OLEH Fanny Risqi Hasanah (Mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi Syariah FEM IPB), Dr. Resfa Fitri (Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi Syariah FEM IPB), Mutiara Probokawuryan, SE, MMgt (Staf Pengajar Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB)

Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi pada sektor pertanian. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2023), kontribusi produk domestik bruto (PDB) sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan terhadap PDB total Indonesia adalah sebesar 12,53 persen.

Nilai ini merupakan nilai kontribusi terbsesar ketiga dari seluruh lapangan usaha, setelah sektor industri pengolahan dan perdagangan. Tidak hanya itu, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan juga memiliki penyerapan tenaga kerja tertinggi di Indonesia dengan jumlah tenaga kerja sebesar 40,69 juta orang atau sebesar 29,35 persen (BPS, 2023). 

Meskipun memiliki kontribusi terhadap perekonomian yang besar, namun hingga saat ini petani masih memiliki kesejahteraan yang rendah. Pada bulan September 2019, sebesar 24,78 juta orang dianggap miskin dan 14,93 juta atau 13 persen dari total populasi adalah mereka yang tinggal di daerah perdesaan dengan mayoritas bekerja sebagai petani (BPS 2020). Permasalahan permodalan petani masih menjadi masalah besar dalam pertanian Indonesia.

Mayoritas petani mengandalkan modal sendiri, kerabat, koperasi dan lembaga keuangan non-bank lainnya. Namun, masyarakat Indonesia sebagian besar dalam melakukan kegiatannya masih mengandalkan modal sendiri termasuk ke dalam skala usaha yang kecil dan dalam pengembangannya (Hafidhuddin dan Syukur 2008). Kurangnya akses terhadap pembiayaan modal untuk sektor pertanian akan menyebabkan menurunnya produktivitas sektor pertanian dan menurunnya kesejahteraan petani. 

Dukungan dari lembaga keuangan dibutuhkan untuk membantu menyelesaikan permasalahan permodalan petani. Lembaga keuangan hadir sebagai salah satu solusi penyediaan modal dalam bentuk pembiayaan untuk petani dalam melaksanakan kegiatan bercocok tanam. Lembaga keuangan ini memiliki peranan penting dalam menyediakan pembiayaan secara syariah maupun kredit bagi sektor pertanian untuk meningkatkan produktifitasnya.

photo

Saat ini Indonesia menggunakan dual banking system, dimana diterapkan adanya perbankan konvensional dan perbankan syariah. Keduanya mempunyai instrumen pembiayaan untuk membantu ketersediaan modal petani. 

Berdasarkan data OJK dari tahun 2010-2019, kredit pertanian oleh bank konvensional mengalami peningkatan. Untuk pembiayaan dari bank konvensional, porsinya meningkat dari 5,2 persen pada tahun 2010 menjadi 6,6 persen pada tahun 2019. Hal yang serupa juga dialami oleh bank syariah, dimana porsi pembiayaan syariah sebesar 2,5 persen pada tahun 2010 menjadi 3,8% di tahun 2019 (OJK, 2020).
Meski menunjukan kecenderungan meningkat, tetapi ada perbedaan pada porsi pembiayaan yang diberikan perbankan konvensional dan syariah. 

Sedangkan, perbankan syariah memiliki dorongan bottom-up yang lebih bersifat market driven sehingga lebih bertumpu pada sektor riil. Hal ini memberikan peluang yang lebih besar dalam melakukan pembiayaan pada sektor pertanian (Syukron 2013). Dilihat dari pola pembiayaan, bank syariah memberikan mashlahat bersama, sehingga tidak memihak salah satu pembiayaan, baik nasabah maupun perbankan dengan sistem keuntungan maupun kerugiaan yang ditanggung bersama dengan prinsip bagi hasil (Mughits dan Wulandari 2016).

Selain itu, perbankan syariah menerapkan sistem yang tidak diperbolehkan adanya bunga (riba). Selanjutnya, data dari Statistik Perbankan Syariah (2020), porsi pembiayaan perbankan syariah di sektor pertanian hanya sebesar 3,86 persen. Hal ini menunjukkan bahwa minat dari perbankan syariah masih rendah untuk mengalokasikan dananya pada sektor pertanian.

Hal tersebut juga dapat disebabkan karena rendahnya minat petani yang mengajukan pembiayaan di bank syariah (Daniati 2018). Minat tersebut tentunya dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Dalam menganalis faktor-faktor tersebut, sampel dari Gabungan Kelompok Petani Kabupaten Grobogan terpilih menjadi objek penelitian. Hal ini karena berdasarkan jumlah kantor unit pelayanan syariah di Indonesia, Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur menduduki peringkat pertama dengan memiliki kantor unit pelayanan syariah terbanyak yaitu 20 unit. Dengan data tersebut dapat dinyatakan bahwa Jawa Tengah termasuk pada daerah dengan aksesibilitas terhadap keuangan syariah yang besar dibandingkan provinsi lainnya.

