OLEH Farida Ratna Dewi (Peneliti ITAPS, FEM IPB dan Mahasiswa Program Doktor Agribisnis FEM IPB)

Penyebab inflasi di Indonesia dapat dikelompokkan pada beberapa faktor, salah satunya adalah inflasi pada komponen bergejolak atau volatile food. Inflasi ini dominan dipengaruhi oleh shock dalam kelompok bahan makanan seperti gagal panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun komoditas pangan internasional.  Bawang merah merupakan salah satu dari 12 bahan pangan strategis yang dapat menyebabkan inflasi (volatile food). Hal ini memberi sinyal bahwa ketersediaan, jumlah produksi, dan jumlah konsumsi menjadi perhatian pemerintah sebagai pengambil kebijakan. 

Turunnya harga bawang merah di sentra produksi terbesar Kabupaten Brebes Jawa Tengah sudah menjadi permasalahan yang berulang ketika terjadi kelebihan pasokan (panen raya). Fluktuasi harga bawang merah yang terjadi disebabkan oleh lemahnya kelembagaan petani, inefisiensi struktur pasar, ketidaklancaran produksi, dukungan infrastruktur yang kurang, serta kebijakan pemerintah (Bank Indonesia, 2017). Adapun faktor lainnya adalah faktor cuaca, produk mudah rusak, faktor penentuan harga, serta faktor produksi yang kurang efektif dan efisien (Solekha et al. 2020). Selain itu ternyata tingkat konsumsi bawang merah lebih sedikit dibandingkan dengan tingkat produksinya walaupun bukan pada saat panen raya.

Beberapa permasalahan lain dihadapi dalam sistem agribisnis bawang merah. Rosyadi et al (2015), menyebutkan bahwa usahatani bawang merah di Kabupaten Brebes tidak memberikan keuntungan yang signifikan terhadap ekonomi petani dan tidak efisien serta kurang berkelanjutan. Hal ini dikaitkan dengan pola budidaya yang dilakukan oleh para petani yang seringkali tidak sesuai dengan Good Agricultural Practices (GAP) seperti pemakaian pupuk kimia yang berlebihan sehingga menyebabkan kesuburan tanah menurun, lahan tidak diistirahatkan terlebih dahulu setelah panen namun langsung diolah dan ditanami kembali.  Adapun beberapa atribut yang sensitif terhadap keberlanjutan usahatani bawang merah meliputi pengendalian hama dan penyakit terpadu, akses pemasaran bawang merah, konflik terkait usahatani, peran tengkulak dalam pengumpulan hasil panen, dan penggunaan umbi yang berkualitas dan bersertifikat (Susilawati et.al 2019; Parmawati et al. 2021). 

Berdasarkan kondisi tersebut, maka perlu dilakukan proses hilirisasi untuk dapat mengatasi sifat-sifat dari produk bawang merah yaitu mudah busuk, musiman, memiliki pola tanam yang tidak konsisten, dan harga yang cenderung turun (Kustiari 2017; Parmawati et al. 2021). Sebagaimana diketahui bahwa bawang merah dihasilkan hampir di semua provinsi di Indonesia dimana pada tahun 2022 total produksi mencapai 1.982.360 ton (BPS, 2023). Provinsi Jawa Tengah memberikan kontribusi terbesar (28,07%) dari total produksi nasional, dengan Kabupaten Brebes sebagai ikon sentra penghasil bawang merah. Program hilirisasi bawang merah menjadi salah satu prioritas nasional untuk ketahanan pangan, peningkatan produktivitas dan kesejahteraaan petani.

Permasalahan kelebihan pasokan dan kelembagaan menjadi krusial dilakukannya pembenahan dalam sistem agribisnis bawang merah. Sebagaimana kita ketahui bahwa agribisnis sebagai sebuah sistem memiliki 4 subsistem (Davis and Goldberg dalam Krisnamurti, 2020) yaitu (1) subsistem hulu sebagai penyedia input, dalam komoditas bawang merah petani seringkali menggunakan bibit dari hasil panen yang didormansi selama 2-3 bulan, sedangkan input lain berasal dari pemasok, (2) subsistem on farm yaitu budidaya bawang merah, (3) subsistem hilir, hal ini dapat dilakukan oleh kelompok tani maupun industri pengolahan dan horeka, dan (4) subsistem jasa layanan pendukung, seperti lembaga keuangan dan pembiayaan, transportasi, penyuluhan dan layanan informasi agribisnis, penelitian dan pengembangan, kebijakan pemerintah, dan asuransi agribisnis. Maka sistem agribisnis bawang merah jika diterapkan sebagian oleh petani yang merupakan wiratani akan dapat menyelesaikan permasalahan kelebihan pasokan dan kelembagaan

Kementerian Pertanian melalui Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 18/Permentan/RC.040/4/2018 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian Berbasis Korporasi Petani dapat memberikan alternatif solusi pengembangan sektor pertanian yang berdaya saing (competitive advantage). Parameter dari korporasi petani adalah peningkatan pendapatan riil rumah tangga petani, skala usaha tani, margin petani, diferensiasi dan hilirisasi produk.  Jika menilik definisi korporatisasi tersebut maka merupakan implementasi dari sistem agribisnis. Pembentukan kelembagaan petani menjadi kelembagaan korporasi petani dibentuk berdasarkan 5 elemen utama (Gambar 1) yaitu konsolidasi petani, fasilitas infrastsruktur publik, sarana pertanian modern, mitra industri pengolahan dan perdagangan modern, serta permodalan dan asuransi. Kelima aspek tersebut merupakan proses yang selalu berkesinambungan untuk dapat mencapai optimalisasi program korporatisasi petani.  

