OLEH Rahmat Yanuar (Dosen Departemen Agribisnis, Peneliti CIBEST IPB)
Anisa Dwi Utami (Dosen Departemen Agribisnis, Peneliti CIBEST IPB)
Busaid (Peneliti CIBEST)

Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) merupakan salah satu jenis bank dalam struktur bank syariah sesuai dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah selain Bank Umum Syariah. Dalam kajian Roadmap Pengembangan Industri BPR dan BPRS yang dilakukan oleh OJK, memperlihatkan jika industry BPR dan BPRS merupakan lembaga jasa keuangan yang memiliki peran untuk melayani masyarakat khususnya kepada segmen mikro dan kecil. Secara umum data dari OJK memperlihatkan bahwa 55.71 % (sebesar 7.18 Triliun) dari total pembiayaan disalurkan untuk kegiatan produktif. Selain itu sebesar 53.30% (sebesar 6.87%) dari total pembiayaan disalurkan untuk segmen UMKM. 

Walaupun proporsi pembiayaan yang cukup besar untuk kegiatan produktif dan segmen UMKM ini, namun secara pangsa pasar, keberadaan BPRS ini masihlah tergolong kecil, sehingga masih menjadi pertanyaan bagaimana dapat meningkatkan peran dalam pembiayaan di segmen UMKM. Berdasarkan data dari OJK, untuk industry BPR dan BPRS saja, pangsa pasar BPRS baru sekitar 9.22% (dari sekitar Total 165 BPRS di seluruh Indonesia). Sedangkan klo dibandingkan dengan pangsa pasar keuangan syariah (Bank Umum Syariah/BUS), maka BPRS hanya berkontribus sekitar 2-3%. Artinya BPRS masih memiliki tantangan cukup besar untuk dapat bermain di pembiayaan UMKM dimana memiliki pesaing baik dari BUS ataupun Lembaga Keuangan Mikro Syariah seperti Baitul maal wat tamwil BMT) dan Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayan Syariah (KPSP). Selain itu pada pemain non syariah, persaingan untuk memperebutkan pagsa pasar segmen UMKM ini juga cukup ketat. Karenanya untuk meningkatkan peran dalam pembiayaan UMKM, BPRS menghadapi kendala dalam perluasan pangsa pasar mengharuskan dirinya untuk bertransformasi agar memiliki daya saing menghadapi persaingan terutama di segmen UMKM.

Sebenarnya secara kinerja, keberadaan BPRS dapat dianggap sudah baik. Hal ini jika dilihat dari pertumbuhan total asset dimana pada periode 2015-2021 mencapai angka pertumbuhan yang cukup tinggi yaitu 98.31% dengan nilai Asetnya meningkat dari 7.7 Triliun menjadi 17.18 Triliun. Jumlah absolut asset ini memang kecil jika dibandingkan dengan nilai Aset BPR pada tahun 2021 yang mencapai sekitar 159 Triliun. Namun angka pertumbuhan Aset BPRS ini lebih tinggi dibandingkan BPR dengan pertumbuhan Aset BPR yang sekitar 56.43%. Selain itu terkait pembiayaan bermasalah pada BPRS juga masih terjaga, hal ini dapat dilihat dari rata-rata nilai Non-Performing Financing (NPF) gross selama tahun 2015-2020 sebesar 8,35% per tahun dengan NPF Net sebesar 6,87% per tahun. Pada Juni 2021, NPF BPRS ini juga masih mengalami peningkatan dengan NPF gross sebesar 8,21% dan NPF net sebesar 6,79%. Sedangkan Profitabilitas dari BPRS juga masih mencatatkan laba positif meskipun mengalami penurunan. Rata-rata rasio ROA dalam kurun waktu 5 tahun yaitu sejak 2015 hingga tahun 2020, tercatat sebesar 2,25% per tahun.

Dengan kinerja yang bisa dikatakan baik tersebut, namun BPRS masih memiliki banyak persoalan dalam operasionalisasinya terutama jika ingin lebih berperan dalam pembiayaan UMKM. Hasil wawancara peneliti CIBEST IPB dengan pihak pengurus Kompartemen BPR Syariah Asbisindo menyebutkan beberapa hal yang menjadi masalah dalam pengembangan BPRS seperti masih kurang jelasnya model bisnis yang dipraktekkan oleh sebagian besar BPRS. BPRS belum memperkuat nilai-nilai syaraiah sebagai core value-nya dan penegasan terhadap segmen pasarnya. Selain itu, ekspansi yang dilakukan oleh BPRS cenderung meniru bank/BPRS lain tanpa mempelajari lebih mendalam mengenai prospek jangka menengah dan jangka panjang serta risiko yang akan dihadapi. Walaupun data OJK sudah menunjukkan pembiayaan BPRS untuk segmen UMKM memiliki proporsi yang cukup besar, namun sebagian besar BPRS masih melakukan pemilihan portofolio Pembiayaan yang Beresiko Tinggi. Hal ini terlihat dengan pembiayaan pada segmen  pegawai/nasabah berpendapatan tetap yang tidak didukung pengendalian risiko yang memadai. Selain itu, dalam era digital saat ini, teknologi informasi yang digunakan oleh BPRS baru sebatas kebutuhan dasar perbankan untuk bertransaksi yaitu berupa Core Banking Sistem (CBS). Teknologi IT yang berkembang saat ini belum dimanfaatkan untuk memberikan layanan dan akses yang lebih jauh kepada nasabah, terutaman UMKM.