Kemudian, dari 76 kabupaten dan kota di Jawa Tengah, Kabupaten Grobogan menduduki peringkat pertama dengan jumlah petani terbesar se-Jawa Tengah, yaitu sebanyak 368.3 ribu orang (BPS Jateng 2018). Selain itu, kabupaten ini juga memiliki luas panen 126 ribu hektare dan produksi 732 ribu ton pada 2018 dan merupakan terbesar kedua di Jawa Tengah (BPS Jateng 2018). Dalam pengambilan sampel penelitian, dari total 19 Kecamatan di Kabupaten Grobogan, diambil 2 kecamatan yaitu Kecamatan Penawangan, dan Kecamatan Purwodadi dengan mengambil masing-masing satu kelompok tani. Pertimbangan tersebut berdasarkan kecamatan dengan luas panen dan hasil produksi padi yang besar di Kabupaten Grobogan serta kelompok taninya berprestasi (BPS Grobogan 2014).

Berdasarkan karakteristik dari petani sampel di Kabupaten Grobogan, kategori petani yang minat terhadap pembiayaan di bank syariah mayoritas pada kelompok masa dewasa awal usia 26 sampai 35 tahun (sebesar 42,1 persen). Kategori petani yang tidak minat terhadap pembiayaan di bank syariah mayoritas berada pada rentang usia lebih dari 36 tahun dengan akumulasi persentase sebesar 68,2 persen.

Hal tersebut menunjukkan kelompok dewasa awal memiliki ketertarikan terhadap pembiayaan di bank syariah, yang mana semakin muda usia seseorang maka akan memiliki ketertarikan atau minat terhadap pembiayaan syariah.

photo

Kemudian, mayoritas petani sampel memiliki pendidikan terakhir adalah SD dengan persentase sebesar 81,6 persen. Namun ternyata, untuk kategori kelompok petani yang minat dan tidak minat atas pembiayaan syariah, keduanya mayoritas adalah petani dengan pendidikan terakhir SD (masing-masing dengan proporsi sebesar 57,9 persen dan 92,7 persen).

Karena mayoritas petani memiliki tingkat pendidikan yang rendah, maka hal ini kurang memengaruhi ketertarikan atau minat petani terhadap pembiayaan di bank syariah. Ketertarikan tersebut lebih tergantung pada sikap individu dan pengetahuan serta informasi yang didapat oleh petani. 

Berdasarkan luas lahannya, kategori petani yang minat terhadap pembiayaan di bank syariah mayoritas pada kelompok dengan luas lahan 1–1,99 hektare sebesar 31,6 persen dan luas lahan lebih dari 2 hektare sebesar 36,8 persen.

Hal serupa terjadi pada kategori petani yang tidak minat terhadap pembiayaan di bank syariah mayoritas pada kelompok responden dengan luas lahan 1–1,99 hektare sebesar 46,3 persen dan luas lahan lebih dari 2 hektare sebesar 31,7 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa luas lahan juga tidak berpengaruh pada keputusan petani dalam menggunakan pembiayaan syariah. Petani yang tidak minat terhadap pembiayaan syariah mayoritas memilih menggunakan modal sendiri yang didapatkan dari hasil panen sebelumnya.

Jika dilihat berdasarkan pengalaman bertani, kategori petani yang minat terhadap pembiayaan di bank syariah mayoritas pada kelompok dengan pengalaman 11 sampai 20 sebesar 47,4 persen. Sedangkan, kategori petani yang tidak minat terhadap pembiayaan di bank syariah mayoritas ada pada kelompok 11 sampai 20 tahun sebesar 46,3 persen, dan lebih dari 40 tahun sebesar 43,9 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa semakin lama pengalaman bertani maka ketertarikan terhadap pembiayaan di bank syariah semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan informasi serta pengetahuan petani yang rendah tentang pembiayaan di bank syariah.

Terkait dengan sumber modal petani, kategori petani yang minat terhadap pembiayaan di bank syariah mayoritas memiliki modal sendiri sebesar 47,4 persen. Namun, ternyata pada kategori petani yang tidak minat terhadap pembiayaan di bank syariah juga mayoritas ada pada kelompok pertain dengan modal sendiri, yaitu sebesar 85,3 persen.

