OLEH Dr Mohammad Iqbal Irfany (Dosen Departemen Ilmu Ekonomi Syariah FEM IPB), Dr Aam Slamet Rusydiana (Peneliti Shariah Economics Applied Research and Training (SMART) Indonesia)

Industri halal terus berkembang pesat seiring dengan pertumbuhan populasi Muslim dunia. Industri halal berlandaskan pada kepatuhan terhadap syariah berimplikasi pada nilai-nilai, integritas, dan kepercayaan yang memengaruhi aspek kehidupan seorang Muslim (Vanany et al, 2019).

Saat ini, produk-produk industri halal, khususnya industri makanan semakin populer di kalangan konsumen global. Hal ini disebabkan banyak bukti empiris yang menunjukkan bahwa produk halal lebih sehat, aman dan berkualitas tinggi. Selain itu, di semua aktivitas rantai pasok industri halal, tidak ditoleransi zat dan aktivitas yang bertentangan dengan ketentuan syariah (Azmi et al, 2019).

Di Indonesia, meningkatnya kesadaran keislaman juga berdampak pada peningkatan concern konsumen Muslim terhadap produk industri halal. Dorongan dari sisi konsumsi ini mau tidak mau menciptakan gelombang baru dalam dunia usaha.

Indonesia menduduki peringkat pertama dalam daftar konsumen produk makanan halal

Menurut Laporan State of the Global Islamic Economy 2022, Indonesia menduduki peringkat pertama dalam daftar konsumen produk makanan halal (halal food). Dari sisi produksi, Indonesia belum mampu memaksimalkan potensi pasar tersebut. Hal ini terlihat dari peringkat Indonesia yang hanya berada di urutan ke-10 produsen makanan halal dunia (Mubarok & Imam, 2020).

Pemahaman terhadap makna dan urgensi halal merupakan salah satu faktor yang memengaruhi perilaku konsumen dan niat membeli mereka. Oleh karena itu, peningkatan pengetahuan dan pendidikan tentang halal perlu dilakukan (Billah et al, 2020)

Dalam mendukung pengembangan industri halal, diperlukan integrasi agar dapat menghasilkan output yang lebih baik. Namun, masih terdapat beberapa tantangan yang perlu dipecahkan guna mencapai pengembangan industri halal yang terintegrasi.

Berikut adalah beberapa aspek dan permasalahan yang masih menjadi tantangan untuk dipecahkan guna mencapai pengembangan industri halal terintegrasi di Indonesia:

  • Regulasi dan kebijakan: regulasi dan kebijakan yang responsif, implementasinya yang efektif, dan sinkronisasi antar regulasi.
  • Sumber daya manusia: pengetahuan, kompetensi, dan perilaku sumber daya manusia.
  • Pembangunan kelembagaan: dukungan kelembagaan, sinergi halal, pelaku bisnis dan keuangan syariah, dan forum pemangku kepentingan.
  • Pelayanan dan teknologi informasi: aksesibilitas, jaringan, dan transformasi digital.
  • Isu syariah: produk dan layanan halal, return kompetitif, dan sumber dana halal.
  • Kesadaran masyarakat: edukasi, kepercayaan, dan sosialisasi.

Tulisan ini akan mengulas temuan analisis penelitian urutan tantangan pengembangan industri halal terintegrasi di Indonesia. Kajian diperoleh berdasarkan hasil penelitian Metode Delphi dengan memanfaatkan data yang diperoleh dari wawancara terhadap 11 orang ahli yang terdiri atas akademisi, praktisi, dan regulator di bidang industri halal dan ekonomi syariah secara umum.

Hasil pertama urutan variabel terpenting dalam permasalahan industri halal terintegrasi di Indonesia adalah regulasi dan kebijakan dengan nilai rata-rata sebesar 8,05 dengan evaluasi konvergen-konvergen menurut para ahli. 
Variabel regulasi dan kebijakan ini sangat penting mengingat penerapan pada setiap industri halal memerlukan landasan aturan yang tepat agar dapat diterapkan tanpa bertentangan dengan norma syariah (Hasan & Muslimin, 2019).

Variabel terpenting dalam permasalahan industri halal terintegrasi di Indonesia adalah regulasi dan kebijakan

Selain itu, keberadaan regulasi dapat mencakup industri halal dari sudut pandang hukum dan memfasilitasi sosialisasi yang lebih intensif dan integrasi yang lebih baik (Djatmiko, 2019).