Dengan melihat potensi dan permasalahan yang dialami oleh BPRS, maka untuk dapat menguatkan perannya dalam pembiayaan UMKM, maka BPRS perlu memperhatikan berapa hal berikut : 

Pertama, BPRS dapat melakukan re-branding BPRS sebagai Lembaga Keuangan Syariah (LKS), yang mudah dan murah. Re-branding BPRS sebagai LKS “syariah, mudah dan murah” merupakan strategi yang tepat seiring dengan ekosistem ekonomi syariah nasional yang terus mengalami perkembangan. Saat ini, prinsip syariah justru menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Indonesia yang sebagian besar beragama Islam. Jumlah UMKM yang besar dan terus meningkat juga menjadikan tagline ”mudah dan murah” ini menjadi sangat tepat guna menjangkau pasar menengah ke bawah yang menjadi salah satu segmen pasar yang dituju oleh industri BPRS.

Kedua, BPRS perlu meningkatkan penetrasi pasar UMKM dengan cara kolaborasi dengan lembaga keuangan syariah (LKS) lainnya.  Kolaborasi ini merupakan langkah yang tepat untuk menjangkau dan memperbesar peran BPRS dalam pembiayaan UMKM. Pemerintah yang terus menciptakan program guna mendorong industri UMKM menjadikan jumlah UMKM di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Sehingga pengelolaan dan pembiayaan BPRS yang berbasis syariah dengan akad produk dan layanan pembiayaan yang bervariasi ini memudahkan pelaku UMKM dapat memilih jenis akad atau pembiayaan yang sesuai.

Ketiga, BPRS dapat melakukan upaya pengembangan pasar nasabah berbasis komunitas. Pendekatan dianggap tepat dalam pengembangan pasar nasabah BPRS, karena banyak komunitas potensial yang belum tergarap seperti komunitas pedagang, komunitas pengusaha muda, komunitas UMKM, dan lain-lain. Dengan masuknya BPRS ke dalam komunitas-komunitas tertentu, nasabah yang satu akan menjadi stimulan bagi calon nasabah lainnya yang mana akan lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan melakukan pendekatan pada calon nasabah satu per satu.

Keempat, untuk meningkatkan transformasi BPRS menghadapi era digital, maka perlu menyusun platform digital bersama BPRS. Digitalisasi yang kini menjadi kebutuhan akan membuat industri BPRS ini akan tertinggal jika tidak mengikuti perkembangannya. Masyarakat saat ini membutuhkan kemudahan dan kecepatan transaksi, sehingga industri BPRS harus memiliki platform digital yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut agar dapat bertahan dan berkompetisi dengan lembaga keuangan lainnya. Selain itu dengan keterbatasan permodalan dalam mengembangkan IT, maka kolaborasi dengan fintech landing syariah juga dapat menjadi alternatif dalam merespon ekosistem keuangan lokal dan global yang terjadi saat ini.

Terakhir, BPRS harus terus berinovasi baik menghasilkan produk dan layanan pembiayaan syariah. Dalam menghadapi persaingan usaha dengan lembaga keuangan lain, para praktisi BPRS harus kreatif dan inovatif dalam pengembangan produk serta layanannya. Pengelolaan dan pembiayaan BPRS yang berbasis syariah sebenarnya menjadi keunggulan tersendiri dikarenakan dapat dikembangkan menjadi akad produk dan layanan pembiayaan yang bervariasi. Value syariah yang dimiliki menjadikan produk BPRS berbeda dengan produk dari lembaga keuangan lain. Keberadaan BPRS tetap diperlukan karena karakteristiknya yang lebih lincah (agile) dan mampu membuka akses terhadap kelompok-kelompok di dalam masyarakat yang membutuhkan pembiayaan di berbagai wilayah yang tidak tergarap oleh Bank-bank atau lembaga keuangan lainnya. Karena itu BPRS perlu menegaskan jati dirinya sebagai lembaga keuangan dengan core value syariah untuk pembiayaan pada segmen UMKM. Dengan ketegasan tesebut, kemudian dapat diekspresikan dalam model bisnis yang dijalankan dengan bertransformasi menghadapi perubahan ekosistem teknologi digital yang terjadi saat ini. Hal ini diharapkan berdampak dalam memperkuat peran BPRS untuk pembiayaan pada segmen UMKM. Tentu saja, dukungan regulasi dari pemerintah juga diperlukan dalam upaya penguatan ini.

Related Posts