Hal tersebut terjadi karena dari keseluruhan responden 73,3 persen sumber modalnya masih dari modal sendiri. Modal ini didapatkan dari hasil panen sebelumnya. Alasan petani masih menggunakan modal sendiri karena kekurangan informasi dan pengetahuan serta kesulitan dalam mengakses pembiayaan atau kredit dari lembaga keuangan. Hal lainnya yaitu mengingat risiko yang pada sektor pertanian menjadikan petani memiliki ketakutan akan membayar kredit atau pembiayaan di lembaga keuangan. 

Tingkat pendapatan bersih yang diterima petani dari hasil usaha tani diduga tidak memengaruhi minat petani terhadap pembiayaan di bank syariah. Pada kategori petani yang minat terhadap pembiayaan perbankan syariah mayoritas memiliki pendapatan Rp 10 juta–Rp 14,99 juta sebesar 47,4 persen.

Hal yang sama juga terjadi pada kategori petani yang tidak minat terhadap pembiayaan di bank syariah yang mayoritas pada kelompok pendapatan Rp 10 juta–Rp 14,99 juta sebesar 51,2 persen. Hal ini karena pendapatan yang diperoleh tidak tentu setiap panennya, sehingga petani belum berani mengajukan pembiayaan untuk sektor pertaniannya disamping faktor-faktor lain yang memengaruhinya.

Selain karakteristik dari petani dan usaha tani yang dapat memengaruhi minat mereka dalam mengakses pembiayaan dari bank syariah, terdapat pula faktor lain yang memengaruhinya. Faktor tersebut adalah sosialisasi dan promosi dari perbankan syariah, tingkat pengetahuan petani atas pembiayaan di bank syariah, serta aksesbilitas petani atas perbankan syariah.

Ketiga faktor tersebut diestimasi pengaruhnya dengan melalui model ekonometrika, yaitu model logit. Hasil menunjukkan bahwa semakin tinggi sosialisasi dan promosi tentang pembiayaan dari bank syariah maka peluang petani akan 33,9 kali lebih besar dalam menggunakan pembiayaan di bank syariah. Sebagian besar petani mendapatkan informasi tentang pembiayaan yang ditawarkan oleh bank syariah paling banyak melalui sumber saudara/keluarga/teman dan bukan dari lembaga perbankan syariah langsung.

Kemudian, apabila pengetahuan petani tentang pembiayaan di bank syariah meningkat, maka minat petani akan 38,8 kali lebih besar terhadap pembiayaan di bank syariah. Penelitian ini membagi pengetahuan petani menjadi tiga yaitu pengetahuan tentang prinsip, produk, dan pemakaian dari bank syariah. Berdasarkan hasil penelitian, pengetahuan petani terkait produk dari bank syariah lebih tinggi dibandingkan pengetahuan tentang prinsip dan pemakaian.

photo

Jika petani memiliki akses terhadap bank syariah yang lebih tinggi, maka peluang petani untuk semakin berminat pada pembiayaan perbankan syariah akan 2,14 kali lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa aksesibilitas memengaruhi responden untuk minat terhadap pembiayaan di bank syariah.

Aksesibilitas tersebut meliputi lokasi bank syariah di pusat keramaian dan kemudahan dalam menjangkau lokasi bank syariah sehingga semakin strategis lokasi bank syariah maka akan memengaruhi probabilitas responden untuk tertarik atau minat terhadap bank syariah (Maysaroh 2014). 

Dapat disimpulkan, karakteristik responden dalam penelitian ini, adalah sebagian besar berada pada rentang usia 36-45 tahun, dengan pendidikan terakhir yaitu SD, mempunyai luas lahan 1 hingga 1,99 hektare, dengan pengalaman bertani pada rentang 11-20 tahun dan sumber modal berasal dari modal sendiri. Kemudian, faktor yang signifikan memengaruhi minat petani terhadap pembiayaan di bank syariah Kabupaten Grobogan adalah sosialisasi dan promosi, pengetahuan dan aksesibilitas. 

Variabel pengetahuan memiliki pengaruh paling besar dan signifikan positif, artinya semakin banyak pengetahuan petani terhadap pembiayaan di bank syariah maka semakin besar pula peluang petani untuk minat terhadap pembiayaan di bank syariah. Sehingga, kegiatan sosialisasi dan promosi oleh lembaga perbankan syariah yang lebih luas perlu untuk terus dilakukan. Hal ini dapat dilakukan juga melalui media elektronik, serta masuk pada program penyuluhan kelompok tani.

Selain itu, diperlukan juga peningkatan akses petani terhadap bank syariah, seperti penyediaan lokasi bank syariah yang strategis dan mudah dijangkau, serta memperkenalkan layanan perbankan secara daring seperti mobile banking untuk memudahkan transaksi, khususnya bagi pengguna smartphone.

Related Posts