Persoalan yang paling diprioritaskan pada subkriteria regulasi dan kebijakan adalah penerapannya dengan nilai rata-rata 8,04 dengan evaluasi konvergen-konvergen menurut para ahli. Penerapan regulasi dan kebijakan perlu mendapat perhatian khusus karena aturan ini mempunyai kewenangan mengatur bagaimana penerapan industri halal terintegrasi di lapangan (Ab Rashid & Bojei, 2019).

Penerapan ini juga memerlukan pengawasan dari regulator agar perkembangan dampaknya terhadap industri halal dapat diketahui secara langsung (Sodikin, 2020).

Urutan kedua permasalahan terpenting dalam pembangunan industri halal terintegrasi di Indonesia adalah teknologi informasi dan pelayanan, dengan nilai rata-rata 7,99 dan evaluasi konvergen-konvergen menurut para ahli. Pesatnya perkembangan teknologi tentunya memberikan peluang yang lebih besar bagi industri halal untuk dimanfaatkan, hal ini terlihat dari sentimen positif masyarakat dunia terhadap perkembangan industri halal di media sosial (Ainin et al, 2020).

Selain itu, pemanfaatan pelayanan dan teknologi yang baik pada mesin dan pabrik akan mampu meningkatkan kualitas produk dari industri halal itu sendiri (Wahyuni et al, 2020).
Persoalan yang paling diprioritaskan pada subkriteria teknologi informasi dan pelayanan adalah aksesibilitas dengan nilai rata-rata 8,24 dan evaluasi konvergen-konvergen menurut para ahli.

Aksesibilitas yang ramah terhadap pasar industri halal tentunya dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dan hal ini merupakan wujud realisasi kepatuhan terhadap syariah (Hasan & Muslimin, 2019). Semakin tinggi aksesibilitas pada suatu industri halal maka potensi kepuasan pengguna atau pembelinya juga akan semakin tinggi (Iranmanesh et al, 2018).

Urutan ketiga prioritas permasalahan industri halal terintegrasi adalah kepedulian publik dengan skor rata-rata 7,75 dan evaluasi konvergen-konvergen menurut para ahli. Kesadaran masyarakat termasuk adanya bayangan dalam pemikiran masyarakat mengenai apa yang dimaksud dengan industri halal, sehingga selanjutnya dapat menimbulkan persepsi yang baik dan pada akhirnya menghasilkan loyalitas terhadap produk industri halal (Shafaei, 2017).

Kesadaran masyarakat terhadap industri halal cenderung rendah sehingga kegunaannya masih terbatas pada mereka yang mengetahuinya (Wahyuni et al, 2020). Lebih spesifiknya pada subkriteria kesadaran masyarakat, permasalahan yang paling utama adalah terkait sosialisasi dengan skor rata-rata 7,62 dan evaluasi konvergen-konvergen menurut para ahli. Sosialisasi yang tepat dan strategis menjadi kunci utama dalam menyelesaikan permasalahan kesadaran masyarakat agar perkembangan industri halal menjadi lebih baik lagi (Kasdi, 2018).

Sosialisasi kepada masyarakat perlu ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya lebih sering agar produk-produk dari industri halal dapat lebih dikenal (Sodikin, 2020). Pihak-pihak yang perlu melakukan sosialisasi ini tentunya tidak hanya instansi pemerintah saja, namun juga memerlukan dukungan dari para pemangku kepentingan dari berbagai industri halal di Indonesia (Widiastuti et al, 2020).

Kesimpulannya, berdasarkan hasil perhitungan, secara umum dari 24 variabel permasalahan industri halal terintegrasi di Indonesia, 22 variabel sudah disepakati oleh para ahli dan hanya 2 variabel yang belum disepakati. Dari hasil perhitungan dengan metode Delphi, berikut daftar prioritas permasalahan industri halal terintegrasi di Indonesia beserta subkriterianya:
1. Regulasi dan Kebijakan: Implementasi,
2. Pelayanan dan Teknologi Informasi: Aksesibilitas
3. Kesadaran Masyarakat: Sosialisasi
4. Pembangunan Kelembagaan: Sinergi Bisnis Halal-IFI
5. Isu Syariah: Produk dan Jasa
6. Sumber Daya Manusia: Perilaku.

Hasil tersebut mengonfirmasi urgensi pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya perlu bekerja sama untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Kerja sama yang erat dan sinergis dapat membantu Indonesia mencapai pengembangan industri halal yang terintegrasi dan mampu bersaing di pasar global. Insya Allah.

Related Posts