Diagram

Description automatically generated

Gambar 1. Elemen Utama Korporatisasi Petani

Sumber: Permentan RI Nomor 18/2018

Dalam Permentan tersebut disebutkan bahwa konsep korporatisasi mengedepankan proses transformasi dan bisnis berkelompok dengan memasukkan teknologi ke dalam proses produksi sampai pasca panen agar terjadi efisiensi biaya dan peningkatan produktivitas. Bisnis berkelompok diharapkan terjadi transfer knowledge, pembagian hak dan tanggung jawab dalam rantai nilai, kesejahteraan bersama, peningkatan nilai tambah dari produk yang dihasilkan, kemudahan akses kepada lembaga keuangan, dan peningkatan variasi dari produk yang dihasilkan. Dengan mengusung konsep korporatisasi tersebut diharapkan dapat menanggulangi over supply bawang merah di Kabupaten Brebes.   

Salah satu praktik terbaik korporatisasi petani dimana terjadi proses perubahan kelembagaan dan hilirisasi adalah Badan Usaha Milik Petani (BUMP) PT Sinergi Brebes Inovatif (PT.SBI) yang berada di Desa Sidamulya, Kecamatan Wanasari, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah dapat menjadi contoh praktik baik hilirisasi dan kelembagaan komoditas bawang merah, sekaligus memberikan bukti kekuatan sinergi dari stakeholder. PT SBI didirikan oleh Kelompok Tani Sidomakmur dimana terdapat anggota yang merupakan generasi milenial yang akhirnya dapat menggerakkan organisasi ini lebih gesit, mengenal digitalisasi serta hilirisasi bawang merah. Pendirian BUMP ini menjadi praktik bagi petani bawang merah untuk memiliki saham (prosentase saham terbesar adalah dimiliki oleh petani anggota), sehingga petani dapat merasakan memiliki sebuah perusahaan dan mendapatkan deviden setiap akhir tahun. Proses pendirian dan pengembangan PT SBI ini juga tidak terlepas dari sinergi stakeholder terutama Kementerian, lembaga dan swasta yaitu Bank Indonesia dalam hal ini diwakili oleh KPW Tegal, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi dan UKM, Pemerintah Daerah, dan PT PLN.

Bank Indonesia melalui Program Sosial Bank Indonesia (PSBI) telah memberikan fasilitasi dalam bentuk penguatan sisi hulu (subsistem hulu) dengan membangun learning centre bawang merah, pelatihan dan pendampingan dengan kolaborasi bersama Kementerian Pertanian (2016). Sedangkan pada subsistem on farm fasilitasi penggunaan benih unggul TSS (True Shallot Seed) untuk meningkatkan produktivitas. Pada subsistem hilir (termasuk pasca panen) maka bersama Kementerian Pertanian memfasilitasi teknologi penyimpanan (teknologi in store drying dan CAS/Controlled Atmosphere Storage) untuk meningkatkan daya tahan bahan baku yang tergolong perishable good dan fasilitasi mesin pembuat pasta bawang merah serta mesin pembuat bawang merah crispy. Fasilitasi berikutnya adalah pada aspek pemasaran dan akses kepada lembaga keuangan karena usaha semakin berkembang. PT SBI mulai diikutkan dalam pameran nasional dan internasional, sehingga pada tahun 2020 produk yang dihasilkan sudah mulai memasuki pasar internasional (Saudi dan Chicago). BUMP mulai menjangkau pasar online untuk memperluas pasar dan end user lebih banyak lagi. Berkaitan dengan sudah semakin bervariasinya produk hasil hilirisasi bawang merah di tahun 2021 difokuskan pada perluasan pasar, yaitu dengan melakukan pendampingan ekspor, perluasan pasar online dan pasar retail.  Petani diperkenalkan dengan pasar ekspor untuk produk segar bawang merah dan produk hilirisasi bawang merah ke beberapa negara seperti Singapura, Vietnam,Saudi, dan beberapa negara Timur Tengah lainnya. Selain itu pasar online dengan bekerjasama dengan beberapa marketplace produk pertanian seperti sayur box, Happyfresh, Segari, dan TaniHub. Pasar ritel juga dikembangkan untuk memperluas dan mendekatkan konsumen pada produk yang dibutuhkan terutama di perumahan-perumahan.

PT PLN dalam hal ini memberikan fasilitasi untuk akses energi dengan penggunaan listrik (dimana sebelum PT SBI ini didirikan, wilayah tersebut belum teraliri listrik). Dengan program CSR PT PLN maka PT SBI dapat mengoperasikan proses hilirisasi bawang merah dengan menggunakan energi listrik salah satunya, karena beberapa mesin produksi yang dipergunakan menggunakan bahan bakar. Pemerintah Daerah Kabupaten Brebes mendukung sepenuhnya pada pengembangan kelompok tani untuk dapat lebih berkembang dengan menjadi BUMP seperti PT SBI ini. Maka dengan sinergi antar stakeholder, sebuah kelembagaan petani dapat menjadi pemantik kemajuan petani sehingga terjadi peningkatan kesejahteraan petani. 

Selain itu, dalam wadah kelembagaan ini dimana para petani anggota mampu berbagi peran sehingga kemajuan bersama dapat diraih. Petani milenial yang memiliki literasi digital yang baik dapat meningkatkan produktivitas BUMP dengan menghasilkan produk segar yang berkualitas dengan melakukan penggunaan bibit unggul serta sortasi hasil produknya. Selain itu dengan proses penggunaan teknologi dalam pengolahan produk asal pertanian menjadi produk bernilai tambah tinggi serta memiliki umur manfaat lebih panjang.

Related Posts