap kemampuan seseorang mendapatkan penghasilannya. Beberapa sumber risiko personal bisa berasal dari kerusakan alat dan mesin pertanian, kematian atau sakitnya anggota keluarga, dampak negatif kesehatan dari penggunaan bahan kimia pertanian, serta penyakit menular antara hewan ternak dan manusia. Krisis yang terjadi memiliki tingkat penyebaran sangat tinggi. Para peternak dan keluarganya memiliki peluang untuk terjangkit penyakit Covid-19.  

5. Risiko Keuangan

Para peternak skala kecil harus mengelola keuangan secara mandiri mulai dari modal, biaya proses produksi, hingga biaya pemasaran. Cara mengelola keuangan yang belum profesional mengakibatkan arus kas buruk dan akses ke lembaga pembiayaan menjadi semakin sulit. Adanya krisis menyebabkan risiko keuangan menjadi semakin besar.

Mitigasi Risiko Agribisnis Peternakan Ayam Petelur

Pandemi Covid-19 berdampak besar bagi subsektor peternakan. Lebih luas lagi, dampak krisis hingga ke perekonomian domestik. Armelia et al. (2020) menyatakan bahwa konsumsi dan daya beli masyarakat menjadi menurun, kinerja perusahaan menurun, serta sektor perbankan dan keuangan terancam. Dampak yang dialami di subsektor peternakan diantaranya rantai pasokan terganggu dan terjadi ketimpangan antara supply-demand.

Krisis mendorong peternak meningkatkan kapasitas diri untuk memitigasi risiko. Cara yang bisa dilakukan adalah melakukan diversifikasi usaha, dan mengembangkan sistem pemasaran telur secara digital kepada konsumen.

1. Diversifikasi Usaha

Diversifikasi usaha memiliki dampak positif yaitu meningkatkan pendapatan peternak dan mengurangi risiko terkait dengan fluktuasi harga. Diversifikasi usaha peternakan, dapat berupa mengalokasikan lahan dan sumberdaya peternak untuk membudidayakan ternak dengan berbagai jenis hewan atau mengintegrasikan dengan berbagai tanaman. Dengan demikian, peternak dapat mengoptimalkan potensi yang dimiliki dan memanfaatkan peluang pasar yang berbeda.

2. Pemasaran Digital

Pemasaran digital memiliki keunggulan dalam hal biaya yang lebih rendah dibandingkan pemasaran konvensional. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap harga jual yang lebih kompetitif, khususnya jika dilakukan secara kolektif dalam kelompok atau koperasi peternak. Akses yang mudah dan praktis diharapkan mampu menarik lebih banyak konsumen dan pelanggan.

Penutup

Kesimpulan yang bisa diambil adalah krisis Covid-19 sangat berdampak hingga ke seluruh sektor. Kondisi ini menyebabkan banyak ketidakpastian dan menimbulkan risiko bagi usaha peternakan ayam petelur. Di tahun 2023, keterpurukan tersebut telah berlalu dan mereda. Untuk itu, peningkatan kemampuan mitigasi risiko usaha yang baik oleh para peternak menjadi sangat penting.

Related Posts